Perhatian Arman.

1236 Words
Pagi itu, suasana di rumah Arman dan Lisa masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Lisa tergesa-gesa seperti biasa, dengan blazer tergantung di lengannya dan tas kerja sudah tersampir rapi di bahu. Ia melirik jam tangannya sambil berdiri di depan pintu, jelas-jelas mengabaikan sarapan yang sudah asisten rumah tangga mereka siapkan di meja. “Kamu harusnya sempat makan dulu,” ujar Arman dengan nada lembut namun sedikit mengingatkan. Lisa tersenyum kecil. “Aku benar-benar tidak sempat. Nanti aku beli sesuatu di kantor. Sampai nanti sore, ya,” katanya sambil memberi ciuman sekilas di pipi suaminya. Di sudut dapur kotor asisten rumah tangga keluarga itu menghela nafas panjang, kejadian setiap pagi selalu seperti itu. Wanita yang sudah tidak muda lagi itu sudah bekerja untuk keluarga Arman sejak lama meski tidak tinggal di rumah itu dia cukup tahu bagaimana keluarga Arman dan Lisa, majikan perempuannya memang selalu seperti itu, melewatkan sarapan dan selalu tergesa-gesa setiap pagi. Kadang dia kasihan pada Arman. Tapi apa mau dikata, dia hanya seorang asisten rumah tangga. Ketika Lisa membuka pintu untuk keluar, secara kebetulan Barry juga muncul dari rumah sebelah, berpamitan dengan Alin sebelum pergi bekerja. “Pagi, Arman,” sapa Barry dengan ramah, melambaikan tangan. Arman membalas dengan anggukan santai. “Pagi, Barry.” Lisa pun melangkah pergi dengan langkah cepat menuju mobilnya yang terparkir disebelah mobil suaminya. Sementara itu, Barry juga masuk ke mobilnya dan pergi, meninggalkan Arman dan Alin yang tanpa sengaja saling bertemu pandang. Keduanya berdiri diam, hanya saling menatap dengan ekspresi canggung. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka. Akhirnya, dengan sedikit kikuk, Alin tersenyum tipis sebelum masuk kembali ke rumahnya, sementara Arman hanya menghela napas kecil dan kembali menutup pintunya. Beberapa waktu kemudian, pintu rumah Alin kembali terbuka. Kali ini, ia muncul sambil membawa sebuah dus besar yang tampak cukup berat. Wajahnya serius, mencoba menjaga keseimbangan barang bawaannya saat ia berjalan perlahan menuju sisi jalan. Di saat yang sama, Arman keluar dari rumahnya, bersiap menuju kantor. Ia menghentikan langkahnya ketika melihat Alin yang sedang kesulitan membawa dus tersebut. “Pagi, Alin. Mau ke mana membawa dus besar itu?” tanyanya sambil melangkah mendekat. Alin terkejut mendengar suara itu. “Astaga, kamu mengejutkanku!” serunya, nyaris menjatuhkan dus yang dipegangnya. Refleks, Arman langsung maju dan menangkap sisi dus itu, membantu Alin menahan bebannya. Tanpa sengaja jari mereka saling bersentuhan, membuat keduanya terdiam. Tatapan mereka bertemu, mata Alin yang sedikit membulat karena terkejut, dan tatapan Arman yang penuh perhatian. Hening kembali menyelimuti mereka. Sentuhan ringan itu seolah-olah membuat waktu berhenti, menciptakan ketegangan yang sulit dijelaskan. “Terima kasih,” ucap Alin akhirnya. “Sama-sama,” jawab Arman, sedikit menunduk untuk menghindari tatapan Alin. Keduanya segera menarik tangan masing-masing, seolah tersadar dari lamunan singkat itu. Dengan canggung, mereka memalingkan wajah dan mulai berjalan menjauh. “Barry cerita restoranmu di tengah kota?” tanya Arman mencoba mencairkan suasana. “Itu benar, Barry yang mencarikan lokasinya.” “Kalau begitu aku antar saja, kebetulan kantorku searah,” tawar Arman. Tapi Alin berpikir sejenak. Ragu untuk menerima ajakan Arman atau menolaknya. “Jangan sungkan, lagi pula jam segini jalanan macet,” lanjut Arman lagi dan mengambil alih dus yang dipegang oleh Alin dan memasukkannya ke kursi belakang. “Kalau begitu kamu bisa mengantarku hingga stasiun biar aku naik kereta,” ucap Alin dan terburu membuka pintu mobil Arman. Takut jika Arman akan membukakan pintu untuknya. Arman membuka pintu mobilnya dan duduk dibelakang kemudi. “Aku akan antar sampai depan restoranmu,” ucap Arman bersikeras. Lalu ia menoleh dan melihat Alin yang belum memasang sabuk pengamannya. Tanpa kata-kata, Arman langsung mencodongkan tubuhnya ke arah Alin dan meraih sabuk pengaman. Alin yang terkejut terpaku di tempatnya, tanpa sengaja Arman menoleh menatap wajah Alin yang sangat dekat dengan wajahnya. Keduanya saling tatap dengan jantung yang berdebar cepat. Arman tersadar dan dengan cepat kembali duduk ditempatnya dengan memasangkan sabuk pengaman Alin. “Banyak polisi, kamu harus selalu memakai sabuk pengaman,” jelas Arman menutupi kegugupannya. Alin hanya diam mencoba menetralkan detak jantungnya yang terlalu cepat. Dalam perjalanan pun keduanya tampak canggung. Hingga tak ada satu pun yang berbicara. *** Beberapa saat kemudian, mereka sampai di depan restoran Alin. Mobil terhenti dan Alin buru-buru keluar dari mobil dan mengambil barangnya. Arman hanya diam menontonya dengan bingung. Tak lama jendela mobil Arman diketuk oleh Alin dan membuat Arman menurunkan jendelanya. “Terimakasih atas tumpangannya, maaf karena tidak bisa menawarkan untuk segelas kopi. Kamu pasti terlambat karena mengantarku,” ucap Alin dengan menundukkan tubuhnya sedikit. “Sama-sama, tidak apa-apa. Aku sudah minum kopi di rumah. Semoga restoranmu ramai dan banyak pelanggan ya,” balas Arman tersenyum lebar. “Ya, kalau begitu hati-hati di jalan,” pamit Alin dan melangkah ke restorannya. Meninggalkan Arman yang terus memperhatikan dari belakang. Arman pun melajukan mobilnya setelah Alin masuk ke dalam restoran yang masih sepi itu. Alin menaruh dus di atas meja bar restorannya, ia menoleh dan melihat Arman yang sudah pergi. Ia pun menghela napas panjang seolah merasakan ketegangan yang sangat besar. “Kenapa ... dia begitu perhatian? Sementara Barry, dia bahkan tidak peduli dengan urusanku sama sekali,” keluh Alin yang merasakan perbedaan antara suaminya dengan Arman yang begitu bertolak belakang. Namun, Alin menggelengkan kepala untuk melupakan semua yang terjadi dan fokus untuk memulai mempersiapkan restorannya. *** Matahari pagi bersinar lembut, menambah kehangatan suasana di restoran baru Alin yang telah ia persiapkan dengan penuh kerja keras. Papan nama restoran yang elegan dengan huruf timbul kini terlihat mencuri perhatian di sudut jalan. Hari ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu, hari pembukaan resminya. Dengan senyum penuh antusias, Alin berdiri di dekat pintu masuk. Ia mengenakan apron putih bersih di atas blus cerah. Perlahan, ia meraih papan kayu kecil di pintu depan yang bertuliskan ‘Closed’ dan membaliknya menjadi ‘Open’. “Resmi dibuka!” serunya penuh semangat. Tepuk tangan riuh segera terdengar dari para pegawainya yang berdiri di dekat dapur, menyemangati bos mereka. Alin membalas dengan anggukan dan senyum tulus, matanya sedikit berkaca-kaca karena haru. Customer pertama yang datang adalah Lisa, ia melangkah masuk diikuti oleh Arman yang membawa buket bunga besar. Buket itu dihiasi dengan mawar merah muda dan putih, serta pita satin yang membuatnya terlihat sangat cantik. “Selamat, Alin!” seru Lisa dengan antusias. “Aku sangat penasaran dan bersemangat sejak mendengar kabar pembukaan restoran ini. Aku bahkan tak sabar untuk segera datang!” Wajah Alin cerah mendengar ucapan itu. Ia menerima buket bunga dengan kedua tangan, senyum lebarnya memancarkan rasa syukur. “Terima kasih banyak, Lisa. Kehadiran kalian benar-benar membuatku semakin semangat,” jawabnya tulus. Arman tersenyum kecil sambil menatap sekitar. “Restoran ini terlihat luar biasa, Alin. Desainnya unik, dan suasananya sangat nyaman.” “Ayo, aku antar kalian ke meja,” ajak Alin, lalu membimbing mereka ke salah satu meja yang berada dekat dengan bar. Posisi itu memungkinkan mereka melihat aktivitas dapur yang terbuka, sesuatu yang menjadi daya tarik utama restoran ini. Pelayanan pun dimulai dengan ramah. Seorang pelayan muda datang membawa teko teh panas, bersiap menuangkan ke cangkir Lisa. Namun, saat ia sedikit tergesa-gesa, tangannya kehilangan keseimbangan, dan teko itu hampir tergelincir, membuat teh panas tumpah ke arah Lisa. “Oh, hati-hati!” seru Lisa, refleks menggeser tubuhnya ke belakang. Namun, sebelum teh itu benar-benar mengenai Lisa, sebuah tangan sigap muncul, menahan arah tumpahan. Tangan itu milik Barry, yang baru saja masuk ke restoran dan langsung melihat kejadian tersebut. Ia menangkis teko itu dengan cepat, tapi akibatnya, beberapa tetes teh panas mengenai punggung tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD