4. Bu Guru

2140 Words
Keringat dingin langsung membanjiri tubuh Yuta. Apakah dia langsung ketahuan? Namun, Yuta segera ingat jika saat ini dirinya masih mengenakan APD karena dian berniat melepasnya di mobil saja. Jika demikian, bagaimana mungkin Ritz bisa mengenalinya? Berbekal keyakinan itu, Yuta menjawab, "Kita belum pernah bertemu, mungkin Bapak salah mengenali." "Saya tidak salah," bantah Ritz yakin. "Kamu yang waktu itu datang mengantar kado untuk putri saya, 'kan?" Entah harus lega atau heran, tetapi Yuta melongo. Ternyata Ritz mengenalinya sebagai pengantar hadiah. "Benar, 'kan?" desak Ritz tidak sabar. "Iya, betul, tapi bagaimana caranya Bapak bisa tahu?" "Sepatu kamu persis seperti yang waktu itu dipakai." Ritz menunjuk ke arah kaki Yuta. "Tas kamu juga sama." Yuta mengerjap tidak percaya. "Oh, ini …." Ternyata Ritz masih seteliti ini. Yuta jadi menyesal sudah mengenakan sepatu dan tas yang sama. Jika tahu akan begini, seharusnya tadi dia pinjam saja sandal dan keranjang besar dari pos untuk dibawa pulang sekalian. "Kenapa kamu bisa masuk ke rumah saya?" Ritz yakin pasti ada urusan penting yang perempuan ini lakukan sampai dia bisa diizinkan masuk. "Saya … datang untuk interview." "Ah, guru privat untuk putri saya! Benar begitu?" Yuta mengangguk mengiakan, lalu mencari alasan agar bisa secepatnya hengkang dari sini. "Maaf saya harus segera pergi, murid saya sudah menunggu." Melihat calon guru Zanna sedang terburu-buru, Ritz tidak menahannya lagi. Beberapa waktu kemudian, Ritz masuk ke kamar Zanna setelah selesai mandi. Dia melihat putrinya lagi-lagi tampak murung, padahal beberapa hari terakhir sudah tidak. "Zanna kenapa lagi?" tanya Ritz kepada Andin. "Sedih ditinggal Mbak Asha, Mas," jawab Andin. "Siapa Asha?" "Calon gurunya Zanna, Mas." Ritz mengangguk-angguk. "Tadi kami berpapasan di gerbang." "Menurut Mas Ritz, bagaimana orangnya?" "Saya tidak sempat mengobrol. Kalau menurut kamu sendiri gimana?" "Kayaknya oke, Mas. Zanna juga langsung cocok. Sampai sedih pas Mbak Asha mau pulang." "Tumben Zanna segitunya sama orang baru," gumam Ritz heran. "Mungkin efek di rumah terus, Mas." “Andai memang cuma karena bosan di rumah," bisik Ritz dengan tatapan sendu. Andin tampak bingung. “Maksud Mas?” Pandangan Ritz tampak kosong ketika berujar, “Takutnya Zanna begitu karena terlalu merindukan sosok ….” *** "Mama!" Baru saja Yuta turun dari mobil, suara ceria Zev sudah menyambut dari balik jendela rumah mereka. Bocah mungil itu tampak berjingkrak senang dalam gendongan Bimo. Andai tidak ditahan oleh Bimo, pasti Zev sudah berlari menghampiri ibunya. Namun, kembali ke rumah tidak lagi semudah dahulu sebelum pandemi melanda. Untung saja Zev bisa bersabar. Entah dia memang sudah mengerti, atau teralihkan karena Bimo yang terus menemaninya bermain. Usai mandi, Yuta baru bisa menghampiri putranya. "Hai, jagoannya Mama!" Tanpa menunggu lama, Zev langsung menghambur memeluk ibunya, lalu bertanya manja, "Mama napa yama?" "Mama lama?" balas Yuta dengan perasaan bersalah. Dia memang meninggalkan Zev lebih lama dari perkiraan. Zev mengangguk sembari mengernyit. "Yama banget!" "Maaf ya, Sayang." Yuta mengecup kedua sisi pipi Zev yang menggemaskan. "Zev ngapain aja selama Mama pergi?" Zev tertawa seraya menunjuk ke arah Bimo dan mainan yang berserakan di lantai. "Main cama Papa." Yuta langsung menoleh ke arah Bimo. "Zev rewel enggak, Mas?" Bimo menggeleng tenang. "Enggak kok, seperti biasa Zev anteng kalau sama aku." "Mas enggak beliin Zev mainan baru lagi, 'kan?" tanya Yuta dengan tatapan curiga. Alih-alih menjawab, Bimo malah berlagak sibuk mengotak-atik lintasan mobil untuk mainan Zev. "Mas Bimo?" cecar Yuta penasaran. Akhirnya, Bimo menatap Yuta sambil meringis. "Maaf, Ta." Yuta menggeleng gusar. "Mas, mainan Zev udah banyak banget loh. Enggak semuanya dimainin juga." "Aku enggak tahan, Ta, kalau lihat mainan lucu,” sahut Bimo dengan wajah serba salah. “Pasti gatal pengin beli." "Tapi kalau enggak dimainin sayang, Mas,” ucap Yuta gemas. “Jadinya mubazir." "Enggak akan mubazir, Ta.” Bimo menggeleng yakin. “Kan dimainin bareng aku." Mau tidak mau ucapan Bimo membuat Yuta luluh. Bimo memang tidak pernah asal membelikan, lalu membiarkan Zev bermain sendiri. Pria itu selalu meluangkan waktunya untuk Zev. "Padahal Mas itu udah capek kerja, tapi selalu temenin Zev main sampai berjam-jam." "Gimana lagi, Ta?” balas Bimo pasrah. “Namanya juga sayang anak." "Makasih ya, Mas," bisik Yuta terharu. "Gimana tadi?" tanya Bimo antusias. Yuta tidak mungkin mengatakan dia bertemu Ritz tadi. "Sejauh ini masih maan, Mas." Bimo tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi segera mengurungkan niatnya. "Mas Bimo kenapa lihatin aku begitu?" tanya Yuta heran. Terlihat sekali Bimo berusaha tersenyum, meski hati sebenarnya resah. "Aku cuma khawatir aja, Ta." "Mas Bimo enggak setuju ya, aku kerja di sana?" Cepat-cepat Bimo menggeleng. Dia tidak mau terjadi kesalahpahaman di antara mereka. "Aku selalu dukung kamu, tapi aku takut kamu terluka lagi. Itu aja, Ta." Sungguh Yuta terharu dengan semua kebaikan dan ketulusan yang diterimanya dari Bimo selama empat tahun terakhir. Yuta tidak akan pernah lupa bagaimana Bimo membantu dan mendampinginya melalui masa-masa sulit itu sampai hari ini. *** Awal pekan berikutnya menjadi hari yang sangat Yuta nantikan. Setelah mendapat kabar dari Andin jika Ritz setuju mempekerjakannya sebagai guru Zanna, Yuta sudah tidak sabar menunggu waktu pertemuan kembali dengan gadis kecinya. "Hai, Zanna!" sapa Yuta antara gugup sekaligus bahagia. Rasanya masih tidak percaya bisa menghabiskan waktu bersama putrinya setelah sekian lama. "Hai, Tante Asha!" balas Zanna ceria. "Wah, masih ingat nama Tante!" gumam Yuta senang. "Iya, dong!" Zanna mengangguk bangga. Yuta harus setengah mati menguatkan diri untuk tidak berjongkok, lalu mendekap erat Zanna guna meluapkan kerinduannya. Dorongan itu terasa makin kuat akibat tingkah lucu Zanna yang menggemaskan saat mengangguk tadi. Apalagi hari ini Zanna tidak mengenakan APD, seperti pekan lalu. Demi mengalihkan dorongan itu, cepat-cepat Yuta bertanya, "Zanna sudah siap belajar hari ini?" Kembali Zanna mengangguk. "Mau belajar apa, Tante?" "Boleh Tante lihat Zanna belajar apa aja hari ini?” Zanna menunjuk ke arah meja belajarnya. "Liat di tab Zanna aja, Tante." "Coba Tante lihat dulu ya." Sembari berjalan menuju meja belajar Zanna, diam-diam Yuta mengamati kamar putrinya. Mewah dan lengkap, bak kamar seorang putri. Namun, bahagiakah gadis kecilnya dengan semua ini? "Masuk ke classroom dulu, Tante." Zanna menunjuk sebuah ikon papan tulis di tabletnya. "Oke, sekarang kita periksa tugas apa aja yang belum selesai ya." Menggunakan platform kelas daring seperti ini benar-benar hal baru bagi Yuta, sebenarnya bagi semua orang juga. Untung saja Asha sudah memberi pelatihan kilat untuk Yuta selama satu minggu penuh. Setelah beberapa saat, Yuta melongo kaget melihat deretan tugas yang berwarna merah. "Wah, kenapa banyak sekali yang missing?" "Missing itu karena belum dikerjain, Tante," jawab Zanna santai. "Kenapa enggak dikerjakan?" Jumlah tugas yang belum dikerjakan mencapai puluhan dan seketika itu juga Yuta pusing. Dari mana mereka harus mulai mencicil? Zanna menjawab pasrah, "Enggak bisa." Yuta melongo mendengar jawaban putrinya. Jangan bilang kalau Zanna terlantar di tempat ini. "Zanna enggak ada yang bantu?" "Biasanya ada sih, tapi kemarin-kemarin lagi enggak ada." "Memangnya yang bantu Zanna pada ke mana?" tanya Yuta gusar. Kalau bisa, ingin rasanya dia bawa pulang saja putrinya secara paksa. "Papa kemarin-kemarin pulangnya malam terus. Uwa hampir sebulan dikarantina. Tante Ndin kerepotan karena harus masak sama ngurus rumah sendirian. Jadinya, Zanna enggak ada yang bantu deh." Penjelasan Zanna membuat kejengkelan Yuta surut. Ternyata memang situasinya yang sedang tidak bersahabat. "Kalau gitu, sekarang biar Tante Asha yang bantu ya," ujar Yuta lembut. "Kita beresin tugas Zanna satu-satu, biar enggak missing lagi." "Zanna enggak yakin bisa." "Kan ada Tante." "Tapi banyak banget, Tante," keluh Zanna putus asa. "Zanna udah pusing duluan sebelum ngerjain." "Pasti bisa, Sayang," sahut Yuta dengan nada membujuk. "Zanna mau naik ke kelas 1 enggak?" "Mau." Cepat-cepat Zanna mengangguk. "Zanna enggak mau stay, mau naik." "Kalau gitu, harus semangat. Tante Asha pasti bantu. Mau ya?" Nyatanya, mengerjakan tugas bersama Yuta merupakan pengalaman baru yang sangat berbeda bagi Zanna. Tidak ada jerit keputusasaan dari Dani, tidak ada drama bingung dan salah terus seperti yang biasa Andin lakukan, juga tidak ada embusan napas lelah berkali-kali dari Ritz. Bersama Yuta, semua berjalan lancar dan menyenangkan, bahkan hampir tiga jam telah berlalu dan Zanna masih tenang di kamarnya. Tiba-tiba saja ketenangan di dalam kamar Zanna terusik oleh teriakan Dani. "Zanna!" "Hush, Zanna masih belajar, Ann!" Andin mendelik kaget. “Ini udah lewat dari waktunya, Ndin. Harusnya Zanna belajar cuma dua jam, ini udah lewat sejam.” “Mungkin tugasnya banyak.” “Gue juga tau tugasnya banyak. Masalahnya Zanna baik-baik aja tau enggak?” balas Dani ngotot. “Baik-baik gimana maksud kamu?” “Zanna tuh lagi belajar sama guru baru, ‘kan? Ini baru pertemuan pertama. Lo yakin guru itu baik.” “Ngg … soal itu,” gumam Andin bingung. “Pokoknya gue harus cek kondisi Zanna.” Tanpa ragu Dani membuka pintu kamar Zanna dan mengintip ke dalam. “Tuh, Zanna masih anteng, ‘kan?” ujar Andin yang ikut mengintip. “Baguslah.” Dani mengangguk puas. “Tapi gue jadi penasaran mau liat gurunya.” "Apa yang mau diliat juga, Ann?" sahut Andin heran. "Orang ketutup semua gitu." "Matanya masih keliatan," bisik Dani. Andin mendengkus heran. "Emang ada gunanya?" "Mata itu jendela hati. Lagian gue bisa merasakan auranya," sahut Dani dengan gaya lebaynya. Andin menyikut lengan Dani. "Ngaco aja kamu!" "Kok tumben Zanna bisa anteng ya?" gumam Dani heran melihat betapa tenangnya Zanna duduk di sisi Yuta. "Iya, biasanya udah ribut minta makan, minta main." "Hebat juga itu guru," puji Dani kagum. "Makin penasaran gue." Dani sendiri pasti sudah menandak dan menjerit liar sejak lima menit pertama menemani Zanna belajar. Apa pun rela Dani lakukan demi Zanna, kecuali menemaninya belajar. "Ssh! Mau ke mana?" Andin segera menahan tangan Dani yang sudah main melangkah santai saja. "Nyamperin, dong!" Lagi-lagi Dani menepis tangan Andin, lalu melenggang santai. Tidak lama, sapaan cerianya terdengar. "Hai, Zanna!" Suara Dani membuat Yuta langsung gugup. Dia takut penyamarannya ketahuan karena Dani sangat mengenalnya. Alhasil, Yuta diam dan menunduk sejadi-jadinya. "Hai, Uwa!" balas Zanna cepat, tetapi sama sekali tidak mengangkat kepala. Fokusnya tetap pada kertas di meja yang tengah dia tekuni. "Lagi ngapain sih?" tanya Dani gemas. Dia segera berjongkok di sisi Zanna. "Serius banget?" "Ini Zanna lagi bikin gambar," sahut gadis kecil itu sembari terus mewarnai gambar yang sudah setengah jadi. Dani memicingkan mata. "Gambar apa ini?" "Zanna kan disuruh buat gambar keluarga. Zanna bikin ini deh," ujar Zanna bangga. "Siapa aja itu?" tanya Dani saat melihat gambar anak kecil dan dua orang dewasa. Andin ikut melihat, lalu langsung menunjuk sosok anak kecil di gambar. "Ini pasti Zanna." "Iyalah! Siapa lagi?" balas Dani heran. "Ini pasti Papa ya?" ujar Andin lagi sambil menunjuk orang yang lebih tinggi dengan rambut pendek. "Betul." Zanna mengangguk senang karena gambarnya dimengerti. "Yang ini siapa?" tanya Andin menunjuk gambar orang dewasa berambut panjang dan mengenakan rok. "Ini Mama," jawab Zanna enteng. Dani dan Andin langsung berpandangan. Diam-diam Yuta juga terkejut, tetapi tentu saja tidak ditunjukkannya. "Zanna kenapa gambar Mama?" tanya Dani penasaran karena selama ini Zanna tidak pernah menggambar sosok ibunya. "Zanna kan punya Mama," sahut Zanna yakin. "Biar belum pernah ketemu, Zanna yakin Mama ada dan nanti pasti bakal ketemu." Hati Yuta teriris mendengar ucapan putrinya. Ingin rasanya dia memeluk Zanna saat itu juga dan mengatakan bahwa dia adalah ibunya. Demi mencairkan suasana yang mendadak canggung, Dani langsung mengalihkan pembicaraan. "Duh, sampe lupa kenalan!" seru Dani ceria seraya melambai-lambai heboh ke arah Yuta. "Saya Anjani, panggil aja-" Yuta langsung melanjutkan sebelum Dani selesai bicara. "Ann." Mata Dani terbelalak. "Kok tau?" "Hm?" Yuta mengerjap kaget. Dia sendiri tidak sadar telah terlepas bicara. "Mungkin kamu udah terkenal, Ann," ujar Andin geli. Memang akun media sosial Dani tidak kalah ramainya dengan para selebgram. "Ibu Guru namanya Asha ya?" ujar Dani. "Iya betul," sahut Yuta gugup. Dia takut Dani bisa mengenali suaranya meski sudah tersamar oleh masker dua rangkap. Ketika mereka bertatapan, Dani seolah-olah terhipnotis oleh mata Yuta. "Saya penasaran sama matanya Bu Guru." Andin menyikut lengan Dani. "Penasaran kenapa sih?" "Kayak enggak asing," gumam Dani pelan. "Udah deh, jangan gangguin Zanna belajar. Kita keluar aja yuk!" Andin segera menyeret Dani ke luar sebelum lelaki itu tambah aneh-aneh. Selepas Dani meninggalkan kamar Zanna, tanpa sadar Yuta ingin menangis. Ada rasa rindu yang mengharu biru dalam hatinya. Selama empat tahun terakhir, Dani adalah satu-satunya orang yang tidak pernah lelah berusaha menghubunginya. Dani terus mengirimkan pesan ke nomor yang pernah Yuta. Dia juga mengirimkan surel secara berkala ke akun Yuta. Dia benar-benar terharu dengan ketulusan dan perhatian Dani. Lelaki itu bahkan mengirimkan foto-foto dan kabar perkembangan Zanna waktu demi waktu. Jadi, meski tidak bertemu selama empat tahun, Yuta tidak melewatkan pertumbuhan Zanna dan setiap momen gadis kecilnya. Semua itu berkat Dani. Sayangnya, Yuta tidak berani membalas satu pun surel Dani karena takut keberadaannya bisa diketahui. Ketika sesi belajar hari itu berakhir, Dani mengantar Yuta turun. Dalam perjalanan menuju ke luar, diam-diam Yuta terus mencuri lihat ke arah Dani dan rupa-rupanya lelaki itu sadar. "Kenapa ngeliatin saya begitu Bu Guru?" tanya Dani heran. "Enggak apa-apa." Tanpa sadar langkah Yuta malah terhenti dan dia memutar tubuh menghadap Dani. Dani melambaikan tangan untuk menarik perhatian Yuta. "Bu Guru, kenapa bengong?" Mata Yuta kembali berkaca-kaca dan perlahan dia berbisik, "Ann, terima kasih buat semuanya ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD