Bhaskara tak bisa menjawab. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia selalu berpikir bahwa kemarahannya selama ini adalah sesuatu yang benar. Bahwa kebencian yang ia pelihara selama bertahun-tahun itu adalah harga yang pantas untuk Diajeng. Tapi sekarang? Sekarang justru dia yang ketakutan. Ketakutan kalau Diajeng benar-benar pergi. Diajeng menunggu, tapi Bhaskara tetap diam. Perlahan, wanita itu menundukkan kepala, tersenyum kecil. “Kamu nggak bisa jawab, kan?” Bhaskara mengepalkan tangan. “Ajeng...” Diajeng kembali mengangkat wajah, mata beningnya menatap tajam ke arah Bhaskara. “Aku nggak apa-apa kalau kita tetap dengan kesepakatan awal. Aku nggak akan mencampuri hidupmu, dan kamu juga jangan mencampuri urusanku.” Bhaskara menggeleng cepat. “Enggak.” “Kamu mau anaknya, kan?” lanjut Di

