“Loh, siapa yang selingkuh, Hana? Aku tidak selingkuh. Aku sudah bilang kan kalau aku mau fokus lanjutin kuliah.” Farhan terus mengelak.
Hana jelas tidak percaya lagi pada Farhan yang sudah ketahuan berbohong masih aja terus membohonginya. “Yang kamu bawa ke pelaminan tadi itu pacar kamu, kan? Dia calon istri kamu. Itu kamu bilang enggak selingkuh? Sejak kapan kamu dekat sama perempuan itu?”
“Perempuan mana yang kamu bilang? Yang tadi aku bawa ke pelaminan? Oh Della. Dia bukan pacarku apalagi calon istri, dia itu sibuk mengejar-ngejar aku, dia yang jatuh cinta sama aku, sedangkan aku enggak ada perasaan apa pun sama dia.”
Hana menatap Farhan dengan heran. “Kita ini sudah putus ya. Buat apa kamu berbohong sama aku. Mau kamu pacaran sama dia pun, sudah tidak ada urusannya dengan aku.”
“Kamu enggak percaya sama aku, Han? Dia bukan pacarku.”
“Kenapa aku harus percaya sama kamu? Aku cuma masa lalu kamu. Tidak usah lagi kamu tutupi hubunganmu dengan dia di depan aku. Aku juga sudah menikah. Kalau kamu mau menikah dengannya juga bukan urusanku.”
“Hana, percaya deh sama aku. Della itu bukan pacarku.”
Hana penasaran sampai kapan Farhan akan terus berbohong dan tidak mengakui Della sebagai pacarnya.
“Udah deh, Farhan. Urusan kita sudah selesai. Tolong jangan ganggu aku lagi.” Hana akan pergi dari tempat itu, tetapi Farhan menahan lengannya. Hana pun menoleh pada Farhan.
“Hubungan kita memang sudah selesai, tapi aku mau mengingatkan kamu. Akbar itu bukan orang baik. Dia punya pacar seorang artis, wajahnya cantik dan kamu kalah dari dia. Jangan sampai kamu menikah cuma untuk sakit hati saja.” Entah Farhan cemburu karena Hana menikah dengan Akbar dan dia takut karirnya terancam atau dia memang tulus menasehati Hana.
“Aku sudah tahu kalau mas Akbar itu punya pacar.”
“Terus kamu kenapa masih menikah sama dia?”
“Bukan urusanmu!”
“Kamu tuh aneh, Hana. Cuma karena aku putusin terus kamu mau aja diajak nikah sama Akbar. Dibayar berapa kamu sama dia? Aku pastikan pernikahan kamu dengan Akbar tidak akan bertahan lama.”
“Kamu boleh mendoakan yang buruk untuk aku, tapi kamu lupa kalau kamu mendoakan seseorang maka doa itu akan kembali pada kamu sendiri.” Hana memperingatkan Farhan. Walaupun dia belum tahu nasib pernikahannya ke depan, dia yakin Ririn tidak akan membiarkannya bercerai dengan Akbar.
“Aku ini bukan berdoa buruk untuk kamu, Hana, bukan. Aku ini bisa memprediksi pernikahan kamu. Akbar itu sayang banget dengan pacarnya. Nanti kalau dia mau menikah dengan pacarnya, pasti kamu yang diceraikan.”
Hana terus merasa heran dengan Farhan yang sibuk sekali dengan pernikahan Hana. “Aku tidak peduli kamu mau ngomong apaa. Aku yang akan menjalani pernikahan ini, bukan kamu. Kamu menikah saja dengan pacarmu itu supaya kamu bisa mengurus pernikahanmu sendiri.”
“Sudah aku bilang Hana, aku enggak punya pacar.”
“Terserah! Aku enggak peduli dengan hidup kamu.” Hana sekali lagi mencoba pergi dari Farhan, tetapi lagi-lagi pria itu menahannya.
“Kenapa lagi sih, Farhan? Jangan sampai mas Akbar mencari aku ke toilet. Terus kita ketahuan sedang berdua di sini. Terus dia marah sama kamu karena sudah mengganggu istrinya!” Hana memberi peringatan pada Farhan.
“Tidak mungkin dia marah padaku. Yang ada justru kamu yang dia ceraikan karena mengobrol berdua saja denganku.”
Hana marah pada Farhan. Dia dorong pria itu sampai terjatuh ke lantai agar tidak bisa menahan langkah Hana lagi kembali menemui Akbar.
“Hana! Jangan sampai kamu menyesal karena menikah dengan Akbar, dia enggak sebaik yang kamu kira!” teriak Farhan saat Hana pergi meninggalkannya.
Hana kembali ke tempatnya. Ternyata Akbar hampir saja mencarinya karena dia terlalu lama di toilet.
“Kamu enggak apa-apa, Hana? Kenapa lama di toiletnya?”
“Maaf, Mas. Tadi itu aku ketemu temen lama, jadi ngobrol dulu sebentar.”
“Oh ya sudah, sebentar lagi kita akan ke kamar.” Akbar percaya dan tidak curiga sama sekali pada Hana.
Hana mengangguk.
Selesai makan, Akbar mengajaknya ke kamar tempat mereka akan menginap malam ini. “Malam ini kita tidur di sini, besok baru saya bawa kamu ke rumah. Setelah menikah kita akan tinggal satu rumah.”
“Baik, Mas. Mas, saya boleh tanya sesuatu?”
“Kamu mau tanya apa, Hana?”
“Apa yang Mas harapkan dari saya sebagai istri Mas Akbar? Apa yang harus saya lakukan untuk Mas? Apa saya harus melayani Mas Akbar sebagai istri?”
Akbar diam sambil berpikir lalu menjawab pertanyaan Hana. “Kamu saya bebaskan dari kewajiban untuk melayani saya. Cukup berada di samping saya di setiap pertemuan penting yag saya harus hadiri. Selebihnya, saya bisa mengurus diri saya sendiri. Kamu tidak perlu menyiapkan sarapan atau makan malam untuk saya. Kamu cukup mengurus diri kamu sendiri sesuai perintah mama saya.” Akbar menjelaskan panjang lebar.
“Itu artinya saya cuma istri bonekanya Mas Akbar?”
“Kira-kira begitu, Hana.”
Tahu posisinya sejak awal membuat Hana tidak perlu berharap apa pun pada Akbar. Pria itu tidak akan pernah mencintainya. Hana cukup bertahan menjadi istri boneka Akbar sampai pria itu merasa bosan padanya. Hana hanya akan menjadi istri yang menemani Akbar dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya saja.
Lalu ponsel Akbar berdering. Ada panggilan masuk dari Rara. Akbar menerima panggilan itu. Dia mendengar suara tangisan Rara di seberang panggilan.
“Kamu kenapa, Ra?” tanya Akbar penasaran.
“Mas, aku mau menikah dengan Mas Akbar. Aku menyesal sudah membiarkan Mas Akbar menikah dengan perempuan pilihan mamanya Mas.” Rara tersedu-sedu.