7. Kecurigaan yang Terbukti

1747 Words
Sebenarnya, sejak hari pertama bertemu, Dani sudah memiliki perasaan berbeda terhadap sosok guru Zanna. Apalagi setiap kali perempuan itu memanggilnya ‘Ann’, caranya mengucap terasa sangat akrab di telinga Dani. Alhasil, selama lima hari terakhir, Dani terus mengamati wanita itu secara diam-diam untuk menemukan jawaban atas kejanggalan yang dia rasa. Makin diamati, Dani makin merasa jika perempuan ini mirip sekali dengan Yuta dan hari ini kecurigaannya terbukti. Semua keanehan yang membuat Dani bertanya-tanya akhirnya terjawab. "Saya bukan Maharani," bantah Yuta panik. Mendengar Dani memanggilnya Maharani dan menyadari dia merespon begitu saja, seketika itu juga tubuh Yuta gemetar. Hanya perlu satu minggu bagi Dani untuk menyadari penyamarannya. Semudah itu dirinya bisa ketahuan. Bagaimana nasibnya setelah ini? "Enggak usah ngelak lagi. Gue tau banget ini tuh lo.” Dani langsung mengulurkan tangan untuk mencekal lengan Yuta, seolah-olah dia takut wanita itu akan menghilang begitu saja jika tidak ditahan. “Lo ke mana aja selama ini, Ta? Gue kangen." Setengah mati Yuta berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, "Ngg … ma-maaf, tapi saya bu-" Namun, Dani tidak membiarkan Yuta menyelesaikan kata-katanya. "Masih mau bohong juga." "Saya harus pulang," bisik Yuta panik sembari berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Dani. Alih-alih melepasnya, Dani mencekal Yuta makin kuat. "Kita harus bicara, Ta." "Please, Ann," pinta Yuta dengan nada memohon yang sangat. Dia sadar Dani tidak bisa dibohongi terus. Lagi pula, memang dia adalah seorang pembohong yang buruk. Predikat jujur terlalu melekat kuat dengan dirinya. Dani mengulurkan tangan ke arah tas Yuta. "Mana HP lo?" "Buat apa?" tanya Yuta gusar. “Sini!” desis Dani memaksa. Lucunya, Yuta menurut begitu saja. Dani menerima ponsel Yuta, memasukkan kontaknya di sana, lalu mengirim pesan ke nomornya sendiri. Setelah itu, dia mengembalikan ponsel Yuta kepada sang pemilik. "Temui gue di tempat ini nanti malam. Lo harus dateng, oke?" Yuta melihat alamat yang Dani tuliskan dengan perasaan tidak karuan. "Lo tenang aja, enggak akan ada orang lain yang tau soal ini," ujar Dani menenangkan. Yuta memandangi wajah Dani dan menemukan kesungguhan di sana. Meski sudah sekian lama tidak bertemu, nyatanya Dani masih tidak berubah. Perhatian dan kepeduliannya masih sebesar dahulu dan entah mengapa Yuta bisa percaya. Dia yakin Dani tidak akan menjebaknya. Namun, bukan berarti Yuta tidak khawatir sama sekali. "Ini tempat siapa?" tanya Yuta ragu-ragu. "Tempat gue." "Gimana kalau ada yang tau?" "Enggak akan,” sahut Dani yakin. “Lo tenang aja." Meski Dani sudah menjamin tidak akan ada yang tahu, masih ada kekhawatiran Yuta yang lainnya. "Ann, aku enggak bisa ninggalin rumah terus-terusan." "Alasannya?" Yuta ragu-ragu sejenak, kemudian menjawab apa adanya, "Anak aku nunggu." "Ah, iya! Tadi lo bilang punya dua anak.” Seketika itu juga Dani teringat. “Jadi, beneran lo punya anak selain Zanna?" Yuta menjawab sambil berusaha menghindari tatapan Dani. "Beneran, Ann." "Oke, kalo gitu gue yang ke rumah lo,” putus Dani cepat. “Sekalian gue mau liat anak lo, gue juga mau tau kayak gimana lo hidup selama ini." "Ann, please?" Wajah memelas Yuta tampak begitu tidak karuan. "Lo enggak percaya sama gue?" tanya Dani dengan nada sedih. Yuta menggeleng, lalu berbisik, "Aku percaya." Dani mengangguk puas, lalu mendorong Yuta perlahan. "Oke, kalo gitu masuk mobil lo. Nanti gue ikutin." Setelah berkendara sekitar 40 menit, Yuta menepikan mobilnya di depan sebuah rumah. Dani segera mengikuti Yuta turun sembari matanya bekerja cepat memeriksa daerah sekitar. "Kamu mau bicara di sini apa di dalam?" Dani menatap Yuta sambil meringis. "Sejujurnya gue pengin masuk." "Kamu enggak keberatan kalau aku minta mandi dan ganti baju dulu?" "Enggak masalah.” Dani mengangguk antusias. “Pinjemin aja baju buat gue." Ketika Yuta dan Dani mencapai teras, dari jendela langsung terdengar suara riang Zev. "Mama!" "Sebentar ya, Sayang. Mama mandi dulu." Yuta mengajak Dani masuk dari pintu samping, lalu langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekitar setengah jam kemudian, Yuta sudah siap untuk menemui putranya. "Hai, Sayang!” Yuta merentangkan tangan ke arah Zev. “Sini!" Zev segera meninggalkan mainannya dan berlari ke arah Yuta. "Mama puyangnya yama agi." Yuta mengangkat tubuh Zev dan menggendongnya. "Maaf ya, Sayang." Asha yang tadi tengah menemani Zev bermain, segera menyingkir ke kamarnya agar tidak mengganggu Yuta. Dia tahu sosok yang Yuta bawa pulang adalah Dani dan Asha yakin banyak hal yang ingin mereka obrolkan. Dari belakang, Dani berbisik gemas, "Aduh, lucu banget anak lo!" "Mama cama capa?" tanya Zev dengan matanya yang penuh rasa ingin tahu. Tidak ada wajah ketakutan melihat orang baru, hanya penasaran saja. "Zev, ini temannya Mama." Yuta memutar tubuh agar Zev bisa langsung melihat Dani. "Ann, ini anak aku. Namanya Zevulon, dipanggilnya Zev." Zev memandangi Dani, kemudian melambaikan tangan mungilnya dengan ekspresi lucu. Yuta mengulurkan tangan Zev ke arah Dani. "Zev, salam dulu sama Om-" "Maharani!” Dani langsung memotong ucapan Yuta. “Gue bukan om om." "Eh, iya! Maaf maaf," gumam Yuta sambil meringis. Dia lupa kalau sosok kemayu ini tidak sudi menerima semua panggilan yang berbau laki-laki. "Maksud Mama ini Tante Ann." Dani kembali mengajukan protes sambil berbisik di telinga Yuta. "Lo pikir gue pantes dipanggil tante?" "Abis apa dong?" tanya Yuta pasrah. Dahulu, dia belum mengajarkan Zanna untuk memanggil Dani dengan sebutan apa pun. Jadi, sekarang Yuta bingung sendiri. "Panggil Ann aja," jawab Dani cepat. "Enggak sopan, Ann,” bantah Yuta tidak setuju. “Aku enggak mau Zev jadi anak kurang ajar." "Ya udah, samain aja kayak Zanna," sahut Dani cepat. "Uwa maksudnya?" gumam Yuta tidak yakin. "Yup!" "Kenapa uwa sih, Ann?” Akhirnya, Yuta memiliki kesempatan juga untuk mengutarakan keingintahuannya. “Aku penasaran dari kemarin-kemarin." "Abisnya mau apa?” balas Dani datar. “Paling aman uwa aja, bisa buat cewek atau cowok. No genderisasi. Anggap aja gue kakak lo. Jadi, anak-anak lo bisa panggil gue uwa." Setelah mendengarkan penjelasan Dani, Yuta akhirnya mengangguk setuju. "Okelah, masuk akal." Dani kembali berbisik di telinga Yuta, "Cepet jelasin, anak lo bengong tuh!" "Zev, panggilnya Uwa Ann ya," ujar Yuta mengajari Zev. "Uwa Ann," ujar Zev menirukan ucapan ibunya. "Anak pinter!" Dani mengangguk senang, kemudian mengulurkan tangan ke arah Zev. "Sini gendong sama Uwa." Lucunya, Zev mau saja digendong oleh Dani. Begitu berhasil menggendong Zev, Dani langsung bertanya, "Zev umur berapa, Ganteng?" "Umuy tiga," jawab Zev sambil menunjukkan ketiga jarinya. "Wah, udah umur tiga!" Tanpa sadar otak Dani kembali menghitung-hitung untuk kesekian kalinya. "Udah sekolah belum?" Zev menggeleng kecil. "Beyum." Dan dimulailah aksi Dani selanjutnya untuk mengorek informasi dari bocah polos itu. "Zev tinggal sama siapa aja di sini?" "Kamu mau interogasi anak aku?" tanya Yuta curiga. "Cuma mau nanya kabar aja, ih!" bantah Dani tidak terima, padahal sebenarnya memang begitu. "Zev tinggal sama siapa aja, Ganteng?" tanya Dani lagi. "Cama Mama, cama Ate Aca." "Tante Aca?" gumam Dani bingung. "Asha,” ujar Yuta membenarkan ucapan Zev yang masih belum terlalu jelas. "Ohh, beneran ada makhluk bernama Asha ternyata," gumam Dani sembari mengangguk-angguk geli. Dia pikir nama Asha hanya karangan Yuta semata. "Dia sahabat aku.” Yuta langsung menjelaskan tanpa diminta. “Guru les." Kembali Dani mengangguk-angguk. "Ohh, ternyata beneran ada." "Aku enggak ada niat deketin Zanna dengan cara kayak gini, Ann," ujar Yuta cepat. "Ada niat juga gapapa,” sahut Dani enteng. “Lo berhak kok. Dia kan-" Yuta segera menyikut Dani. "Jangan diterusin, ada Zev." Kening Dani berkerut tatkala dia bertanya, "Zev enggak tau soal Zanna?" "Enggak," ujar Yuta. "Capa Cana?" tanya Zev penasaran. "Zanna itu murid lesnya Mama, Sayang," sahut Yuta cepat. "Zev tinggal sama siapa lagi di sini?" tanya Dani lagi. "Papa,” ujar Zev dengan mata berbinar. "Ah, ada Papa!” ucap Dani seraya melirik ke arah Yuta. “Nama papanya Zev siapa?" "Papa Bimo," jawab Zev tanpa ragu. Kali ini bukan lirikan lagi yang Dani arahkan ke Yuta, melainkan tatapan tajam yang penuh tanya. "Bimo?" Yuta paham betul maksud tatapan Dani, tetapi dia berlagak tidak sadar. "Maharani … apa lo nikah sama Bimo?" “Soal itu …,” bisik Yuta ragu-ragu. “Ta, please,” pinta Dani dengan tatapan memohon. “Tolong certain semua sama gue, mulai dari pertama lo pergi sampai hari ini. Apa aja yang terjadi sama lo?” Lidah Yuta terasa kelu di hadapan Dani. “Apa lo enggak tau sebesar apa kekhawatiran gue mikirin lo? Tiap hari gue enggak bisa tenang, mikirin lo terus.” “Aku bakal ceritain semua sama kamu.” Mau tidak mau ingatan Yuta kembali pada masa empat tahun lalu, ketika pertama kali dia harus berjuang menghadapi perpisahan menyakitkan yang sampai hari ini masih membuat hatinya berdarah. Malam itu, Yuta tengah terduduk sendirian dalam gelap pada sebuah penginapan kecil di daerah terpencil. Sudah hampir dua minggu dia meninggalkan rumah Ritz. Yuta sengaja menghindari hotel besar untuk memperkecil kemungkinan keberadaannya akan disadari. Dia juga menghindari penggunaan kartu ATM, kartu kredit, atau berbagai transaksi daring. Semua transaksi Yuta lakukan secara manual. Berhari-hari Yuta hanya mengurung diri dalam kamar. Hampir seluruh waktunya hanya dia pergunakan untuk menangis. Seluruh semangat dan keinginannya untuk melanjutkan hidup seolah-olah sirna. Rasanya tidak ada lagi yang ingin dia lakukan karena semua jalan di depan berubah gelap. Perasaan Yuta bertambah buruk tatkala media ramai-ramai memberitakan soal keretakan rumah tangganya dengan Ritz. Entah bagaimana caranya berita ini sampai tersiar, Yuta sungguh tidak paham. Mata Yuta menatap nanar ke arah layar televisi yang tengah memperlihatkan gambar dirinya beberapa waktu lalu bersama Ritz. “Kisruh rumah tangga pasangan artis yang selama ini selalu dikenal mesra dan harmonis membuat …” Cepat-cepat Yuta mengganti saluran televisi karena tidak ingin mendengar kelanjutannya. Namun, saluran lain pun ternyata tengah membahas topik yang sama. “Rumah tangga Ritz dan Yuta tengah dihantam isu keretakan, padahal selama ini jarang diterpa gosip. Kabarnya Ritz telah melayangkan gugatan cerai kepada …” Pilihan terbaik adalah mematikan televisi. Yuta tidak peduli jika hanya hidupnya yang terusik, tetapi dia terlebih memikirkan Zanna, ayah, ibu, serta adiknya. Namun, isu perceraiannya dengan Ritz bukan hanya ramai di televisi. Di media sosial pun marak, bahkan lebih heboh. Hal yang lebih menakutkan lagi, yang namanya gosip pasti beritanya jadi merambat dan berkembang ke mana-mana. Sayangnya, tangan Yuta gatal dan dia penasaran ingin melihat, padahal sudah tahu pasti akan berakibat buruk. Rumah Tangga Ritz dan Yuta Terancam Kandas Ritz-Yuta Sudah Pisah Rumah Sejak Empat Bulan Terakhir Orang Ketiga dalam Keretakan Pernikahan Ritz-Yuta Keluarga Yuta Angkat Bicara Berbagai akun gosip pada aplikasi berbeda ramai-ramai membahas hal yang sama. Begitu banyak kumpulan foto dan video mereka yang dikompilasi lalu dikomentari berseliweran di mana-mana, serta menjadi trending topik. Semua judul-judul yang dibuat seenaknya oleh para akun pembahas gosip membuat Yuta makin terpuruk. Akhirnya, dia memilih mematikan saja ponselnya. “Kenapa semuanya jadi begini?” lirih Yuta putus asa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD