"Pelajaran kita hari ini selesai, Sayang." Terselip sedih dalam hati Yuta saat mengatakannya. Rasanya masih tidak rela berpisah. apalagi mengingat besok hari Sabtu. Itu artinya mereka tidak bisa bertemu untuk dua hari mendatang.
Rupanya kesedihan itu tidak hanya dirasakan oleh Yuta. Suara Zanna saat bertanya terdengar sarat perasaan tidak rela berpisah juga. "Tante Asha mau langsung pulang?"
"Iya, Sayang."
"Yah …." Zanna tertunduk sedih.
"Kenapa, Sayang?" tanya Yuta heran.
Zanna menatap Yuta penuh harap. "Enggak bisa di sini dulu?"
"Zanna mau apa?"
"Mau ditemenin aja." Aneh mungkin melihat bagaimana Zanna bisa langsung terikat demikian erat dengan Yuta, padahal mereka baru bertemu selama satu minggu. Namun, mungkin itulah yang dinamakan ikatan batin. Tidak terlihat, tetapi dapat terasa.
Sejujurnya, Yuta terharu melihat mata Zanna yang menatapnya penuh harap. Gadis kecil itu tampak sangat mengharapkan kebersamaan mereka. "Bukannya Tante udah temenin Zanna cukup lama hari ini?"
"Kerasanya baru bentar."
"Sudah dua jam lebih loh."
"Enggak kerasa, kayak baru dateng," ujar Zanna dengan bibir mengerucut sedih.
Jika seperti ini, mana mungkin Yuta tega meninggalkannya? Apalagi dia sendiri memang terus merindukan Zanna. "Kalau Tante Asha di sini, Zanna mau minta ditemani melakukan apa?"
"Apa aja. Makan, main, baca, nonton, pokoknya ditemenin aja."
Terenyuh rasanya hati Yuta mendengar keinginan sederhana Zanna. Gadis kecil itu hanya ingin ditemani. Hal yang seharusnya dan sewajarnya Zanna dapatkan sebagai seorang anak, nyatanya begitu sulit dia dapatkan.
Ingin rasanya Yuta merengkuh tubuh mungil Zanna dan mendekapnya erat, tetapi yang dapat dia lakukan hanya berkata lirih, "Zanna kesepian enggak ada teman ya?"
"Banget. Apalagi besok Sabtu, Tante enggak akan dateng. Baru bisa ketemu lagi Senin." Mengabaikan segala larangan dan protokol kesehatan yang harus dipatuhi, tangan mungil Zanna terulur untuk menyentuh lengan Yuta. "Tante mau 'kan temenin Zanna?"
Meski terhalang APD, sentuhan kecil Zanna mampu mengirimkan getar yang luar biasa ke hati Yuta. Tanpa bisa menolak lagi, Yuta berkata, "Sebentar aja ya?"
"Yeay!" Seketika itu juga Zanna melonjak dari kursi dan melompat kegirangan.
Setelah memastikan gurunya tidak akan langsung pulang, Zanna mengajak Yuta meninggalkan kamar. Dia berjalan di sisi Yuta sambil berceloteh ceria. Langkahnya pasti menuruni tangga, ingin mengajak Yuta ke taman belakang.
"Udah selesai ya, belajarnya?" sambut Andin di bawah.
"Udah, Tante Ndin."
Andin tersenyum lega melihat betapa cerianya Zanna satu minggu terakhir. "Gimana hari ini?"
"Seru!" sahut Zanna antusias.
Dani mendekat, lalu bertanya kepada Yuta, "Zanna rewel enggak, Bu Guru?"
Yuta menjawab yakin, "Enggak kok, Zanna taat banget."
"Beneran?" tanya Dani sedikit sulit percaya.
Yuta mengangguk untuk meyakinkan Dani. "Tugas-tugasnya yang missing hanya tersisa sedikit lagi."
"Sedikitnya tuh berapa, Bu Guru?" ujar Dani penasaran karena bagi mereka, jumlah 20 saja masih terhitung sedikit.
"Tidak lebih dari sepuluh," ujar Yuta.
Sontak saja Dani dan Andin berpandangan.
"Keajaiban!" desis Andin takjub.
"Bu Guru hebat banget!” Dani bertepuk tangan kagum. “Kita sih udah jungkir balik juga tetep enggak berhasil bantuin Zanna, yang ada malah kayang bersama."
"Tante Ndin, Uwa Ann, hari ini Tante Asha enggak langsung pulang," ujar Zanna dengan nada bangga.
"Loh, ada apa nih?" tanya Dani heran.
"Tante Asha udah janji mau temenin Zanna dulu," sahut Zanna senang.
Dani menatap ragu-ragu ke arah Yuta. "Bener gitu, Bu Guru?"
"Benar, tapi enggak bisa lama."
"Maaf ya, Bu Guru.” Dani meringis tidak enak hati. “Ini pasti Zanna yang maksa."
Cepat-cepat Yuta menggeleng. "Enggak apa-apa."
"Zanna mau ngapain sama Bu Guru?" tanya Dani penasaran.
"Makan bareng gimana?" ujar Zanna penuh harap.
Seketika itu juga Yuta diserang panik. Jika makan bersama, artinya dia harus melepas masker dan wajahnya akan kelihatan. "Ngg … kalau soal itu …."
"Kalau makan jangan ya, Sayang,” sahut Andin waswas. “Kita lakukan kegiatan yang lain aja."
"Kenapa jangan?” tanya Zanna kecewa. “Padahal Zanna pengin makan bareng Tante Asha."
"Kan lagi pandemi, Sayang,” bujuk Yuta lembut. “Orang yang tidak tinggal serumah, sebaiknya jangan makan bersama."
"Kalau gitu Tante Asha tinggal di sini aja,” celetuk Zanna.
Yuta, Dani, dan Andin langsung terlihat salah tingkah.
Namun, Dani yang pertama bisa merespon. "Enggak bisa begitu, Cantikku!"
"Kenapa, Uwa?" tanya Zanna tidak mengerti.
Dani berusaha menjelaskan semampunya. "Bu Guru kan punya rumah sendiri, punya keluarga sendiri, enggak bisa sembarangan diajak tinggal bareng."
Zanna langsung menoleh ke arah Yuta dan mengajukan pertanyaan berbahaya. "Tante tinggal sama siapa?"
Yuta berusaha menjawab dengan tenang dan menutupi kegugupannya. "Sama sahabat Tante."
"Tuh sahabat, Uwa,” ujar Zanna dengan nada protes. “Bukan keluarga."
Refleks Dani bertanya, "Bu Guru belum nikah?"
Sebagai orang yang sulit berbohong, terpaksa Yuta menjawab jujur, "Udah pernah."
"Tante punya anak enggak?" tanya Zanna lagi.
Kali ini pun Yuta menjawab jujur, "Punya, Sayang."
Kembali Zanna bertanya, "Cewek apa cowok?"
"Cewek dan cowok," sahut Yuta.
"Wah, Zanna pengin ketemu!" seru Zanna penuh harap.
"Nanti kalau udah lewat pandeminya ya," ujar Yuta diplomatis.
"Kenapa enggak dibawa aja ke sini, Tante?" desak Zanna tidak sabar.
Dani kembali tampak serba salah. Tidak enak kepada sang guru karena Zanna pasti merepotkan dan membuatnya tersudut. "Mana bisa, Cantikku?"
Namun, Zanna yang polos tetap saja berbicara sesuka hati, "Atau sekalian tinggal aja di sini bareng Tante Asha."
"Tante Asha ‘kan punya suami, masa ditinggal?" ujar Andin untuk membantu memberi Zanna pengertian.
"Tadi Tante Asha bilangnya pernah nikah, berarti sekarang udah enggak, berarti suaminya enggak ada," jawab Zanna yakin.
Ketiga orang dewasa itu kembali dibuat melongo.
"Ini anak logikanya jalan amat sih?" desis Dani gusar. Memang berbicara di hadapan Zanna harus sangat hati-hati karena kecerdasan gadis kecil itu cukup tinggi dan daya nalarnya pun luar biasa.
"Kita main aja, mau?" ujar Yuta cepat.
"Zanna udah capek,” keluh Zanna lesu. “Maunya makan atau nonton aja."
Mendengar putrinya lapar, tentu Yuta tidak tega. Langsung saja dia mencari akal. "Gimana kalau Tante temani Zanna makan, tapi Tante enggak ikut makan?"
"Nanti Bu Guru melongo, dong!" sahut Dani tidak setuju.
"Enggak masalah," jawab Yuta tenang. "Zanna mau begitu?"
"Boleh, deh. Tapi nanti Tante Asha sambil dongengin Zanna ya?" pinta Zanna penuh harap.
Akhirnya, mereka beralih menuju meja makan. Dani yang memang sudah lapar, tanpa ragu langsung mulai menyiapkan makanan untuk dirinya. "Bu Guru beneran enggak mau ikut makan?"
Yuta menggeleng cepat.
"Kalau takut bahaya, setidaknya minum aja ya, Mbak Asha?" bujuk Andin.
"Iya, kita bisa buatin minuman,” imbuh Dani. “Minumnya pakai sedotan aja, muka tetap ketutup face shield."
Sampai di sini, tingkat senewen Yuta mulai meninggi.
"Iya, betul!” Andin mengangguk mendukung usulan Dani. “Kayaknya masih aman deh kayak gitu."
Kini sekujur tubuh Yuta mendadak berkeringat dingin.
"Ayo, Tante! Buka maskernya!” seru Zanna penuh harap. “Zanna penasaran pengin liat mukanya Tante."
"Jangan ya,” bujuk Yuta penuh harap. “Biar kita saling menjaga supaya semua tetap aman."
"Bu Guru enggak lapar emangnya?" tanya Dani khawatir.
"Sebelum ke sini saya udah makan dulu," sahut Yuta cepat.
"Kenyang emangnya?” tanya Dani lagi. “Saya sih tiap abis nemenin Zanna belajar, enggak usah lama-lama, 15 menit aja cukup, langsung perut ngamuk."
Yuta harus menahan senyum mendengar jawaban jujur Dani, kemudian menambahkan, "Sebelum turun dari mobil juga udah minum jus buah dulu."
"Bu Guru suka minum jus?" tanya Dani kagum. Rasanya tidak mudah menemukan orang yang senang membawa jus ke mana-mana sebagai bekal.
Yuta mengangguk kecil. "Setiap hari."
"Wah, Bu Guru sehat!" puji Dani takjub.
"Tante Asha suka jus apa?" tanya Zanna penasaran karena dia sendiri suka jus.
"Semua Tante suka," jawab Yuta.
"Yang paling suka apa?" tanya Zanna lagi.
Tanpa pikir panjang, Yuta menjawab, "Tante paling suka jus campuran stroberi, nanas, lemon, sama mangga."
Seketika itu juga Zanna bergidik. "Ih, asem!"
Yuta tertawa melihat ekspresi lucu Zanna. "Buat Tante rasanya enak, segar."
"Nanti kapan-kapan Zanna mau coba deh," gumam Zanna meski tidak terlalu yakin.
Di saat Yuta dan Zanna membahas jus-jus lain yang mereka suka, diam-diam Dani berpikir. Dia merasakan sebuah kejanggalan yang makin kentara dari sosok guru Zanna. Kira-kira, seberapa besar kemungkinan orang bisa memiliki kesamaan akan satu rasa jus campuran yang sama persis? Dani ingat benar kalau keempat buah yang tadi disebutkan adalah kesukaan Yuta dahulu. Kalau hanya kebetulan sama-sama menyukai satu jenis jus buah, tentu kemungkinannya besar. Namun, yang ini aneh.
"Zanna suka makan sayur apa enggak?” Topik bahasan Yuta dengan Zanna telah bergeser.
Wajah Zanna mengernyit. "Suka, tapi enggak banyak."
"Apa aja yang Zanna suka?" tanya Yuta penasaran.
"Wortel, brokoli, sama bayam," jawab Zanna tanpa ragu.
Kening Yuta berkerut dalam. "Cuma tiga?"
"Sedikit banget 'kan, Bu Guru?" celetuk Dani gemas. Sulit sekali memaksa Zanna memakan berbagai jenis sayuran.
"Emangnya Tante suka sayur?" tanya Zanna dengan wajah penuh ingin tahu.
Yuta langsung mengangguk kencang. "Suka, dong!"
"Suka apa aja?" tanya Zanna lagi.
"Semua sayur Tante suka," Jika dahulu Yuta tidak suka sayur, bisa habis dia disiksa Dani.
"Hebat," desah Andin kagum. Dia memang tidak separah Zanna, tetapi juga tidak terlalu hebat.
"Nanti Zanna belajar makan sayur juga ya," ujar Yuta dengan nada membujuk.
Jika urusan buah Zanna mudah menuruti, tidak halnya dengan sayur. Wajahnya terlihat ragu-ragu untuk mengiakan, bahkan dia bertanya lagi, "Tante makan sayur tiap hari?"
Yuta mengangguk-angguk kencang. "Iya, dong!"
Pengakuan Yuta soal kemampuannya menyantap segala macam sayuran pun makin menambah kecurigaan dalam hati Dani. Dengan gaya santai, tetapi ada maksud menjebak, Dani bertanya, “Bu Guru makan sayurnya diolah jadi apa?”
“Dimasak apa aja saya suka,” ujar Yuta.
Untungnya Zanna mendukung keingintahuan Dani dengan mengajukan pertanyaan lanjutan, “Paling suka diapain?”
“Paling suka dimakan mentah aja sih,” sahut Yuta. Maklum saja, besar di tanah Sunda membuat Yuta akrab dengan sayur-sayuran mentah setiap harinya.
“Oh, doyan lalapan,” gumam Dani seraya mengangguk-angguk.
"Mbak Asha kulitnya pasti bagus," puji Andin kagum.
"Kenapa emangnya?" tanya Zanna penasaran.
"Orang yang rajin makan sayur sama buah, katanya akan punya kulit yang bagus dan sehat," ujar Andin.
Di saat yang lain asyik membahas soal kulit sang guru, pikiran Dani kembali mengembara. Kecurigaannya akan sosok guru Zanna kian menguat. Selera perempuan ini sama persis dengan Yuta. Belum lagi ketika dia mengamati-amati gerak-gerik perempuan itu. Berapa banyak orang yang memiliki kebiasaan memainkan lembaran tisu di meja makan dan melipat-lipatnya sampai menjadi gulungan kecil menyerupai peluru untuk memainkan tembakan karet?
"Zanna jadi pengin liat," celetuk Zanna tiba-tiba.
Lagi-lagi keinginan Zanna membuat Yuta jantungan, tetapi dia bisa mengelak dengan cepat. "Kan Tante harus pakai APD, Sayang."
"Enggak boleh dibuka ya?" tanya Zanna sedih.
Yuta menggeleng cepat. "Nanti takut bahaya."
Wajah Zanna tampak kecewa ketika bertanya, "Sampai kapan sih, Tante Asha harus pakai APD?"
"Sampai pandemi berakhir, Sayang," sahut Yuta diplomatis.
"Pandeminya sampe kapan?" cecar Zanna tidak sabar.
Dani terkekeh gemas. "Cuma Tuhan yang tau, Cantikku!"
Diam-diam Dani juga terus mengamati mata wanita itu. Dia yakin jika mata yang saat ini dia lihat, berbeda dengan foto yang tertera di surat lamaran milik guru Zanna.
Meski masih tampak tidak puas, Zanna mencoba mengajukan pertanyaan lain. "Terus kalau suka makan sayur sama buah, badannya jadi wangi juga enggak?"
"Kalau itu Tante Ndin kurang tau, Sayang," jawab Andin cepat.
"Tapi Tante Asha wangi," sahut Zanna.
"Wangi apa?" tanya Andin. Dia sendiri tidak mencium apa-apa. Maklum saja, siapa yang bisa membaui dengan benar kalau hidung selalu tertutup masker? Namun, ketajaman hidung Zanna memang sedikit di atas rata-rata. Selain itu, Zanna juga banyak menghabiskan waktu dengan Yuta dan duduk berdekatan.
"Enggak tau, wanginya lembut, enak banget," ujar Zanna dengan mata berbinar-binar.
"Bu Guru pake parfum?" celetuk Dani.
Dengan polosnya Yuta menjawab, "Saya enggak pernah pakai parfum."
"Wangi sterilizer kali ya," ujar Andin menerka-nerka.
"Bukan, Tante!" bantah Zanna yakin. "Bau semprot-semprot itu enggak enak, baunya Tante Asha enak."
"Bau kayak apa sih?" Lama-lama Dani jadi penasaran berat.
"Kayak bau-bau di kamar Papa."
Deg! Seketika itu juga Yuta merasa tegang. Tubuhnya mendadak kaku dan tidak dapat digerakkan.
"Kamar Mas Ritz bau apa gitu?" gumam Andin seraya mengingat-ingat.
"Mas Lau enggak suka pake wangi-wangian, palingan juga adanya bunga," ujar Dani yakin.
"Oh, iya!" Mata Andin langsung membulat sejadi-jadinya. "Bunga jimat tidurnya Mas Ritz ya."
Salahkah jika Dani makin curiga? Perlahan, dia bertanya hati-hati, "Zanna, Bu Guru baunya kayak bunga di kamar Papa?"
"Bener, Uwa!" Zanna mengangguk kencang.
Tanpa sadar Dani langsung melempar pandang ke arah Yuta. "Gimana caranya wangi Bu Guru bisa sama kayak …?"
"Zanna mungkin salah membaui," sahut Yuta berusaha tenang, padahal suaranya jelas terdengar bergetar.
"Iya, Mbak Asha ‘kan pake APD juga," sahut Andin polos. "Yang ada harusnya bau karet."
"Zanna yakin enggak salah cium!" seru Zanna ngotot. "Kalau duduk sebelah Tante Asha, suka ada bau-baunya dikit. Enak banget."
Dani bisa melihat jika tubuh sang guru sudah kaku tidak karuan. Rasa iba membuat Dani mengalihkan pembicaraan.
Usai menemani Zanna makan, akhirnya Yuta diizinkan pulang. Kali ini, Dani bertekad akan mengantar wanita itu sampai ke mobil.
"Bu Guru, maaf ya, hari ini pulangnya jadi jauh lebih telat dari seharusnya," ujar Dani saat mengiringi Yuta meninggalkan teras. Dia sengaja meminta Andin menemani Zanna di kamar saja.
"Enggak apa-apa kok. Saya juga senang menemani Zanna."
"Anaknya Bu Guru enggak nyariin?" ujar Dani dengan maksud mengorek keterangan lanjutan.
"Pasti nyari sih, tapi ada yang jaga," ujar Yuta dengan perasaan bersalah. Satu minggu ini waktunya untuk Zev jadi banyak berkurang.
"Anaknya Bu Guru umur berapa?"
"Tiga tahun."
"Wah, masih kecil!" Otak Dani langsung sibuk menghitung-hitung.
"Saya permisi dulu," ujar Yuta setelah mencapai mobilnya.
Dani melambai penuh senyum. "Hati-hati nyetirnya, Bu Guru!"
"Makasih, Ann," bisik Yuta tanpa sadar.
Cara wanita itu memanggilnya membuat Dani makin yakin. Sejak awal wanita ini memanggilnya beberapa hari lalu, Dani sudah merasakan kejanggalan. Kian hari, rasa janggal itu terasa makin mengusik.
Tepat ketika Yuta akan masuk, Dani memanggil. "Maharani …."
Refleks Yuta menyahut, "Ya?"
Saat pandangan mereka bertemu, Dani berbisik haru sekaligus lega, "Ternyata ini emang lo, Maharani …."