Bertemu dengan berbagai jenis mahluk astral bukan hal baru baginya, pria itu hanya menatap ke mana mahluk kecil tadi berlari darinya. Pandangan mata Galih tertuju pada tumpukan barang di sudut. Ke sana lah mahluk tadi berlari menjauh darinya. Bagi orang awam tentu saja merasa takut, atau bahkan pingsan jika melihat benda di sekitar-nya bergerak sendiri hingga melukai orang tersebut.
Andi melihat Galih berdiri di dekat tumpukan barang. Sebelumnya, ada sekitar tiga orang terluka di tempat tersebut secara beruntun. Ada juga sebelum itu dari pekerja yang kehilangan kesadaran. Andi merasa cemas melihat Galih menahan ban mobil bekas menggunakan kaki kanannya. Pikir Andi Syarief, Galih Arteja juga kerasukan seperti teman-temannya yang sebelumnya bekerja di sana. Galih mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya, pria itu segera melepaskan ban tersebut dari tahanan kaki kanannya kemudian segera menoleh ke arah suara.
“Galih?”
“Ya?” Sahutnya, lalu segera mengangkat ban tersebut agar berdiri. Satu tendangan kakinya membuat benda itu sudah kembali ke tempat semula. Andi terpana melihatnya.
“Wah, kamu dulu pemain bola?” Tanya Andi padanya.
“Bukan.” Sahutnya dengan tatapan tenang. Galih segera menuju ke kamar, dia meninggalkan Andi seorang diri di sana. Melihat Galih pergi Andi segera ikut pergi dari tempat tersebut, satu hal yang Andi ketahui dengan baik. Jangan sampai sendirian saat berada di ruang penyimpanan! Awalnya Andi ragu kalau Galih akan bisa bertahan di sana dalam waktu yang lama, mengingat para pekerja sebelumnya hanya bertahan tidak lebih dari dua hari. Gaji yang diberikan Ananta cukup fantastis jika dibandingkan bekerja di kampung, jadi Galih memutuskan untuk tetap tinggal di sana sementara waktu. Hari pertama sudah sangat mengejutkan. Beberapa benda terus berpindah dari tempatnya semula. Tentu saja hal itu membuat Galih terkena masalah di keesokan harinya.
Andi sudah tahu kalau hal itu akan terjadi, pria itu hanya menepuk bahu Galih agar tetap bersabar ketika melihat pria itu dimarahi oleh pengawas yang mengurus peralatan di sana. Pengawas terus mengomelinya pagi itu.
“Kamu itu becus kerja apa tidak? Kalau tidak pergi saja dari sini!” Teriak pengawas tersebut padanya dengan wajah murka.
“Tidak ada yang normal di sini.” Gumam Galih dalam hatinya. Para pekerja turut menyaksikan saat Galih dimarahi habis-habisan oleh pengawas tersebut. Kebetulan pagi itu Ananta juga baru tiba di pabrik, wanita itu melihat keributan di sana segera mendekat untuk mengetahui lebih lanjut.
Ananta melihat Galih Arteja sedang dimarahi oleh karyawan yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pria tersebut. Melihat Ananta di sana, pengawas itu segera melaporkan apa yang terjadi.
“Anak baru ini, dia tidak becus bekerja. Banyak sekali peralatan yang hilang! Padahal baru semalam dia tinggal di sini! Apa kerjanya hanya tidur saja semalaman? Dia tidak cocok menjadi staf keamanan di sini. Bu Ananta sebaiknya pecat saja dia!” Ujar pengawas tersebut pada Ananta.
Ananta mendekati Galih, wanita itu berdiri tepat di depannya. “Kamu ikut aku ke ruangan kerjaku.” Ucapnya pada Galih. Galih terlihat enggan, masih ada hal yang ingin dia katakan jika memang dia dipecat hari ini juga. “Sekarang!” Ujar Ananta lagi padanya.
Galih Arteja hanya mengangguk lalu bergegas mengikuti Ananta menuju ke ruangan wanita itu. Saat melintasi anak tangga menuju ke lantai atas, Galih melihat Seno sedang duduk di tengah tangga. Namun Ananta tetap tenang dan terus berjalan menuju ruangan kerjanya, itu artinya hanya dia seorang yang bisa melihat anak itu ada di sana.
“Mereka menggunakan pekerja sebagai seserahan. Memuja yang seharusnya tidak dipuja, membuat beberapa hal terlihat layak yang sebenarnya sudah rusak! Dinding kokoh dibangun di atas jasad manusia, apa itu bisa disebut layak? Banyak genangan darah di sana-sini.” Ujar Seno sebelum melompat dari anak tangga lalu lenyap entah ke mana. Sekali dengar, Galih mengerti apa yang dikatakan Seno. Anak itu muncul untuk memberi peringatan padanya.
Ananta sudah berlalu dari anak tangga, Galih segera melanjutkan langkah kakinya menuju ke atas.
“Masuklah.” Ananta membukakan pintu untuknya. Galih menoleh sejenak ke belakang punggungnya. Pria itu merasakan hawa dingin perlahan mengikutinya masuk ke dalam ruangan.
“Sraakk! Braakk!” Daun pintu segera menutup begitu dia melangkah masuk ke dalam. Ananta tidak terlihat takut atau terkejut, sepertinya wanita itu sudah terbiasa dengan beberapa kejadian tidak normal di tempatnya bekerja.
Ananta duduk di kursi meja kerjanya, wanita itu melihat Galih tetap berdiri tegak di tengah ruangan. “Duduklah.” Perintah Ananta sambil menunjuk ke arah kursi di seberang meja kerjanya.
Galih melangkah pelan, pria itu hendak duduk di sana namun tiba-tiba kursi tersebut jatuh terguling ke samping. Dia mencoba untuk membetulkannya. Namun belum sempat menyentuh, benda itu kembali menjauh darinya.
“Saya berdiri saja.” Jawabnya kemudian.
“Kamu luar biasa, kamu tidak takut sama sekali?” Ananta mengernyitkan keningnya melihat wajah tetap tenang sedang berdiri di seberang meja kerjanya.
Galih tidak menyahut sama sekali, pria itu hanya menunggu apa yang hendak dikatakan Ananta padanya pagi ini.
“Aku tidak akan memecat mu, jadi abaikan saja pengawas di lantai bawah tadi.” Ucap Ananta seraya berdiri dari kursinya lalu mendekatinya. Ananta berdiri bersandar pada sisi depan meja kerjanya, wanita itu melipat kedua tangannya sambil tak henti tersenyum menatap wajah tampan di depannya. Galih tetap diam tidak merespon ucapan Ananta sama sekali. Ananta melihat ikat kepala yang dikenakan oleh Galih Arteja, wanita itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kain tersebut. Galih buru-buru mencekal pergelangan tangannya, ini pertama kalinya dia bersentuhan dengan seorang wanita. Ananta sangat terkejut, wanita itu terpana melihat sorot mata tajam milik Galih Arteja. Galih segera melepaskan genggamannya, dia bisa merasakan suhu tubuh Ananta meningkat sekian derajat ketika dia menggenggam pergelangan tangannya.
“Trak! Praaang!” Lampu di atas langit-langit ruangan tepat di atas kepala Ananta mendadak terputus dari kabelnya, Galih segera menyambar kembali pergelangan tangan Ananta menariknya menjauh. Ananta tersenyum, wanita itu kini tinggal di dalam pelukannya. Galih segera melepaskannya. Bagi pria normal lain, pasti akan langsung bertekuk lutut begitu bertemu dengan wanita secantik Ananta. Namun tidak dengan Galih Arteja, pria itu menariknya barusan karena ingin menyelamatkan dari bola lampu yang jatuh dari atas kepalanya.
“Saya akan kembali ke bawah.” Ujarnya pada Ananta seraya berbalik dan pergi.
“Tunggu, jangan pergi dulu.” Ananta melihat darah dari lengan Galih akibat serpihan bola lampu. Ananta mengambil plester, wanita itu melangkah mendekat seraya mengulurkan tangan kananya. Dia meminta Galih mengulurkan lengan kananya yang terluka. Galih tidak memberikan lengannya, tapi pria itu mengambil plester dari genggaman tangan Ananta untuk membalut sendiri luka pada lengannya.
“Terima kasih.” Ucapnya sambil menunduk sekilas untuk berpamitan pergi dari dalam ruangan tersebut. Ananta masih menatap punggung pria itu menjauh, wanita itu memiringkan kepalanya untuk menatap lebih cermat dari ambang pintu ruangan kerjanya.
“Dia tampan sekali.” Ananta menundukkan wajahnya. Bayangan Galih Arteja masih tertanam jelas di dalam ingatannya.
Galih turun ke lantai bawah, dia melihat pengawas tadi sudah menunggunya di sana dengan berkacak pinggang.
“Kemasi bajumu dan segera angkat kaki dari sini.” Ucapnya pada Galih.
“Tidak akan ada yang memecatnya selain aku sendiri!” Ananta cemas kalau hal itu terjadi jadi wanita itu memutuskan kembali turun untuk melihat.
Galih hendak membuka bibirnya untuk memberitahukan di mana benda-benda berat itu berpindah tempat, namun ucapannya didahului oleh Ananta. “Alat yang kamu cari ada di gudang belakang, ajak beberapa orang untuk mengambilnya.” Seru Ananta pada bawahannya tersebut. Pengawas itu segera pergi dan mencari beberapa orang untuk memindahkan barang seperti yang diberitahukan oleh Ananta.
Galih masih berdiri di sana, pria itu menjadi lebih waspada dari sebelumnya. Aroma Nyai Ratih kembali menyeruak menusuk lubang hidungnya. Yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri hanyalah Ananta seorang, tidak ada wanita lain di sana saat ini. Ada pun wanita namun mereka tinggal di ruangan lain untuk bekerja pagi ini.
“Saya akan pergi untuk sarapan.” Galih segera melangkah pergi meninggalkan Ananta sendirian berdiri di bawah tangga. Galih merasa akan ada hal lain yang terjadi jika dia tetap berdiri di sana bersama Ananta.
“Apa hubungan Nyai Ratih dengan Ananta Kurnia Sari?” Galih bertanya-tanya dalam hatinya. Pria itu sedang duduk di warung tempat dia biasa meneguk secangkir kopi.
“Bagaimana Le kerjaannya lancar?” Tanya pemilik warung seraya meletakan sepiring sarapan juga segelas kopi untuknya.
“Lancar Bu.” Sahutnya seraya mulai menikmati sarapan paginya.
Tak lama setelah itu ada mobil polisi berhenti di sana, para petugas berseragam turun dari dalam mobil. Mereka rupanya juga ingin membeli sarapan. Beberapa dari mereka duduk di sebelah Galih. Ada yang mengeluh dengan kasus yang belakangan ini mereka hadapi. Galih tahu siapa yang mereka cari hanya dengan mendengar pembicaraan tersebut, namun pria itu pura-pura tidak tahu apa-apa dan tetap menghabiskan sarapannya. Dia mendapatkan kelebihan tersebut bukan untuk dipamerkan di depan umum, atau untuk menunjukkan dirinya agar mendapat pujian dari manusia di sekitarnya.
Galih segera berdiri setelah menghabiskan sarapannya. Pria itu memberikan uang kopi serta sarapan pada pemilik warung.
“Hei, anak muda? Kamu bukan orang sini kan?” Tanya salah seorang petugas padanya.
“Iya, saya bukan orang sini.”
“Kerja?” Tanya petugas yang lain seraya menikmati segelas kopi.
“Iya.” Galih mengangguk lalu bergegas pergi.
“Tole merantau dari desa kaki gunung, dia kerja di pabrik depan itu.” Jelas wanita pemilik warung pada petugas polisi di sana. “Sudah banyak orang yang keluar dari pabrik angker itu, tapi dia seorang yang bertahan dengan jaga malam sudah beberapa hari ini.” Ujarnya lagi.
Polisi tersebut hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari wanita itu. Ucapan wanita itu memang benar, bahkan tak sekali dua kali mereka dipanggil ke pabrik karena sering terjadi kecelakaan hingga mengakibatkan pekerja mengembuskan napas terakhirnya di dalam pabrik sana.
“Aku kadang merasa aneh, pemilik pabrik tidak menutup-nya walau sering terjadi hal-hal di luar batas kewajaran. Malahan mereka semakin banyak pesanan dari hari ke hari.” Keberadaan pabrik tersebut di kota itu sudah menjadi jantung kota. Dari pabrik itu warga mengais uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sumber penghasilan utama bagi warga sekitar.
“Kalau pabrik tutup, banyak orang menjadi pengangguran.” Sahut pemilik warung.
Galih sudah kembali, pria itu sekarang sedang melangkah menuju kamarnya.
“Dari mana kamu? Tadi Bu Ananta ke sini, nyari kamu.” Andi sejak tadi menunggunya di sana.
“Ke kamar ini?” Galih mengernyitkan keningnya.
“Iya ke sini.” Andi menganggukkan kepala. Andi sendiri merasa aneh lantaran Ananta yang meminta dia menunggu Galih saat pemuda itu pertama kali datang ke pabrik. Ananta sudah memiliki data-data Galih jauh hari dari sebelumnya.
“Mungkin bukan mencari ku.” Sahutnya dengan nada tenang.
“Kalau nggak nyari kamu, kenapa dia ada di sini saat aku nyari kamu?” Andi menggelengkan kepala, pria itu segera keluar dari dalam kamar Galih setelah menyampaikan pesan tersebut.
Galih mengedarkan pandangan matanya ke sekitar, tidak ada yang janggal di sana. Dia memilih mengabaikannya lalu mengambil handuk untuk membersihkan tubuhnya di kamar mandi belakang. Galih tidak mencium aroma melati lagi, pikirnya Nyai Ratih tidak akan datang pada detik-detik ini. Galih masuk ke dalam kamar mandi, pria itu mulai menanggalkan bajunya dan mulai mengguyur tubuhnya.
Galih memejamkan matanya sambil terus mengambil air menggunakan gayung untuk membersihkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia merasakan air tersebut memiliki aroma melati, pria itu segera membuka matanya. Bunga melati memenuhi dalam bak mandi. Galih segera menyambar handuk dan memakai bajunya kembali. Pria itu belum sempat memakai bajunya, Nyai Ratih sudah muncul keluar dari dalam air penuh taburan kelopak bunga.
“Aroma ku sudah menyatu dengan tubuhmu, Galih Arteja! Hihihihihi!” Ucapnya sambil tertawa mengikik sebelum lenyap dan menghilang. Nyai Ratih sudah pergi, tapi ucapan wanita itu benar. Aroma melati kini melekat kuat pada kulit tubuhnya.
“Apa yang diinginkan wanita itu sebenarnya?” Galih sudah memakai bajunya, dia tidak mungkin mengguyur kembali tubuhnya kedua kali. Pria itu mengambil tutup lubang air dari dalam bak, dia meletakkannya di tepi bak mandi sebelum keluar dari kamar mandi. Kelopak bunga ikut hanyut bersama air menuju ke dalam saluran pembuangan.
Galih terus mengendus lengannya, aroma Nyai Ratih tetap tinggal di sana. Galih kembali ke dalam kamar, pria itu duduk di atas dipan. Tiba-tiba ada sebuah tangan menariknya rebah telungkup di sana.
“Nyai Ratih!” Galih terkejut mendapati wanita itu rebah di bawah tubuhnya dengan posisi telentang. Tubuh Nyai Ratih hampir telanjang, hanya kain tipis yang terlihat sebagai penutup tubuh satu-satunya. Wanita itu tersenyum, lalu mengusap pipi Galih Arteja.
“Ki Wangsa..” Panggilnya dengan suara lirih. Kulit Nyai Ratih terasa begitu lembut dan halus menggesek kedua lengannya. Kini Galih Arteja tahu kenapa wanita itu menggunakan bunga itu, Nyai Ratih sengaja ingin mengaburkan aroma tubuhnya dengan cara memberikan aroma itu pada sekujur tubuh Galih, saat ingin mendekati Galih. Dengan begitu kewaspadaan Galih menurun lantaran aroma yang ada pada dirinya tidak ada bedanya dengan aroma khas Nyai Ratih.
Galih segera bangkit berdiri,
“Kamu mau ke mana, tidurlah bersamaku Wangsa!” Nyai Ratih memeluk tubuhnya dengan erat.
Dia menepis kedua lengan halus dan bersih milik Nyai Ratih dari tubuhnya. Galih segera menjauh.
“Kenapa??! Kenapa kamu menolak ku!” Nyai Ratih berteriak histeris melihat pria itu pergi keluar dari dalam kamarnya.
“Karena kamu semangkuk racun yang akan membunuhku.” Sahut Galih Arteja dalam hatinya.
Di sisi lain, Ki Sarwo mulai cemas. Pikirnya murid kesayangannya akan jatuh karena penampilan menggiurkan tersebut. Bagi pria normal hal itu sangat menggoda. “Wanita itu sudah berhasil menyentuhnya! Dia bahkan menggunakan murid-nya untuk memberikan pekerjaan saat Galih baru tiba di kota.” Ujarnya seraya mengubur ubi kunyit dengan beberapa genggam tanah.