Kening Akbar berkerut mendengar ucapan Rara, dia pun berkata dalam hati, “Rara kenapa nih? Kok jadi aneh gini?”
“Kamu kenapa lagi, Ra?” tanya Akbar yang kebingungan dengan sikap Rara.
“Mas, aku menyesal sudah minta Mas menikah dengan perempuan itu.” Rara menegaskan lagi ucapannya.
Akbar menghela napas. Perempuan itu sendiri yang membiarkan dia menikah, kenapa sekarang dia yang menyesal. “Kamu sendiri yang bilang enggak akan menyesal kalau saya menikah dengan perempuan pilihan mama saya. Kenapa sekarang kamu menyesal? Saya nikah aja belum ada satu hari, kenapa kamu jadi tiba-tiba berubah gini, Ra?”
“Mas!”
“Iya, kenapa?”
“Tadi aku datang ke resepsi pernikahan Mas Akbar. Aku lihat Mas bahagia banget berdiri di pelaminan sama perempuan itu. Mas cinta ya sama dia? Mas sudah melupakan aku?”
Akbar coba menenangkan Rara. “Kamu sendiri yang belum mau diajak nikah, saya ancam dengan menikah dengan perempuan lain kamu tetap dengan pendirian kamu.”
“Iya, tapi aku kira Mas enggak akan sebahagia itu menikah dengan perempuan lain. Aku kira Mas benci sama dia. Hati aku sakit Mas melihat Mas bahagia banget berada di pelaminan sama perempuan itu.”
“Kemarin itu banyak tamu, Ra, mau enggak mau saya harus menyambut tamu dengan senyuman terbaik saya, bukan begitu?”
“Enggak! Enggak gitu, Mas! Mas bukan cuma tersenyum sama tamu-tamu yang datang, tapi juga senyum sama perempuan itu. Mas aku benar-benar sakit hati ini.” Rara menangis dengan suara keras.
“Terus kamu maunya apa, Ra? Kamu mau Mas minta maaf sama kamu? Ya sudah Mas minta maaf karena sudah menyakiti perasaan kamu.”
“Aku mau Mas menceraikan perempuan itu! Aku mau kita menikah secepatnya. Bawa aku bertemu dengan mamamu, Mas. Aku enggak mau kehilangan kamu, Mas.”
Akbar mengembuskan napas kasar. Dia merasa harus memberikan pengertian pada Rara. Ya saat ini dia merasa masih mencintai Rara. Belum bisa menggantikan Rara dengan Hana di hatinya. “Gini ya, Ra, Mas enggak bisa menceraikan Hana dalam waktu dekat. Mama bakalan masar besar. Mas juga enggak bisa bawa kamu ke rumah karena mama juga pasti akan marah. Bisa-bisa mama memecat Mas sebagai anaknya. Kamu mau Mas dipecat jadi anak sama mamanya Mas? Kamu enggak mau, kan?”
“Aku enggak peduli. Pokoknya aku mau menikah sama Mas Akbar. Kita nikah siri aja ya, Mas. Aku enggak sanggup membayangkan Mas Akbar tidur dengan perempuan itu. Lebih baik aku yang melayani Mas Akbar di ranjang. Biarkan dia tetap jadi istri Mas yang tak tersentuh.”
“Kamu cemburu sama Hana ya, Ra?”
“Kenapa aku harus cemburu sama dia?”
“Masa sih? Kamu takut dia merebut kasih sayang?”
“Aku enggak rela kalau sampai Mas Akbar melakukan malam pertama dengan perempuan itu, sakit hati aku membayangkannya, Mas.”
Akbar tersenyum lebar, hampir saja dia tertawa. Dalam pikirannya saja tidak terlintas untuk menyentuh Hana di malam pertama mereka dan malam-malam selanjutnya. “Ra, ini sudah malam, Mas mau istirahat dulu ya.”
“Mas di mana sekarang?”
“Masih di hotel.”
“Mas tidur satu kamar dengan perempuan itu?”
“Iya, sekarang kami berada di kamar yang sama. Kalau orang sudah menikahkan gitu, Ra. Harus tidur satu kamar. Apa kata orang nanti kalau ada pasangan yang sudah menikah, tetapi tidur di kamar yang berbeda?”
“Mas Akbar keluar dari kamar itu dan cari kamar lain, tolong jangan tidur satu kamar dengan dia apalagi satu ranjang dengannya!”
“Wah, enggak bisa, Ra, nanti mama marah sama Mas.” Akbar semakin memanas-manasi Rara.
“Mas! Aku juga bisa marah sama Mas loh.”
“Udah dulu ya, Ra, Mas sudah ngantuk berat ini. Rasanya capek banget.” Akbar pun langsung menutup panggilan teleponnya. Pria itu tersenyum. Dia merasa senang sudah membuat Rara merasa cemburu berat. Biasanya, perempuan itu lebih cuek padanya. Sekarang dia menunjukkakn perasaan yang berbeda dan Akbar menyukai itu.
Lalu dia berbalik menemui Hana. “Kamu tidur aja di ranjang itu. Biar saya tidur di sofa ini.” Akbar menunjuk sofa lebar yang ada di sana.
Hana memberikan selimut dan bantal pada Akbar, dia sudah tidak mau berdebat lagi karena sudah merasa lelah dan ingin segera tidur sehingga menurut saja dengan keputusan Akbar.
***
Besoknya, setelah sarapan di hotel, Akbar membawa Hana ke rumahnya. Semua barang-barang Hana sudah dipindahkan ke rumah Akbar, tetapi masih ada dalam koper.
“Han, selama kamu menikah, kita akan tidur terpisah ya. Itu kamar kamu dan yang ini kamar saya. Kita akan menjalani hidup kita masing-masing tanpa saling ganggu. Kamu jalani semua kursus-kursus yang diperintahkan mama, saya akan bekerja dengan baik. Kalau ada pertemuan yang mengharuskan saya mengajak kamu, maka saya akan memberi tahu lebih dulu.”
“Iya, Mas. Saya paham apa yang Mas maksud. Saya juga merasa lebih nyaman kalau kita jalani hidup masing-masing.”
“Bagus kalau kamu sudah paham. Saya akan mengirim uang bulanan buat kamu, tapi kamu tidak perlu memasak untuk saya. Saya bisa mengurus makan saya sendiri.” Akbar memberikan sebuah kartu ATM dengan nomor PIN-nya.
Hana menerima kartu ATM itu.
“Saya mau istirahat di kamar karena hari ini saya masih cuti. Tolong jangan ganggu saya.”
“Baik, Mas.”
Akbar pun masuk ke kamarnya.
Hana tidak tinggal diam, dia pun segera pergi mencari warung terdekat yang menjual sayuran sambil menghafal apa aja yang ada di dekat rumah Akbar itu. Walaupun warung sayur letaknya agak jauh, Hana tidak merasa lelah sama sekali. Perempuan itu belanja bahan makanan di sana untuk dia masak di rumah Akbar.
Begitu Hana kembali ke rumah dia mulai membersihkan rumah dan kamarnya lalu menuju dapur. Di sana Hana menyibukkan diri dengan memasak masakan kesukaannya.
Hana tidak menyadari jika aroma masakannya itu sampai ke kamar Akbar. Pria itu tiba-tiba merasa lapar saat menghidu aroma masakan Hana lalu keluar dari kamar. Pria itu mencari Hana ke dapur.
“Kamu masak, Han?”
“Iya, Mas. Saya masak semur ayam dan tumisan sayur buat makan siang dan makan malam saya. Mas mau makan siang bareng saya?”
Akbar merasa lapar dan ingin makan masakan Hana, tetapi gengsinya lebih besar. “Tidak. Kamu makan aja masakan kamu itu, saya bisa makan di luar.” Akbar pun kembali ke kamar lalu pergi meninggalkan rumah menuju sebuah restoran.
Pria itu pun memesan makanan di sana. “Mas, ada semur ayam sama tumisan sayur enggak? Dia masih membayangkan masakan Hana tadi.
“Enggak ada, Mas. Di sini kami menjual masakan Jepang. Ada menu lain yang Mas mau pesan?”
“Iya ya.” Akbar baru sadar jika dia sudah salah masuk restoran. Dia pun memesan masakan yang ada di sana.
Pesanan Akbar pun diantar. Dia tidak berselera menatap makanan di hadapannya. Pikirannya terus membayangkan semur ayam dan tumisan sayur yang dimasak Hana tadi.
“Pengan makan masakan Hana.” Akbar berkata dalam hati sambil makan makanan yang dia pesan dengan perasaan terpaksa.