Jamuan Makan Malam.

1181 Words
Suasana makan siang itu terasa cukup canggung, pertanyaan Lisa membuat Arman dan Alin merasa tidak nyaman seolah sudah membuat kesalahan yang besar. “Waktu itu hujan, dusnya terlalu banyak dan cukup besar. Aku hanya membantu sedikit,” jelas Arman memecahkan keheningan. Lisa hanya mengangguk kecil mengerti. Tapi Alin tampak merasa tidak senang karena Barry membahasnya seperti itu. Dia melirik Barry yang tampak biasa saja dan sibuk mencicipi hidangan di meja makan. “Wah! Rasanya luar biasa! Arman, kamu sering masak?” tanyanya. “Kadang-kadang saja. Biasanya Lisa yang lebih sering di dapur,” jawab Arman sambil melirik istrinya yang tersenyum kecil. “Cicipi juga saos saladnya, Lisa yang membuatnya dan itu sangat lezat. Aku hanya bisa memakan salad buatan istriku,” lanjut Arman. Barry pun mencicipi saos salad buatan Lisa itu. Semua menatap penasaran karena Barry tidak berkomentar langsung. Lalu dia melirik Alin dan tersenyum lebar. “Sepertinya kalian bisa berkolaborasi untuk menambah menu di restoran yang akan Alin buka dalam waktu dekat ini,” ucap Barry. “Buka restoran? Alin, jangan bilang kamu jago masak juga?” tanya Lisa bersemangat. Alin menggelengkan kepala dengan melambaikan tangannya, “tidak juga kok. Masakan Lisa juga sama lezatnya. Aku masih pemula,” jawab Alin dengan kecil hati. “Kapan pembukaan restorannya?” tanya Arman. “Minggu depan, datanglah. Aku akan memberikan makanan yang terbaik untuk kalian,” jawab Alin dengan tersipu malu. Arman lagi-lagi terkesima, namun dia mencoba menenangkan diri dengan minum saat pandangannya bertemu dengan Alin. “Bagaimana dengan Lisa? Kamu sangat sibuk aku lihat beberapa hari ini, apa pekerjaanmu?” tanya Alin mengalihkan pandangannya dari Arman. “Kamu benar, aku memiliki klien VIP yang sedang bekerja sama dengan butikku,” jawab Lisa merasa bangga. “Kamu pemilik butik? Pantas saja kamu selalu terlihat stylish dan sangat menawan,” sahut Barry takjub. Alin yang mendengar itu menatap Lisa lekat-lekat, wanita berusia 25 tahun itu memang tampak berbeda dari wanita seumurnya. Wajah yang bersinar dengan makeup tipis, rambut yang terawat dan tubuh yang masih langsing. Bahkan pakaiannya selalu tampak anggun dan modis. “Alin juga sangat cantik, aku suka penampilan sederhananya. Aku begini karena tuntutan pekerjaan, jadi sudah terbiasa,” balas Lisa tak ingin membuat Alin berkecil hati. Tapi Barry malah tertawa kecil mendengar pujian Lisa. “Maaf, tapi Alin tidak terlalu bisa berdandan dan hanya memakai pakaian asal di dalam lemari. Dia memang berbeda dari wanita pada usianya. Tapi apa umurmu 25 tahun juga?” “Juga? Jangan bilang Alin kamu berusia 25 tahun?” tanya Lisa terkejut. Alin mengangguk canggung. “Astaga, aku pikir kamu baru berusia 20 tahun. Wajahmu imut sekali, orang-orang selalu berpikir usiaku di atas 30 tahun karena wajahku tampak tua.” “Kamu memang terlihat tua dengan makeup tebalmu setiap hari,” timpal Arman dan langsung mendapatkan lirikan tajam dari Lisa. Obrolan pun bergulir dari cerita tentang lingkungan sekitar hingga kehidupan mereka masing-masing. Setelah makan siang selesai, mereka berpindah tempat di ruang tamu sambil menikmati cake yang dibawa oleh Alin. Rasanya manis dan lembut, membuat Lisa terkesan. “Kamu pasti sering bikin kue, ya? Ini enak sekali.” “Lumayan sering. Kalau ada waktu luang, aku suka bereksperimen di dapur,” jawab Alin dengan malu-malu. “Ajari aku kapan-kapan yaa, aku paling tidak bisa membuat kue dan sejenisnya,” pinta Lisa semangat. Alin hanya mengangguk kecil. Di teras rumah, Arman dan Barry duduk bersama menikmati kopi hitam mereka. “Rumah kalian sangat nyaman,” puji Barry sambil memandang sekeliling rumah. Dengan sesekali menghembuskan rokok yang menyala di jarinya. “Bukankah sama saja designnya?” tanya Arman. “Ya, tapi Alin tidak terlalu bisa mengatur ruangan. Dia terlalu sederhana dan hanya mengisi rumah dengan tumpukan buku. Kamu bilang kamu CEO perusahaan apa?” “Kontraktor, kamu sendiri?” “Jam tangan mewah, sama seperti Lisa terkadang ada beberapa klien VIP yang ingin didesign model yang akan menjadi satu-satunya di dunia ini. Kamu kontraktor apa?” “Sparepart tambang. Pasti sangat sibuk kalau sudah ada klien seperti itu.” “Kamu benar, bahkan minggu ini aku harus keluar kota untuk mencari bahan permintaan klien.” “Keluar kota? Bagaimana dengan Alin? Bukankan dia akan sangat sibuk untuk pembukaan restorannya?” “Tentu saja sibuk, tapi itu bagus bukan? Seorang istri tidak boleh hanya diam saja di rumah, karena itu aku memaksanya untuk membuka restoran karena dia lulusan Culinary Arts. Sayang bukan kalau hanya diam di rumah saja?” Arman melirik ke dalam, melihat Lisa dan Alin yang tampak akrab dengan tertawa sesekali. “Aku lebih suka jika istri diam di rumah saja, dari awal pernikahan Lisa selalu bekerja karena dari sejak kami pacaran dia sudah sangat sibuk membangun butiknya sendiri,” ucap Arman yang terlihat tidak terlalu bangga. “Lisa sudah bekerja di butik dari sebelum menikah denganmu? Itu hebat sekali, di usia muda dia sudah sangat sukses. Aku bahkan harus meminjam ke Bank untuk membangun usahaku sendiri. Dan itu butuh waktu untuk membayar semuanya kembali,” puji Barry yang selalu terkagum dengan pencapaian Lisa. Di ruang tamu, Alin melihat rak besar yang penuh dengan banyak pigura dan benda antik lainnya. Hingga matanya tertuju pada sepasang sepatu bayi yang sangat lucu. “Lisa, apa kamu punya anak? Aku tidak lihat dia di sini,” tanya Alin dengan mengambil sepatu bayi itu. Lisa yang baru selesai membalas email klien menoleh dan tampak sedih saat Alin membawa sepatu bayi itu dan duduk di sebelahnya. “Kami belum dikarunia anak selama pernikahan tiga tahun ini,” jawab Lisa dan membuat Alin merasa bersalah. “Maaf, aku tidak tahu. Seharusnya aku tidak menanyakan pertanyaan sensitif seperrti ini,” ucap Alin menunduk sedih. “Tidak apa-apa. Dari awal aku memang sengaja untuk menunda kehamilan. Tapi setelah satu tahun pernikahan, Arman terus merengek untuk memiliki anak. Akhirnya aku dan Arman mencoba untuk program hamil, sayangnya aku tidak kunjung hamil. Padahal tes kesehatan kami semuanya bagus,” cerita Lisa. “Kamu jangan ditunda ya, kalau bisa langsung hamil. Karena menunda kehamilan membuatku menyesal sekarang. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya lagi karena sibuk dengan pekerjaan,” ucap Lisa tampak tegar. “Terimakasih atas sarannya, aku senang sekali bisa bertetangga denganmu,” ucap Alin dengan senyuman tulus dan membuat Lisa juga merasa senang atas perhatian Alin padanya. Saat matahari mulai condong ke barat, Barry dan Alin berpamitan. “Terima kasih banyak untuk sambutannya. Makan siangnya enak sekali, dan kami senang bisa lebih mengenal kalian,” ucap Barry dengan tulus. “Kami juga senang bisa menjamu kalian. Jangan segan-segan mampir kapan saja,” ucap Arman sambil mengantar mereka ke pintu. “Jangan lupa datang minggu depan ya,” ucap Alin mengingatkan untuk datang ke pembukaan restorannya. “Tentu saja, aku akan datang dengan membawakan bunga untukmu,” jawab Lisa. Keduanya pun saling berpelukkan sebelum akhirnya berpisah. Saat pintu tertutup, Lisa menoleh ke arah Arman. “Ternyata mereka pasangan yang menyenangkan, ya?” “Iya. Sepertinya mereka akan menjadi teman baik kita di sini,” jawab Arman sambil tersenyum. Namun, pikirannya melayang sejenak pada insiden kecil beberapa hari lalu, ketika ia menangkap tubuh Alin di halaman rumah mereka. Sesuatu yang berusaha ia lupakan, tapi tampaknya terus membayang di sudut pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD