"Mas Ritz udah mau berangkat?" ujar Andin sambil berlari-lari kecil menuruni tangga untuk mengejar Ritz.
"Iya, Din. Ada syuting pagi hari in."
"Enggak apa-apa, Mas."
"Kamu udah dengar kabar dari Dani?"
Sejak Yuta pergi meninggalkan kediaman Ritz tanpa kabar sama sekali, Andin dan Dani adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu untuk mengurus Zanna. Keduanya adalah mantan asisten juga manajer yang dahulu bekerja membantu Yuta. Bisa dibilang mereka telah menjadi orang yang sangat dekat dengan Zanna selain Ritz.
Mereka tidak keberatan mengurus Zanna. Bukan karena tanggung jawab dan pekerjaan, tetapi keduanya memang sangat menyayangi gadis kecil itu. Hal itulah alasan sampai hari ini mereka masih bekerja di kediaman Ritz meski Yuta sudah tidak ada. Ritz juga tidak berniat mencari pengasuh lain karena keduanya sudah melakukan semua yang mereka bisa untuk Zanna.
Andin tampak sedih ketika menjawab, "Dua hari yang lalu katanya pas dicek masih positif."
Sudah hampir dua pekan Dani menjalani karantina di Wisma Atlet karena dirinya dinyatakan positif Covid-19. Satu per satu penghuni kediaman Ritz bergantian terpapar, bahkan sang pemilik sendiri sudah pernah mengalaminya. Hanya Zanna dan Andin saja yang masih terjaga dengan aman sampai hari ini karena keduanya memang tidak pernah meninggalkan rumah juga berinteraksi dengan orang luar.
"Tapi kondisinya bagus?" tanya Ritz khawatir.
"Katanya sih enggak ada masalah, Mas. Pernapasan, pencernaan, semua bagus."
"Syukurlah. Semoga dia segera negatif dan bisa cepat balik ke sini." Meski hubungannya dengan Dani tidak begitu baik sejak kepergian Yuta, dia tetap memedulikan lelaki itu. "Oh, ya! Soal tugas-tugas sekolah Zanna. Kalau terlalu aneh-aneh dan kamu enggak sanggup handle, abaikan aja."
Seketika itu juga Andin meringis. Sejauh ini, tugas terberat dalam mengasuh Zanna adalah menemani gadis kecil itu bersekolah online sejak pandemi melanda akhir tahun lalu.
Sudah tiga bulan ini Zanna hanya bisa belajar dari rumah dan dampaknya sungguh ajaib. Tugas-tugas yang sekolahnya berikan untuk anak tingkat TK B itu terlalu merepotkan dan membuat pusing banyak orang. Jangankan Zanna yang masih kecil, Andin dan Dani yang membantu saja selalu dibuat sakit kepala.
"Makin hari makin ajaib aja tugas-tugasnya,” gerutu Ritz. Dia yang tidak sering terlibat saja sudah ikut pusing saat mendengar laporan dari Andin. “Bukan anak yang belajar, malah orang tua yang repot."
"Andin bantu sebisanya ya, Mas," ucap Andin meski dirinya tidak yakin. Berdua Dani saja Andin kusut, apalagi sendirian? Maunya pasrah saja.
Baru saja Ritz hendak pamit, dia kembali teringat sesuatu. “Soal guru privat buat Zanna gimana?”
“Andin udah hubungi orang yang direkomendasiin sama Mas Morgan.”
“Terus tanggapannya apa?” Ketimbang kewarasan Andin dan Dani terancam, Ritz pikir mempekerjakan guru privat untuk Zanna adalah pilihan terbaik.
“Hari ini mau datang buat interview. Mas Ritz mau ikut ketemu?”
“Saya serahin sama kamu aja.” Bukan Ritz tidak peduli, hanya saja dia sudah percaya penuh kepada Andin. “Kalau kamu rasa cocok, langsung deal aja.”
***
Di hari yang sama, Yuta dilanda kegelisahan memikirkan akan memasuki rumah Ritz lagi setelah sekian lama.
“Ash, aku takut,” keluh Yuta sebelum masuk ke mobil.
"Takut Zev cari kamu?"
Cepat-cepat Yuta menggeleng. Dia yakin tidak akan ada masalah dengan bocah mungil itu. Asha dan Bimo mampu mengurus Zev dengan baik.
“Kalau gitu takut apa?” tanya Asha heran.
“Kalau ada yang mengenali aku gimana?”
“Kamu tenang aja, Ta." Asha menggenggam tangan Yuta untuk meyakinkannya. "Enggak akan ada yang sadar ini kamu.”
“Kenapa kamu bisa yakin banget?”
Asha merapikan kembali tatanan rambut Yuta hari ini. Dia sengaja mencepol rambut Yuta agar tampak berbeda dari kebiasaannya yang selalu tergerai. Bagian dahi tertutup poni, hidung sampai dagu tertutup masker, dan masih ditambah pula dengan kacamata.
“Muka kamu sama sekali enggak kelihatan, Ta," ujar Asha sangat yakin.
“Gimana sama suara?”
Asha menggeleng yakin. “Suara kita akan terdengar cukup berbeda karena masker, Ta.”
“Tetap aja aku takut,” bisik Yuta gelisah. Pengalamannya bertemu Ritz membuat Yuta gentar.
Asha menatap sabar ke arah Yuta. “Kalian udah berapa tahun enggak ketemu?”
“Empat tahun.” Tanpa perlu berpikir, Yuta langsung bisa menjawab karena hari demi hari dia selalu menghitungnya.
“Enggak semudah itu mengenali orang yang udah lama enggak saling ketemu, Ta,” ucap Asha. “Lagian, seandainya kamu memang dikenali, masalahnya apa?”
“Aku takut enggak diizinkan ketemu Zanna.”
“Memangnya selama ini kamu dihalangi buat ketemu Zanna?”
“Enggak, tapi siapa yang tahu?” Yuta menggeleng getir. Kenangan pahit itu akan selalu lekat dalam ingatannya. “Manusia bisa berubah, bahkan terlalu cepat berubah.”
“Kamu tenang aja.” Asha meremas tangan Yuta kuat-kuat. “Pokoknya sekarang cukup fokus pikirin kalau kamu akhirnya bisa ketemu Zanna lagi.”
Satu pemikiran itu mampu menguatkan Yuta seketika. Keraguannya perlahan berganti keteguhan. Tanpa menimbang kembali dan berakhir makin ketakutan, Yuta segera menuju kediaman Keluarga Meijer. Tempat yang dahulu pernah sangat akrab dengannya.
Ketika mobil Yuta berhenti di depan gerbang, seorang petugas keamanan segera menghampiri. Yuta segera menurunkan kaca mobil.
"Maaf, Mbak siapa ya?"
"Saya guru dari Little Star." Yuta menunjukkan kartu pengenal bertuliskan nama Ashana.
Petugas keamanan itu segera teringat dengan pesan yang telah dia terima. "Oh, Mbak Ashana yang sudah buat janji sama Mbak Andin ya?"
"Iya, betul."
"Silakan masuk, Mbak, tapi maaf ada protokol kesehatan yang harus dilakukan sebelum bisa bertemu dengan Mbak Andin." Pria itu menunjuk sebuah pos lain di bagian dalam.
"Tidak masalah, Pak." Yuta melajukan mobilnya perlahan menuju pos tersebut. Tanpa sadar pandangannya terarah mengamati semua sudut yang bisa dia lihat. Ada rindu menggigit sekaligus luka perih yang berkecamuk dalam hati Yuta ketika kenangan demi kenangan di tempat ini menyeruak dalam pikirannya.
Lamunan Yuta tidak berlanjut lagi karena mobilnya dihentikan oleh petugas keamanan lain. Dia diminta menepi dan turun, lalu diajak menuju bagian dalam pos.
Seorang petugas keamanan menghampiri Yuta dengan membawa sebuah keranjang dan sandal karet. "Sepatu dan tasnya boleh dilepas supaya bisa kami semprot dengan cairan disinfektan, Mbak."
Begitu Yuta selesai berganti sepatu dengan sandal, seorang petugas keamanan lain segera menghampiri. "Mohon maaf juga, Mbak. Apa Mbak tidak keberatan memakai APD?"
"Tidak masalah, Pak." Yuta mengangguk cepat. Ini malah menguntungkan dirinya.
Setelah memakai APD lengkap dengan face shield dan juga sarung tangan, Yuta dipersilakan menuju bangunan utama.
Di teras, Andin telah menanti. "Mbak Ashana ya?"
"Iya, dengan Mbak Andin ya?" sahut Yuta tidak yakin karena Andin juga mengenakan APD lengkap. Hanya saja suaranya masih terdengar cukup familiar.
"Betul, Mbak. Saya Andin, pengasuhnya Zanna." Andin sedikit membungkuk sebagai sapaan. Maklum saja, di masa pandemi seperti ini, tidak ada jabat tangan sebagai bentuk salam. "Maaf ya, Mbak, harus masuk pakai APD. Papanya Zanna sangat menjaga sekali agar saya dan Zanna sebisa mungkin jangan sampai terkena Covid."
"Tidak masalah, Mbak. Saya mengerti kok." Rindu rasanya hati Yuta melihat Andin. Tidak menyangka mereka bisa kembali bertemu dan berbicara sedekat ini.
"Ayo, Mbak." Andin memimpin jalan mengitari bangunan utama, bukan lewat bagian dalam. Semenjak pandemi melanda beberapa bulan terakhir, tidak ada tamu yang diterima di dalam kediaman Ritz. Semua demi menghindari kemungkinan terburuk. "Kita bicara di halaman belakang saja."
Setiap langkah yang Yuta pijak membawa kerinduannya makin mendalam, terutama untuk setiap kenangannya bersama Zanna.
Di halaman belakang, Andin berbincang santai dengan Yuta. Memberi pertanyaan-pertanyaan penting untuk mencari tahu apakah perempuan ini merupakan sosok guru yang tepat bagi Zanna? Setelah berbincang lebih dari 30 menit, Andin merasa sudah cukup mencari tahu. Kesan yang didapatkannya sangat baik.
"Zanna ada di mana, Mbak?" Yuta tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini. Namun, kerinduannya tidak tertahankan lagi. Sudah susah payah masuk ke tempat ini, masa barang sesaat saja dia tidak bisa melihat putrinya?
"Zanna menunggu di kamarnya, Mbak."
"Apa Zanna akan dipertemukan dengan saya?" tanya Yuta sambil memendam harap dalam hati. Khawatir pertanyaannya terdengar janggal, Yuta segera menambahkan, "Maksud saya, sebelum memutuskan saya akan menjadi gurunya atau tidak, mungkin perlu dilihat apakah Zanna merasa cocok dan nyaman belajar dengan saya."
"Benar juga." Andin mengangguk setuju. "Coba saya bujuk Zanna dulu ya. Saya khawatir Zanna tidak mau pakai APD."
Tinggallah Yuta menunggu dalam gugup, tegang membayangkan pertemuannya kembali dengan Zanna setelah empat tahun lebih berpisah.
Ternyata tidak sulit mengajak Zanna untuk memakai APD. Setelah cukup lama menunggu, langkah kecil yang terdengar tidak sabar mendekat dengan tergesa-gesa. Seketika itu juga Yuta menoleh dan di sana, di sisi Andin, buah hatinya melangkah ceria meski dalam balutan APD yang tampak membatasi kebebasannya.
"Hai, Zanna!" sapa Yuta dengan hati bergetar penuh rindu.
Gadis kecil itu balas melambai, "Hai, Tante!"
"Zanna, Tante Asha ini nanti akan jadi gurunya Zanna," ujar Asha.
Zanna berhenti sekitar sepuluh langkah dari hadapan Yuta. Dia memiringkan kepala seraya memandangi sosok Yuta penuh keingintahuan. "Tante Asha bakal jadi gurunya Zanna?"
"Iya." Tiba-tiba saja Yuta ingin menangis. Namun, setengah mati dia menahannya. "Nanti Tante Asha akan temani Zanna belajar."
Zanna menoleh ke samping sambil mengeratkan genggamannya pada tangan Andin. Gadis kecil itu tampak resah. "Tante Ndin emang mau ke mana?"
"Enggak ke mana-mana, Sayang," jawab Andin.
"Terus kenapa harus ada guru buat Zanna?" Mata Zanna tampak penuh kecemasan.
"Tante Ndin kurang bisa bantu Zanna belajar," ujar Andin sabar.
Zanna masih terlihat takut saat bertanya penuh harap, "Tapi Tante Ndin enggak akan pergi?"
Kening Andin berkerut, lalu gadis itu segera menggeleng. "Enggak dong."
Zanna menghambur memeluk Andin kuat-kuat. "Bener enggak akan pergi kayak mamanya Zanna?"
"Enggak akan, Sayang." Andin balas mendekap Zanna. Hatinya terenyuh. Perlahan dia berbisik ke arah Yuta. "Maaf ya, Mbak."
Hati Yuta pun rasanya tersayat menyaksikan semua itu. Betapa perpisahan mereka telah meninggalkan luka yang mendalam di hati putri kecilnya. Melihat kedekatan Zanna dengan Andin, hati Yuta pun perih. Seharusnya dia yang merasakan semua itu. Belum lagi, Yuta tidak tahu alasan yang diceritakan kepada Zanna perihal kepergiannya.
Demi mengalihkan lukanya sendiri dan menghibur Zanna, Yuta segera berkata, "Zanna, gimana kalau sekarang kita main sebentar sama Beruang?"
Mata biru Zanna tampak berbinar. Beruang adalah anjing yang paling dia sayang. “Tante tau Beruang?”
Di saat yang sama, Andin bertanya heran, “Mbak Asha kok, tahu soal Beruang?”
Sadarlah Yuta jika dia telah salah ucap. Segera saja dia berkelit, “Saya suka lihat di medsosnya Mas Ritz.”
“Ayo, Tante, kita main sama Beruang!” Zanna segera berlari ceria ke arah rumah khusus untuk para anjing Ritz di halaman belakang.
Setelah bercengkerama beberapa saat lagi, Andin bertanya, "Zanna, Zanna mau enggak Tante Asha jadi gurunya Zanna? Temani Zanna belajar setiap hari."
"Mau mau aja," jawab Zanna spontan.
"Benar mau?" tanya Andin senang.
Zanna menjawab polos, "Kayaknya Tante Asha baik. Sayangnya, Zanna enggak bisa liat mukanya."
"Jadi, apa saya akan menjadi gurunya Zanna?" tanya Yuta penuh harap.
"Kalau Zanna suka, biasa papanya setuju, tapi untuk pastinya akan saya tanyakan dulu," sahut Andin. "Nanti saya kabari Mbak Asha lagi."
Meski belum rela berpisah, Yuta sadar dia harus tahu diri. "Kalau begitu saya pamit dulu."
Namun, Zanna terlihat kecewa. "Tante Asha udah mau pulang?"
Yuta tidak jadi berbalik, kemudian berpandangan dengan Andin.
"Enggak bisa temenin Zanna lebih lama?" ujar Zanna lagi.
"Tante Asha pasti ada urusan lain, Sayang. Enggak bisa di sini terus," ujar Andin membujuk.
Zanna menatap Yuta penuh harap. "Tante sibuk?"
"Ngg …." Yuta tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya juga ingin lebih lama di sini, tetapi ada dua hal yang dia cemaskan. Pertama, Yuta khawatir Zev mencarinya karena sudah cukup lama ditinggalkan. Kedua, Yuta cemas jika Ritz sewaktu-waktu kembali.
"Maaf ya, Mbak," bisik Andi ke arah Yuta, lalu segera menjelaskan kepada Zanna, "Tante Asha mungkin harus ke rumah anak lain."
"Buat apa?" tanya Zanna penasaran.
Melihat Yuta diam saja, Andin kembali berinisiatif mencarikan alasan. "Tante Asha kan guru. Pasti yang diajar bukan cuma Zanna."
Akhirnya, setelah bujuk-membujuk yang cukup alot, Yuta diizinkan untuk pulang. Ketika hampir mencapai gerbang, ketakutan Yuta benar terjadi. Yuta melihat mobil Ritz berhenti dan pria itu turun.
Yuta langsung berjalan tergesa dengan kepala tertunduk, sambil berharap dalam hati semoga pria itu mengabaikannya.
Namun, Ritz malah mengadang langkah Yuta. "Kamu siapa?"
Terpaksa Yuta mengerem langkahnya, tetapi tetap tidak berani mengangkat kepala.
"Kenapa buru-buru sekali?" tanya Ritz heran.
"Urusan saya di sini sudah selesai."
"Kali ini saya yakin kalau saya tidak salah," gumam Ritz sembari mengamati Yuta dari atas hingga ke bawah. "Saya yakin kita pernah bertemu."