Setelah sarapan selesai, Donzello pamit pergi untuk bersiap. Dan Zelaza pun langsung mandi dengan cepat.
Zelaza memilih dress linen putih sederhana, sesuatu yang praktis untuk berjalan-jalan di alam terbuka tapi juga tak menghilangkan gaya elegan-nya.
Wanita itu juga mengikat rambutnya longgar, dan tanpa menyadarinya, dia memakai makeup lebih tebal.
“Hei, kenapa aku sangat menor?” gumamnya berbisik ketika melihat ke arah cermin.
Lalu Zelaza kembali menghapus riasannya dan kembali memakai make up yang natural.
*
*
Tepat pukul sembilan, ketukan kembali terdengar di pintunya. Jantungnya berdebar kencang lagi. Dia membukanya, dan Donzello ada di sana, kali ini hanya memakai kaos putih biasa dan celana pendek berwarna khaki.
Pria itu juga membawa ransel yang tak terlalu besar.
“Sudah siap untuk tur hari ini?” tanyanya.
“Sangat,” jawab Zelaza, senyumannya cukup lebar dan dia bahkan tak menyadarinya betapa dia begitu bersemangat pagi ini.
*
*
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di belakang resort, masuk ke dalam hutan, menjauh dari pantai.
Sepanjang perjalanan mereka, Donzello menceritakan tentang pembangunan resort, filosofinya menyatu dengan alam, dan kecintaannya pada hal-hal berbau alam.
“Karya seninya ada di sini,” ujarnya akhirnya, mengarahkannya ke sebuah lembah kecil.
Dan Zelaza terpesona. Itu adalah spiral batu besar yang tertanam di tanah, diatur dengan yang sempurna.
Dari atas, pasti terlihat seperti simbol kuno. Tapi yang membuatnya khusus adalah ketika sinar matahari menembus pohon, menyinari kristal yang tertanam di antara batu-batu, memantulkan cahaya dengan pola yang berputar-putar di tanah dan daun-daun sekitarnya.
“Ini … ini luar biasa,” bisiknya, berjalan perlahan mengelilingi benda seni itu. “Ini seperti … portal ke dunia lain.”
Donzello mengamatinya, bukan karyanya, tapi ZelaZa. Dia melihat cara matanya yang biru mengamati setiap detailnya, cara jari-jarinya hampir menyentuh batu-batu itu dengan hati-hati.
“Aku tahu kau akan mengaguminya,” ucap Donzello, suaranya rendah.
Zelaza berbalik untuk menatapnya. “Apakah ada judulnya?”
“‘Pertemuan yang Tak Terduga’,” jawabnya, dan dia tidak melihat ke spiral batu itu. Matanya tertuju padanya.
Saat itu, dunia seakan berhenti sejenak. Zelaza menelan salivanya ketika menyadari bahwa dia akan jatuh ke dalam pesona pria yang masih misterius baginya itu.
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita,” kata Donzello membuyarkan keheningan di antara mereka barusan.
Zelaza tersadar dan akhirnya mengangguk. “Kau suka seni ya?” tanya Zelaza sambil berjalan.
“Ya, aku suka melukis juga.”
“Kurasa akan banyak orang yang iri padamu. Kau … terlihat sempurna,” sahut Zelaza.
Donzello berhenti sejenak lalu menoleh pada wanita itu. “Tak ada manusia yang sempurna.”
Zelaza menarik napas ketika pria itu cukup dekat berada di depannya. “Ya, kau benar. Tak ada yang sempurna,” bisiknya.
“Jalan di depan sedikit curam. Kau bisa melewatinya?” tanya Donzello mengubah topik.
“Ada kau kan. Jadi kurasa aku bisa melewatinya bersamamu.”
Donzello mengangguk lalu mengulurkan tangannya. “Pegang tanganku.”
Zelaza melihat tangan besar dan kokoh itu. Lalu dia memegangnya. Donzello menggenggam tangan kecil dan halus Zelaza dengan penuh perlindungan.
Zelaza semakin berdebar, tapi dia berusaha menyembunyikannya.
*
*
“Jadi … aku kemari untuk melarikan diri.” Zelaza memulai cerita hidupnya yang sedikit pribadi pada Donzello.
“Kau ingin menceritakannya? Aku tak memaksa jika itu membuatmu tak nyaman,” sahut Donzello sambil masih berjalan di samping Zelaza dan menggenggam tangannya.
Zelaza mengedikkan bahunya. “Jika kau sudah mencari tahu siapa aku, berarti kau pasti sudah tahu masalah yang kuhadapi saat ini.”
“Hmm … aku tahu. Tapi, hidupmu masih baik-baik saja tanpanya.”
Zelaza tersenyum. “Ya, aku baik-baik saja karena banyak orang terdekatku yang mendukungku. Termasuk ayahku.”
“Ayahmu … ayah yang baik sepertinya.”
“Ya, dia sangat bertanggung jawab meskipun hubungan kami tak terlalu dekat. Tapi dia orang yang sangat baik di mataku. Berbeda dengan Alehandro, aku benar-benar tertipu oleh kebaikannya,” jawab Zelaza.
“Orang yang benar-benar baik akan bertindak dengan benar, dan tidak takut berpikir dari hatinya. Terkadang kebaikan tidak dapat melindungi seseorang dari menjadi jahat.”
Zelaza sedikit memahami kata-kata Donzello, meskipun dia tak tahu ditujukan pada siapa ucapan itu.
“Kau benar … Alehandro terlihat begitu baik dan sempurna di mataku, tapi ternyata …” Kalimat itu menggantung.
“Ingat, tak ada manusia yang sempurna.” Donzello menoleh sekilas pada Zelaza. Dan wanita itu hanya mengangguk.
*
*
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya berjalan kembali ke resort saat matahari semakin tinggi.
Keheningan di antara mereka terasa begitu nyaman dan diisi dengan obrolan ringan yang membuat Zelaza merasa tak ada jarak yang asing lagi di antara mereka.
Di depan pintu kamar, Donzello berhenti. “Acara nanti malam, aku bisa datang. Kali ini aku benar-benar akan menunggumu.”
“Sungguh? Jangan ingkar, oke?” ucap Zelaza.
“Ya, aku pasti akan datang.” Donzello mengangguk, dan kemudian mengulurkan tangannya. “Sampai jumpa nanti malam, Zela.”
Zelaza menjabat tangannya. Genggamannya hangat dan kuat. “Sampai jumpa, Zelo.”
Donzello pun pergi, dan Zelaza masuk ke dalam villa, hatinya begitu berisik karena Donzello.
Dia berjalan ke balkon, tempat nampan sarapan masih ada, hanya menyisakan remah-remah dan kenangan bersama Donzello tadi pagi.
Pagi ini telah mengubah segalanya. Liburan dadaknnta, pelariannya, telah mendapatkan warna dan suasana baru.
Dia melihat ke arah hutan, ke arah di mana spiral batu itu berada, ‘Pertemuan yang Tak Terduga’.
Donzello tidak hanya meminta maaf. Dia telah membuka sebuah pintu. Dan Zelaza tidak sabar untuk melangkah melewatinya.
Zelaza tahu bahwa cerita hidupnya yang baru mulai tertulis, dan dia tidak sabar untuk menulis halaman selanjutnya.
*
*
JANGAN LUPA KOMEN YAAAKK (YANG BANYAK MINIMAL 10 Komen😁 emot aja gpp kok)