Ch11-Misi!

2087 Words
Galih berhasil kabur keluar dari dalam kamarnya, pria itu menatap sekitar. Dia masih berpikir hendak menuju ke arah mana. Kemanapun dia pergi Nyai Ratih akan tetap menemukan keberadaan dirinya. Namun jika di dalam keramaian minimal wanita itu tidak akan membuat masalah dengannya. Galih harus menjaga sikap dan hati-hati dalam setiap melakukan sesuatu karena dia sedang berada di tempat umum. Jika di desa tempat dia tinggal, dirinya tidak akan dibatasi seperti ini lantaran tak banyak orang lewat di sekitar hutan. Galih terus melangkah tanpa tujuan pasti, jam kerjanya juga masih lama. Tanpa sadar dia berjalan menuju ke markas komplotan bandit. Pria itu terus berjalan melewati ladang luas, tidak ada rumah sama sekali di lokasi tersebut kecuali sebuah gudang di depan matanya. “Bagaimana langkah kakiku malah menuntunku ke sini?” Bisik pria itu seraya duduk berjongkok di antara semak, dia melihat beberapa mobil terparkir di sisi kiri-kanan luar pagar. “Karena kamu lah Sang Macan!” Sahut Ki Sarwo dari kediamannya. Mendengar suara samar Sang Guru, Galih memantapkan hatinya untuk melanjutkan misinya. Membasmi semua kejahatan di depan matanya. Ada beberapa wanita diikat dan dipaksa turun dari dalam mobil. Mereka dibawa masuk ke dalam gudang. Lokasi tersebut lumayan jauh dari jalan besar tempat Galih bekerja. Kejadian di depan matanya kali ini membuat pria itu ingat dengan kasus yang dibicarakan oleh petugas polisi pagi ini. Galih berlari masuk ke dalam, gerakannya sangat cepat. Hanya dalam beberapa detik saja pria itu sudah berhasil menyelinap masuk. Galih mendengar kalau para wanita di sana akan diperjual-belikan di kota-kota tertentu. Para mucikari sudah siap menampung di berbagai kota. Para wanita dipaksa untuk menandatangani surat persetujuan. Melihat hal itu Galih Arteja segera menggunakan ikat kepalanya untuk menutupi sebagian wajahnya lalu melangkah keluar dari persembunyiannya. Galih Arteja berdiri di tengah ruangan, pria itu mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Satu, dua, tiga, sekitar sepuluh orang dengan senjata sedang mengitarinya. “Siapa kamu! Berani-beraninya ikut campur dalam masalah ini.” Galih merentangkan kedua tangannya, bilah bambunya muncul di genggaman tangan kanannya dalam sekejap. Pria itu memutarnya di atas kepala, satu wujud keluar dari dalam tubuh Galih berlari keluar dari dalam gudang untuk mengirimkan pesan ke kantor polisi. “Serang dia!” Perintah seseorang dengan suara lantang untuk segera menghabisi Galih Arteja. Bambu meluncur menebas, memukul semua orang yang mengepungnya. Galih dengan sigap melompat dan menghajar mereka, tubuhnya bergerak sangat cepat. Melenting, memukul mereka satu-persatu. Hanya sepuluh menit saja para bandit sudah tergeletak di lantai dengan wajah dan tubuh memar. Melihat pemandangan tersebut orang yang memimpin komplotan berniat kabur. Galih segera melompat, menghadang pria tersebut di depan pintu keluar. “Dak! Braak!” Satu pukulan dari Galih telak mengenai belakang tengkuk pria tersebut langsung membuat orang tersebut jatuh tergeletak pingsan di lantai. Tugasnya sudah selesai, sebentar lagi fajar sudah berpindah ke ufuk barat. Pria itu menatap bayangan sinar mentari dari tempatnya berdiri, matanya tertuju pada lubang angin di atas dinding. Galih melihat para wanita itu meronta dari ikatan, bilah bambunya masih dalam genggaman tangan kananya. “Sraakkk!” Galih mengibaskan nya dari arah kiri ke kanan dengan gerakan horizontal, serempak ikatan mereka terlepas lalu dia memutar tubuhnya dan pergi. Para wanita tersebut buru-buru berlari menuju ke arahnya untuk mengucapkan terima kasih padanya namun Galih sudah tidak terlihat ada di sana. Misi tuntas, Galih berniat kembali ke pabrik untuk berjaga nanti malam. Para wanita itu keluar dari dalam ruangan tersebut. Dari kejauhan polisi datang, para wanita itu dibawa oleh mereka untuk dimintai keterangan. Para penjahat juga sudah dibekuk dalam ruangan tahanan. “Apa kalian tahu siapa yang masuk dan menyerang komplotan penjahat?” “Kami hanya melihat matanya, dia memakai penutup wajah. Dan sepertinya dia seorang pria.” Ucap mereka pada petugas polisi di sana. “Apa kasus ini bocor ke luar?” Tanya petugas tersebut pada salah seorang rekannya. “Coba saja kamu ingat-ingat lagi di mana kira-kira kamu membicarakannya?” Sahut rekannya tersebut padanya. Polisi tersebut kembali teringat dengan sosok pemuda yang datang untuk melaporkan kejadian siang ini di kantor. Mereka ingat kalau pria itu adalah pemuda yang mereka temui kemarin di warung. Petugas polisi tersebut berniat mencari Galih Arteja, dia juga tidak tahu siapa nama Galih. Anehnya saat pemuda itu melapor padanya dia juga tidak menanyakan identitas Galih seolah dia setuju saja dengan laporan pria tersebut dan langsung mengajak bawahannya untuk pergi ke lokasi kejadian. Ternyata komplotan bandit tersebut sudah dihajar habis dan mereka tinggal membawanya saja ke ruang tahanan. Galih sudah tiba di pabrik, pria itu masih mencium aroma melati dari tubuhnya. Kali ini dia mencoba membersihkannya dengan mantra yang dia gunakan untuk menghilangkan aroma pada bajunya beberapa waktu lalu. Pria itu merasa lega karena berhasil menghapus aroma melati dari kulit tubuhnya. Di sisi lain.. “Uhuk! Uhuk!” Nyai Ratih terbatuk-batuk, wanita itu kembali memuntahkan darah. “Galih Arteja! Kenapa kamu selalu melawanku! Kenapaaaa!? Aku sudah bersikap baik, bahkan lembut padamu. Tapi kamu tetap saja tidak pernah melihatku meski hanya sebelah mata!” Teriaknya dengan histeris. “Aku sudah bilang padamu Nyai, jangan sentuh murid ku.” Sahut Ki Sarwo dari kejauhan. “Tutup mulutmu Sarwo! Kamu itu tidak tahu apa-apa! Raden Galih Arteja adalah milikku! Dia pengganti Wangsa!” Serunya seraya memukulkan ujung tongkatnya ke tanah. “Duuk!” Muncul kilatan petir dari kediaman Nyai Ratih lalu melesat menuju kediaman Ki Wangsa. Serangan dari kejauhan tersebut berhasil dihindari Ki Wangsa dan dikembalikan pada Nyai Ratih. “Aakhhh! Braak!” Nyai Ratih memekik. Tubuh wanita itu jatuh terpental membentur dinding rumahnya. Dalam sekejap tubuhnya kembali menua dan keriput. “Sialan kau Wangsa! Aku pastikan akan mendapatkan murid kesayanganmu! Lihat saja nanti! Aku harus pergi untuk mencari ari-ari malam ini! Hah!” Nyai Ratih merangkak bangun, nenek-nenek tersebut berjalan dengan bertumpu pada tongkatnya. Wanita itu mengambil kain untuk menghapus darah segar dari bibirnya lalu mengambil bakul untuk dibawanya keluar dari dalam rumah, setiap terkena serangan maka tubuh Nyai Ratih akan kembali menua sesuai dengan usia-nya saat ini. Setelah mendapatkan ari-ari bayi wanita itu akan kembali muda seperti usia dua puluh tahunan. Ilmu hitam yang dituntut-nya meminta banyak seserahan. Tak jarang wanita itu juga mengambil bayi dari ibunya demi meningkatkan energi. Sekilas bayangan Ananta Kurnia Sari muncul di dalam penglihatan Nyai Ratih. Nyai Ratih mengetahui kalau Ananta diam-diam mengagumi sosok Galih Arteja, hal itu membuat Nyai Ratih murka. “Murid tidak tahu diri! Dia perlu diberikan pelajaran!” Ujarnya seraya meremas tongkat dalam genggaman tangannya. Nyai Ratih turun dari atas bukit untuk mencari mangsa malam ini di desa-desa kaki gunung. Di dalam kediaman keluarga Galih Arteja. “Bang Arya? Bang Regar!” Meila sore itu berteriak riang berlari menuju ke arah Arya Sapta Wijaya dan Regar Aji Kusuma yang sedang duduk mengumpulkan ubi di pelataran belakang rumah. “Kenapa kamu teriak-teriak begitu? Kendi nya pecah?” Tanya Arya seraya berdiri sambil berkacak pinggang. Pria itu menatap Meila yang sedang berlari kecil menuju ke arahnya. Gadis itu memeluk sesuatu dengan senyum riang. “Bang Galih!” Ujarnya sambil melambaikan kertas amplop berwarna cokelat pada kedua kakaknya. Sontak Arya dan Regar segera berlari menuju ke arah Meila. “Ada apa dengan Bang Galih?” Sela Regar dengan wajah cemas. “Bang Galih kirim ini untuk kita.” Meila mengeluarkan sejumlah uang dari amplop tersebut. Meila menunjukkannya pada kedua kakaknya. Uang tersebut adalah gaji pertama dari tempat Galih Arteja bekerja. Dia sudah berjanji akan mengirimkan uang ke desa untuk biaya sekolah ketiga adiknya. Arya terdiam melihat sejumlah uang tersebut. Lumayan banyak, bahkan butuh berbulan-bulan untuk mengumpulkan uang sebesar itu jika harus memanen singkong di kebun. Ada sebersit dalam benak Arya untuk menyusul kakaknya ke kota. Dan keinginannya tersebut segera diketahui oleh Regar. “Bang Arya jangan mikir aneh-aneh deh, jangan pergi ke kota. Ingat pesan Bang Galih, nanti dia marah loh.” Ujarnya pada Arya. “Iya, iya! Siapa sih yang mau ke kota!” Sahutnya dengan wajah ditekuk. Dua kakak lelakinya sudah kembali melanjutkan pekerjaannya. “Bang ini uangnya ditaruh di mana?” “Taruh di dalam, sebagian untuk membayar biaya sekolah besok. Sisanya ditabung saja.” Sahut Regar pada Meila Trisnawati. Meila segera masuk ke dalam, dia menyimpan uang tersebut seperti anjuran kakaknya. Di sisi lain.. Nyai Ratih menemui Ananta di dalam rumah gadis itu. Hari ini Ananta sudah kembali dari pabrik karena waktu sudah senja. Wanita itu sedang melepas bajunya di dalam kamar. Nyai Ratih mendadak muncul di sudut kamarnya dengan wujud wanita tua. “Guru!” Ananta segera duduk bersimpuh begitu melihat Nyai Ratih berada di dalam kamar tersebut. “Aku tidak lupa kalau aku sudah pernah berpesan padamu Ananta!” Ucapnya seraya menatap gadis yang sedang bersimpuh di bawah kakinya tersebut. “Apa itu Guru?” Tanya Ananta dengan kedua tangan menyatu di atas kepala, seperti sedang meminta pengampunan. “Jangan tertarik pada Galih Arteja! Tidak boleh sama sekali!” Seru wanita tua tersebut dengan tatapan tajam. Ananta terdiam, dia tahu kesalahan fatal yang sudah dilakukannya. Wanita itu menganggukkan kepala dengan tubuh bergetar. Keringat dingin mulai turun membasahi kedua pelipisnya. “Ampun Guru, saya mohon ampun Guru!” Ucapnya seraya beringsut mendekat untuk mencium punggung telapak kaki Nyai Ratih. “Dapatkan bayi minggu ini sebagai tebusan! Hihihihihi!” Nyai Ratih segera menghilang setelah berucap demikian. Tinggal suara tawa wanita itu yang memenuhi kamar Ananta Kurnia Sari. Ananta masih duduk bersimpuh di lantai, tubuhnya terasa lemas mendengar permintaan Nyai Ratih. Padahal baru pekan lalu dia membeli bayi yang tidak diinginkan ibunya lalu memberikannya pada Nyai Ratih, Ananta menggunakannya sebagai seserahan. Tapi kali ini Nyai Ratih kembali memintanya lantaran dia hanya memberikan sedikit perhatian untuk Galih Arteja. Biasanya hanya setiap bulan purnama dia memberikan tebusan tersebut pada Nyai Ratih. Ananta segera berdiri, dia menghubungi temannya yang bekerja untuk menampung bayi buangan. Sahabat Ananta bernama Rindi Antika, Rindi adalah seorang bidan. Rindi juga menggunakan keahliannya untuk membantu pasangan muda-mudi yang belum ingin menikah. Rindi membatu mereka untuk menggugurkan bayinya dengan imbalan yang tidak sedikit. “Halo Rin? Gimana? Ada nggak pesanan ku?” Tanya Ananta dari seberang sana, seolah sedang memesan barang pada sahabatnya tersebut. “Ada. Besok lusa kamu bisa ambil di klinik.” Sahut Rindi pada Ananta. Mendengar itu Ananta merasa lega sekali, Ananta tidak menyatakan pada Rindi kalau bayi tersebut dia gunakan sebagai seserahan. Akan tetapi, dia bilang kalau bayi yang dia ambil akan dirawat di dalam panti asuhan. Malam ini Galih sudah memakai baju seragam sebagai petugas keamanan, Galih sedang menggulung lengan bajunya. Aktivitas pria itu mendadak terhenti saat merasakan getaran tentang keberadaan Nyai Ratih. “Nyai Ratih kembali mencari ari-ari malam ini.” Gumam pria itu seraya menatap jam di dinding kamar, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Beberapa jam lagi waktu sudah larut. Pria itu keluar dari dalam kamarnya lalu menutup pintu perlahan. Galih mulai memeriksa beberapa tempat, dia ingin mencegah tindakan Nyai Ratih namun beberapa hal di pabrik membuatnya tertahan untuk tetap tinggal di sana. Malam ini tak hanya barang berpindah dari tempatnya semula, tapi juga serangan mulai datang dari segala penjuru. Keberadaan Galih Arteja di pabrik membuat para mahluk astral tersebut terusik. Hawa panas yang berasal dari tubuh Galih Arteja membuat mereka merasa terbakar. Semakin lama pria itu berdiam di sana maka semakin panas dirasakan oleh mereka. Galih berdiri di sisi gedung, pria itu kembali memecah jiwanya menjadi beberapa bagian. Setiap satu jiwa tinggal di sudut dengan sebilah bambu. Penghuni pabrik tak kasat mata mulai bermunculan satu-persatu menghampirinya. Mereka melakukan serangan dari segala arah. Tak satupun dari mereka berhasil melukai Galih Arteja. Pria itu tetap berdiri di sana dan terus mengawasi sekitar. Beberapa barang di luar gedung berantakan akibat serangan para mahluk tersebut. Serangan serentak penghuni gedung berhasil diatasi olehnya. Jiwanya yang masih berada di setiap sudut serentak menancapkan pecahan bilah bambu di lantai. Mereka mengunci pintu gaib agar para mahluk tersebut tidak kembali masuk dan membuat keributan di sana. Udara tidak lagi terasa mengerikan seperti saat pria itu tiba di sana. Galih menengadah ke langit, bayangan harimau kembali muncul membentang di atas kepala pria muda tersebut. Gumpalan awan gelap telah menyingkir berganti dengan awan putih membentuk sosok harimau putih yang merupakan pantulan dari cahaya rembulan. Pria itu menghela napas panjang. Dia tahu tugasnya masih belum selesai. Kekuatan di luar batas yang dimilikinya sama sekali tidak membuat pria itu bangga. Beban berat harus rela dia tanggung di atas kedua bahunya seumur hidup. Memenuhi amanat dari Sang Guru. Di sisi lain. Pemilik pabrik malam itu meninggal dunia dan diduga karena serangan jantung. Padahal itu terjadi bukan karena serangan jantung, melainkan para mahluk yang berhasil diatasi Galih balik menyerang si pemilik pabrik. Awalnya pemilik pabrik akan menggunakan karyawannya sebagai tebusan, namun dia salah sasaran. Kali ini yang dia hadapi bukan karyawan biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD