Ch12-Kegelisahan Ananta

2170 Words
Keesokan harinya, pabrik diliburkan lantaran masih dalam suasana berkabung. Galih sedang duduk di pos bersama Andi Syarief. Galih hanya diam sambil duduk di sana, pria itu tidak membuka percakapan sama sekali. Andi merasa sedikit aneh dengan Galih, sejak awal datang ke sana Galih hanya mengangguk dan menggelengkan kepala. Pria itu jarang dan hampir tidak pernah menanyakan sesuatu pada Andi. Andi sendiri sering merasa canggung setiap berhadapan dengannya lantaran tidak tahu bahan pembicaraan seperti apa yang ingin dia bahas saat bersama dengan Galih. “Kamu punya nomor telepon?” Tanya Andi padanya, pria itu sengaja memecah keheningan antara mereka berdua demi menghapus suasana canggung dalam hatinya. Galih menoleh ke arahnya, pria itu menggeleng pelan. “Hah? Kamu tidak punya telepon? Ponsel?” Tanya Andi sekali lagi dengan mata membelalak. “Tidak ada.” Sahut Galih seraya kembali menatap ke arah jalan raya, banyak kendaraan yang sedang melintas di sana. Sebagian terdiri angkutan umum, dan beberapa kendaraan bermotor. “Kamu hidup di jaman apa memangnya? Ponsel saja tidak punya?!” Seru Andi seraya tertawa terpingkal-pingkal. “Aku dengar gaji karyawan jaga malam lumayan banyak, dibayar setiap hari. Terus kamu pakai buat apa uangnya? Beli ponsel lah! Buk!” Menepuk punggung Galih sambil terus tertawa. “Ketiga adikku butuh biaya sekolah, aku ingin mereka bisa menuntaskan tingkat SMA, kalau bisa masuk ke perguruan tinggi.” Sahutnya tanpa menoleh ke arah Andi. “Oh, begitu? Lalu Ayah, Ibumu?” Tanya Andi lagi. “Sudah tiada.” Galih tersenyum dengan kedua bola mata berkaca-kaca, entah kenapa setiap membahas kedua orang tuanya hatinya kembali terluka. Bukan karena tidak rela ketika telah ditinggalkan, namun hatinya merasa rindu dengan kebersamaan di masa lalu. “Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih.” Andi segera meminta maaf karena merasa bersalah sudah mengungkit hal menyakitkan bagi Galih. Mendengar itu Galih segera menoleh, pria itu mencermati kedua bola mata Andi. Dia melihat ketulusan dari sinar kedua bola mata rekannya tersebut. “Tidak masalah. Sudah lama sekali mereka pergi.” Sahutnya dengan suara tenang. “Sarapan yuk?” Andi menyeret lengan Galih menuju ke warung tanpa menunggu persetujuan dari pria itu. Galih tersenyum lantaran teringat dengan adiknya Regar dan Arya. Dua adiknya tersebut selalu menyeret lengannya saat Galih menolak ajakan mereka. Kadang Arya mendapatkan hasil lebih dari penjualan hasil kebun, adiknya tersebut ingin memberikan baju untuk Galih tapi Galih selalu menolak, dia bilang kebutuhan mereka lebih penting. “Heh? Kamu tersenyum? Nah begitu dong, kamu tahu Gal? Wajah kamu itu cenderung datar, jarang bicara, dan.. eh tunggu aku!” Teriak Andi padanya, Galih sudah mendahuluinya pergi ke warung, Andi menyusulnya lalu duduk di sebelahnya. “Bu Sumi, nasi pecel dua, kopi dua.” Pesan Andi pada pemilik warung. “Oh Tole juga ke sini?” “Tole?” Andi mengernyitkan keningnya, teman Galih tersebut tidak bisa menahan tawanya. “Iya, ibu biasa manggil dia Tole, kenapa memangnya? Daripada kamu cengengesan terus nggak ada diam-nya, kayak bocah sableng!” Ujar Bu Sumi sambil berlalu masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan. Andi menggembungkan pipinya, dia merasa terhina mendadak saat sedang bersebelahan dengan Galih. Sementara Galih hanya tersenyum tipis seraya menatap sekilas ke arah Andi. “Memangnya benar Gal, muka ku ini mirip bocah sableng?” Tanya Andi padanya seraya mencekal lengannya. Galih kembali mengukir senyum saat bertemu tatap dengan rekan-nya tersebut. “Kamu diam, artinya benar.” Ujar pria itu padanya dengan bibir cemberut. “Bukan, kamu hanya terlalu riang saja.” Sahut Galih padanya. “Ini sarapannya, ayo dimakan.” Bu Sumi meletakkan dua piring nasi pecel di atas dipan. Mereka berdua segera menikmati sarapan pagi, lalu meneguk kopinya. “Gal, sebelum bekerja di sini, kamu dulu kerja di mana?” Tanya Andi lagi padanya. “Di ladang.” Sahut pria itu tetap dengan suara tenang. Andi tidak bicara lagi, melihat sikap tenang Galih dia tidak berani bertanya lebih jauh meskipun Galih akan selalu menjawab apa yang dia tanyakan. “Gal, aku mau bicara serius sama kamu.” Lanjut Andi dengan wajah serius. “Iya, katakan saja.” Ucap Galih seraya menoleh ke arah Andi. “Sebenarnya kamu dan Bu Ananta, punya hubungan apa?” Tanya Andi tiba-tiba. Galih menatap ke arah langit, pria itu menggelengkan kepala. “Tidak ada hubungan apa-apa.” “Ini aneh, kamu, ah sudahlah.” Andi merasa pusing, dia cemas kalau sampai mendapat teguran dari atasannya tersebut gara-gara mengungkap tentang Galih yang seketika diterima saat menanyakan pekerjaan. Bahkan Ananta lebih dulu berpesan pada Andi, jika ada pria bernama Galih Arteja akan datang ke pabrik maka dia disuruh untuk bilang kalau Galih diminta mengambil seragamnya di ruangan kerja Ananta. Galih kembali tersenyum melihat wajah panik Andi. “Jangan cemas, kamu tidak akan dipecat.” Ucap galih seraya bergegas berdiri dan berjalan menuju ke pabrik. Sampai di pabrik, Andi terkejut melihat mobil polisi sudah terparkir di sana. “Kok ada polisi di sini? Kamu melakukan kejahatan?” Tanya Andi dengan tatapan bingung, Andi mencekal lengan Galih karena dia sendiri merasa was-was. “Tidak.” Jawab Galih. Raut wajah Galih Arteja tetap tenang seperti sebelumnya. Melihat Galih, salah satu petugas polisi tersebut segera mendekatinya. “Kamu yang kemarin melapor ke kantor kan?” Tanya salah seorang petugas padanya. Galih tidak ingin mengaku, tapi sepertinya keadaan memaksanya untuk menganggukkan kepala. “Silakan ikut kami sebentar.” Ucap salah seorang petugas polisi tersebut padanya, agar Galih naik ke dalam mobil. “Apa yang kamu laporkan kemarin memangnya?” Andi mulai terlihat cemas. Rekannya tersebut memegangi lengannya. Baru kali ini dia mendapatkan teman kerja agak lama tinggal di pabrik, karena sebelum-sebelumnya selalu terjadi kecelakaan di pabrik dan menyebabkan mereka terluka juga resign. “Kamu tenang saja, sudah masuk duluan saja.” Galih mendorong pelan punggung Andi agar masuk ke dalam pabrik lalu dia ikut masuk ke dalam mobil menuju ke kantor polisi. Wajah Galih Arteja tetap terlihat tenang tanpa beban sama sekali. Tidak ada rasa takut yang tersirat pada wajah pemuda tersebut. Sampai di kantor Galih segera turun lalu mengikuti petugas masuk ke dalam. Pria itu duduk di seberang meja seorang petugas yang sedang menginterogasinya. “Bagaimana kamu bisa tahu lokasi bandit kemarin?” Tanya salah satu dari mereka. “Hanya kebetulan.” “Apa kamu melihat siapa yang memukuli bandit sampai babak belur?” “Waktu itu saya sedang dalam perjalanan untuk melaporkannya di kantor polisi.” Sahut Galih pada mereka. Apa yang Galih ucapkan masuk akal, tapi salah satu dari wanita yang tertahan di sana mengatakan bahwa orang yang menghajar bandit memakai baju dan celana dengan model dan warna sama persis dengan yang dikenakan oleh Galih saat itu. Itu membuat polisi kebingungan karena tepat pada saat itu Galih sedang ada di kantor polisi untuk melaporkan semua yang terjadi di sana. Dua pernyataan berbeda, juga yang terjadi nyata di depan para petugas memaksa mereka untuk berpikir keluar dari logika! “Ini aneh sekali.” Gumam salah satu petugas, mereka ingin mencari orang yang sudah memukuli para penjahat. “Apa kamu kenal dengan orang yang memukuli bandit di lokasi kejadian?” Galih terdiam mendengar pertanyaan itu, dia tidak mungkin bilang kalau itu adalah dirinya sendiri. Galih tersenyum lalu menggelengkan kepala. Polisi akhirnya mengantarkan pria itu kembali ke pabrik. Di sisi lain, Ananta mendapatkan kabar dari Andi kalau Galih baru saja pergi dibawa oleh para petugas polisi. “Andi, kamu punya nomor teleponnya?” Tanya Ananta dengan wajah gelisah, wanita itu masih berada di kediaman pemilik pabrik untuk berbelasungkawa. Galih adalah amanat dari Guru-nya, jika sampai terjadi sesuatu padanya Ananta cemas mendapatkan hukuman kembali dari Nyai Ratih. “Galih tidak punya ponsel Bu.” Ujar pria itu dari seberang. “Astaga! Ya sudah, sekarang dia belum kembali?” “Belum Bu.” Sahut pria itu seraya menatap ke arah pintu gerbang, Galih sejak tadi tidak terlihat masuk melewati pintu gerbang. “Kamu tahu dia dibawa ke kantor polisi mana?” Tanya Ananta lagi. “Tidak tahu Bu.” Sahutnya. Tak lama kemudian Galih turun dari dalam mobil polisi, pria itu melangkah masuk ke dalam pabrik. “Ah, itu dia sudah datang Bu!” Seru Andi saat melihat Galih. “Berikan ponselmu padanya, aku ingin bicara dengannya.” Ananta sudah tidak sabar ingin berbicara dengan Galih. “Gal, Bu Ananta ingin bicara denganmu!” Seru pria itu seraya mengulurkan ponselnya pada Galih. Galih meletakan ponsel tersebut pada daun telinganya namun dia tidak membuka suara sama sekali. “Jawab!” Seru Andi padanya dengan wajah gemas. “Jangan bilang kamu tidak tahu cara menggunakan ponsel?!” Seru Andi dengan wajah gemas. Galih hanya melihat ke arah Andi sejenak tanpa bicara apa pun. Ananta mengulum senyum mendengar seruan kesal Andi dari seberang sana. Dia membayangkan wajah Galih yang datar dan tenang sementara Andi seperti orang kebakaran jenggot. “Halo Galih? Kamu masih di sana?” “Masih.” Sahutnya lalu menyodorkan ponsel tersebut kembali kepada Andi. Andi bukannya senang tapi semakin geram melihat Galih memasang wajah datar, Andi tahu pasti Ananta belum selesai bicara. “Bicara! Ayo bicara! Kamu bukan tuna wicara!” Ujar Andi dengan nada ketus. “Aku sudah selesai bicara, tidak ada yang ingin aku bicarakan lagi.” Mengambil telapak tangan Andi, lalu meletakan ponsel pria itu di sana. Andi melongo mendengar jawaban Galih Arteja. “Dasar pria sinting!” Keluh Andi seraya melihat layar ponselnya, panggilan masih terhubung dengan ponsel Ananta. “Bu Ananta? Maaf kenapa Ibu mempekerjakan dia? Dia sedikit gila.” Seru Andi dengan wajah serba salah. Pria itu mengusap tengkuknya sendiri. “Ya sudah, aku tutup dulu panggilan teleponnya.” Ananta mengakhiri panggilan antara mereka berdua. Dia tidak merasa aneh dengan cara Galih memperlakukan orang di sekitarnya. Mungkin kalau Galih sekarang dia pecat, Ananta berpikir kalau wajah pria itu akan tetap tenang seperti saat ini. Seolah tidak ada beban tentang hal apa pun yang terjadi atau menimpa dirinya. Sore itu Ananta memutuskan membelikan ponsel khusus untuk Galih. Wanita itu masih mondar-mandir di toko ponsel, dia merasa bingung dan cemas kalau Nyai Ratih akan memarahinya lagi. “Apa yang harus aku katakan kalau Guru bertanya nanti? Perhatian lebih atau semacamnya?” Ananta sangat gelisah. “Aku harus membelikannya agar bisa berkomunikasi dengan mudah, karena Galih adalah bawahan ku di perusahaan. Ya hanya untuk alasan itu aku membelikannya, bukan karena hal lain.” Ucapnya seraya meyakinkan hatinya sendiri. Jadilah ponsel tersebut dibelinya, Ananta langsung meluncur ke pabrik untuk memberikannya pada Galih. Saat senja seperti ini Ananta tahu Galih seorang diri berada di sana. Wanita itu membuka gerbang, mobilnya dia parkir di luar gedung. Ananta merasakan hawa berbeda dari biasanya. “Ada yang berubah di sini.” Ucapnya seraya terus melangkah masuk menuju ke kamar Galih yang ada di sebelah gudang belakang gedung. “Iya, ada yang berubah. Suasana hening ini tidak mencekam seperti biasanya.” Ujarnya pada dirinya sendiri seraya terus mengawasi sekitar. Setibanya di depan pintu kamar Galih, Ananta segera mengetuk. “Tok, tok, tok.” Galih sedang duduk di atas tikar, pria itu baru saja selesai bermunajat. Seperti kebiasaannya di rumah dia baru turun setelah fajar tenggelam. Tapi sore ini dia mendengar suara ketukan pintu. Galih segera berdiri, pria itu berkata dengan suara agak keras. “Masuklah.” Ucapnya tanpa melihat siapa yang datang ke sana. Ananta mendengar suara Galih memanggil dari dalam kamar segera masuk. Ananta terkejut melihat pria itu memakai sorban di atas kepalanya. Galih pun sama, dia tidak mengira di ujung senja Ananta malah datang menemuinya. Galih segera melepas sorban lalu menggantinya dengan seutas kain yang biasa dia kenakan. Pria itu masih menatap ke arah Ananta yang kini tegak berdiri di tengah ruangan. Wajah wanita itu terlihat kikuk dan serba salah. “Galih, aku ke sini hanya untuk memberikan ini.” Menyodorkan kotak ponsel dalam bingkisan ke arah pria tersebut. Galih tidak menyahut, pria itu hanya menerima bingkisan yang Ananta berikan lalu meletakkannya di atas meja. Pria itu juga tidak bertanya apa yang diberikan Ananta padanya. Ananta ragu kalau Galih akan menggunakannya. Ananta tak kunjung keluar dari dalam kamar Galih dia terus menatap ke arah bingkisan yang dia berikan barusan. “Ibu mau mengambilnya kembali?” Tanya Galih seraya mengambil bingkisan itu dari atas mejanya kemudian menyodorkan balik ke arah Ananta. “Bukan begitu, aku hanya ingin kamu menggunakannya.” Seru Ananta sambil menggelengkan kepala. Dia cemas kalau Nyai Ratih mendadak muncul di sana lalu memarahinya lagi. “Kamu tidak bertanya aku memberikan apa padamu?” Pikir Ananta Galih terlalu polos dan tidak tahu cara memakai ponsel dengan benar. “Ponsel.” Sahut pria itu sambil mengangkat bingkisan di sebelah wajahnya sendiri. “Okay!” Ananta tersenyum, wanita itu merasa lega. “Jangan lupa angkat telepon dariku!” Ucap Ananta sebelum berbalik dan pergi. Galih melihat pintu kamarnya kembali menutup. Pria itu meletakkannya lagi di atas meja tanpa membukanya. Bukan karena tidak bisa menggunakannya, tapi dia tidak membutuhkan benda seperti itu. Malam itu Ananta mencoba menghubungi Galih, tapi tetap tidak diangkat. Ananta bingung kenapa Galih tidak menerima panggilan darinya. “Apa terjadi sesuatu dengannya? Kenapa teleponku tidak diangkat?! Dia sakit? Atau mahluk itu melukainya sampai dia pingsan dan.. tidaaak! Tidak! Dia tidak mungkin celaka kan?!” Ananta tidak bisa memejamkan kedua matanya hingga waktu bergulir dari malam ke pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD