Makan Pagi Bersama

881 Words
Mata indah itu terbuka, menatap langit-langit kayu dengan ukiran yang asing baginya. Jantungnya berdebar kencang, sebuah respons terhadap di tempat yang tak dikenal. Untuk beberapa detik yang kebingungan, pikirannya kosong, meraba-raba. Lalu, semuanya kembali. Udara pantai yang segar dan suara ombak yang menenangkan dan villa resort yang mewah. Baru sehari dia tiba kemarin. Zelaza akhirnya beranjak duduk. Dia mendengar sebuah ketukan di pintu. Lalu wanita itu mengusap wajahnya yang terlihat masih sangat mengantuk. Ketukan itu kembali berulang, lebih keras kali ini. “Sebentar!” ucap Zelaza dengan serak, khas bangun tidur. Dia menyibakkan selimut yang masih hangat dan melangkah ke lantai. Kimono sutranya, selembar kain berwarna hijau laut yang cukup tipis dan cukup mini, tergantung di bingkai cermin. Dia melingkangkannya pada tubuhnya, ikat pinggang sutra diikatkan longgar di pinggang. Bayangannya di cermin menunjukkan seorang wanita dengan rambut coklat panjang acak-acakan dan mata yang masih meredup karena sisa-sisa tidur. Dia menyelipkan jari-jarinya melalui rambutnya, untuk sedikit merapikannya sebelum bergegas menuruni tangga kayu yang lurus. ‘Siapa yang bisa datang sepagi ini? Pelayan dengan makan pagi, mungkin,’ batinnta. Pemesananannya memang termasuk sarapan privat karena Liliana—asistennya—yang mengatur itu semua. Dia membuka pintu kayu itu. Matanya langsung melebar ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. Bukan seorang pelayan dengan seragam rapi yang berdiri di sana. Yang ada adalah Donzello. Pemilik resort yang begitu kharismatik sekaligus menggoda. Donzello berdiri di depan Zelaza dengan ekspresi wajah yang santai. Di tangannya, sebuah nampan kayu berisi hidangan sarapan yang sempurna. Ada buah-buahan segar, croissant yang masih hangat, sepotong quiche lorraine, secangkir kopi panas, dan segelas kecil jus jeruk yang terasa segar dipandang. Pria itu berpakaian kasual, kaos abu-abu yang lembut dan celana hitam berbahan kaos tapi aura yang dipancarkannya tetap membuat tubuh Zelaza berdesir. “Morning,” suaranya terasa ebih hangat. “Aku harap aku tidak membangunkanmu terlalu awal.” Zelaza hanya bisa membelalak, tangannya masih mencengkeram gagang pintu. Kimono sutranya tiba-tiba terasa sangat tipis, dan hembusan angin pagi membuatnya menyadari betapa minimnya pakaian yang dikenakannya. Zelaza masih melihatnya, tatapan Donzello mengarah dari ujung rambutnya yang berantakan hingga jari kakinya, sebelum akhirnya mata tajam itu kembali bertemu dengan matanya. Rasa panas yang bukan berasal dari sinar matahari pagi menyebar di pipi Zelaza. “Tuan Donzello,” akhirnya berhasil dia ucapkan, meskipun suaranya bergetar sedikit. “Aku sudah bangun. Tapi … kedatanganmu tidak terduga.” Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibir pria itu, meruntuhkan kembali pertahanan Zelaza. “Panggil saja Zelo.” Zelaza tertawa kecil. “Panggil aku Zela. Nama kita hampir sama.” Donzello tersenyum dan mengangguk. Lalu dia mengangkat nampannya sedikit. “Ini adalah permintaan maaf ku yang sedikit terlambat. Ini karena aku tidak hadir di welcome dinner semalam. Ada urusan mendadak di kota yang tidak bisa kulewatkan.” Zelaza akhirnya tersenyuk dan mengangguk juga. “Owh! Itu … itu tidak perlu. Aku benar-benar mengerti. Kau pasti sibuk mengurusi bisnismu.” Zelaza melangkah mundur, membuka pintu lebar-lebar. “Silakan masuk.” Donzello melangkah masuk, tubuhnya yang tinggi langsung mengisi ruangan itu. “Kita makan bersama?” tanya Zelaza karena melihat isi nampan yang cukup banyak. “Ya, jika kau tak keberatan.” “Sama sekali tidak,” sahut Zelaza dengan reflek dan segera menutup mulutnya dengan tangannya ketika sadar. Donzello tersenyum tipis. “Kau mau makan di mana? Karena spot terbaik makan pagi adalah di balkon.” Zelaza mengangguk setuju. “Ya, kau benar. Di balkon saja.” Lalu Donzello berjalan ke tangga dan naik ke lantai dua. Zelaza mengikutinya dari belakang. Sesampainya di atas, Donzello berjalan ke arah meja kecil di balkon dan dengan hati-hati meletakkan nampan itu. Zelaza mengamatinya, cara dia bergerak dengan tenang dan sama sekali tak kaku. “Apakah kau sering melayani tamu seperti ini?” tanya Zelaza dengan berani. Donzello menggelengkan kepalanya. Entah kenapa dia suka dengan hal itu, karena itu artinya Zelaza mungkin istimewa. “Aku mencari tahu tentangmu kemarin dan kini aku tahu siapa dirimu. Kau seorang model internasional yang cukup terkenal dan dengan melayanimu secara personal mungkin akan membuat resort-ku semakin terkenal,” ucap Donzello sambil duduk dan menatap makanan di meja. “Owh … begitu … terima kasih.” Sedikit kecewa, tapi setidaknya Donzello memilihnya menjadi tamu yang dilayani langsung olehnya. “Tempat ini sangat luar biasa. Jadi kurasa meskipun tanpaku tempat ini akan ramai dan dikenal.” “Tidak, bagiku kehadiranmu di sini sangat spesial.” Zelaza merasakan wajahnya yang memanas karena ucapan Donzello. “Tapi … kuharap kau menanyakan tentang gosip yang—“ “Aku tak suka bergosip,” potong Donzello ketika tampaknya Zelaza takut jika Donzello bertanya tentang kehidupan pribadinya yang kini menjadi konsumsi publik. “Thanks,” sahut Zelaza dengan suara pelan. “Selamat makan.” Donzello memulai acara makan pagi mereka. Zelaza tersenyum sembari nengangguk lalu mulai menikmati makan paginya. * * “Kau ingin diantar berkeliling hari ini?” tanya Donzello di sela-sela makan mereka. Zelaza mengedikkan bahunya. “Terserah kau saja. Aku tidak mengenal tempat ini.” “Oke. Aku akan membawamu ke tempat-tempat yang cukup ekstrim. Kau mau?” Zelaza mengangguk. “Ya, aku suka tempat-tempat seperti itu dan kurasa aku tak perlu khawatir karena kau menjagaku, kan?” Donzello tersenyum tipis. “Tentu saja. Kau menjadi tanggunh jawabku selama menjadi tamu di resort ini.” * * JANGAN LUPA KOMEN YANG BANYAK YAAAKK …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD