Di tengah jalan Galih baru ingat kalau dia belum menemukan benda milik Nyai Ratih, pria itu menoleh kembali ke belakang. Galih menatap pepohonan rimbun di sekitar jalan kaki bukit, tidak ada kendaraan yang lewat di sana. Jalan setapak yang dia lewati hanya bisa dilalui kendaran roda dua, dua kilometer lagi dia baru tiba di jalan utama. Pria itu mengangkat tangan kanannya lurus ke depan, lalu membuka telapak tangannya. Benda yang dia cari sudah muncul dan ada di atas telapak tangannya, sekuntum kuncup bunga melati. Galih mencermatinya sesaat, lima detik kemudian bunga tersebut sudah menguap lenyap menyatu dengan udara di sekitarnya.
“Uhuk! Uhuk! Hah! Hah! Galih Arteja sudah menemukannya, aji pelet ku tidak mempan sama sekali! Pria itu, uhuk! Uhuk!” Nyai Ratih terbatuk-batuk seraya memegangi dadanya menggunakan telapak tangan kirinya, nenek-nenek tersebut berjalan terbungkuk-bungkuk sambil berpegangan pada tongkatnya di depan gubuk kediamannya sendiri. “Galih Arteja! Tidak mungkin pria itu tidak memiliki kelemahan sama sekali! Satir yang dibuat Ki Sarwo begitu kuat melindunginya, aku tidak bisa menembus masuk untuk mengetahui isi hati-nya!” Keluh wanita itu sambil terus berjalan di depan rumah, Nyai Ratih berusaha mencari cara untuk membuat ilmu putih dalam diri Galih luruh. Lalu menjadikan pria itu sebagai b***k ilmu hitam.
Galih sudah melanjutkan kembali langkah kakinya, pria itu melangkah tenang. Pagi ini jalan yang dia lalui masih berkabut dan hening tanpa ada seorang pun yang berlalu atau bersimpangan dengannya di jalan tersebut. Tak ada siapa pun selain Seno yang dia lihat tadi. Kini bocah itu juga sudah menghilang entah ke mana perginya.
Galih tiba di jalan besar, pria itu melambaikan tangannya ke jalan untuk menghentikan sebuah angkutan umum. Bus dengan ukuran mini berhenti tepat di depannya, pria itu melangkah masuk ke dalam. Mesin bus berbunyi menderu menyusuri jalan raya sepi pengguna. Hampir semua kendaraan beroda empat yang melewati jalan tersebut. Beberapa truk pengangkut barang dari desa menuju ke kota, serta mesin traktor sebagai alat penarik gerobak berisi rumput gajah yang baru dipanen untuk dibawa ke kota sebagai bahan makanan ternak.
Di dalam bus hanya tinggal beberapa penumpang selain dirinya. Dua orang duduk di kursi belakang, mereka sedang tertidur lelap. Beberapa orang pulang-pergi dari kota ke desa, saat ini tepat akhir pekan waktunya mereka kembali ke kota tempat tinggalnya. Kebanyakan mereka berdinas di desa sebagai pelayan kesehatan juga menjadi pengajar di beberapa sekolah umum.
Bus kembali berhenti di depan, seorang penumpang masuk ke dalam. Galih sempat terhenyak melihat siapa yang masuk ke dalam bus. Galih tahu sosok wanita muda dengan gaun kebaya tersebut adalah Nyai Ratih. Usianya yang sudah ratusan tahun hanya dia seorang yang bisa melihatnya. Wanita itu tersenyum melihat Galih menatapnya dengan tatapan tajam.
“Apa dia ingin menyerang ku di depan umum?” Galih bertanya-tanya di dalam hatinya. Pria itu meremas tali buntalan baju pada bahu kanannya. Banyak kursi kosong di depan dan di belakang. Galih sengaja menurunkan buntalan bajunya di kursi sisi kananya, maksudnya agar Nyai Ratih tidak duduk tepat di sebelahnya. Wanita itu melangkah mendekat ke arahnya, Galih Arteja sudah bersiap jika nanti tiba-tiba wanita itu menyerang dirinya. Nyai Ratih berdiri tegak di sebelahnya.
“Boleh aku duduk di sini?” Tanyanya dengan senyuman manis. Wajahnya begitu cantik, rambut panjangnya dikepang menjadi satu di sisi bahu kanan dengan untaian bunga melati. Galih menatapnya sekilas, pria itu tidak menyahutnya sama sekali. Nyai Ratih mengulurkan tangannya untuk mengambil buntalan milik Galih di kursi yang akan dia duduki. Belum sampai memegangnya mendadak wanita itu menarik kembali tangannya dengan wajah terkejut seolah tersengat sesuatu. Mata Nyai Ratih membelalak marah. Wanita itu menyembunyikan telapak tangan kanannya ke dalam genggaman telapak tangan yang lain. Nyai Ratih merasakan jemarinya terbakar. Wanita itu segera melangkah ke kursi tepat di belakang Galih Arteja. Mau tidak mau dia duduk di sana.
Semakin siang, bus semakin padat penumpang. Ada seorang wanita, penumpang terakhir. Dia melihat kursi kosong di sebelah Galih, segera menuju ke sana. Galih mengambil buntalan bajunya, lalu meletakkan di atas pangkuan. Galih membiarkan wanita itu duduk di sana.
Hal itu membuat Nyai Ratih murka, dia bersumpah akan membuat wanita yang ada di sebelah Galih berakhir mati dengan kondisi mengenaskan. Di persimpangan jalan lampu merah kota, wanita yang duduk di sebelah Galih berniat turun karena sudah sampai di tempat tujuan. Saat menyeberang ke tepi, tubuh wanita itu dihantam keras oleh sebuah truk pengangkut barang.
“Braaakkkk!” Benturan keras tersebut membuat seluruh penumpang menatap ke luar jendela bus. Mereka sangat terkejut sekali, padahal tadi tidak terlihat ada truk di sana. Namun tiba-tiba truk tersebut muncul entah dari mana datangnya. Tubuh wanita itu terpental keras ke jalan, tubuhnya hancur terlindas ban. Galih mengepalkan tangannya melihat kejadian tersebut, pria itu bisa melihat ada garis sihir yang terhubung dengan badan truk. Truk bergerak di luar kendali dan menghantam tubuh wanita tadi. Pengendalinya sedang duduk sambil tersenyum tepat di kursi belakang punggung Galih Arteja. Nyai Ratih memainkan kepangan rambutnya di atas bahu kanannya. Wanita itu tampak senang melihat kejadian nahas barusan.
Bus yang ditumpangi Galih terus meluncur menjauh dari lokasi kejadian. Pria itu ingin sekali melawan, mencegah kejadian tersebut. Dia hampir tidak tahan dan ingin segera berdiri dari kursi yang didudukinya. Namun tiba-tiba terdengar suara menggema dari gurunya. Hanya Galih Arteja yang bisa mendengar suara lantang tersebut.
“Takdir! Ingat takdir Le! Sekuat apa pun sihir menyerang seseorang semuanya tak luput dari takdir yang menjadi garis kehidupan manusia itu sendiri.” Ujar Ki Sarwo padanya. Galih hanya bisa menghela napas berat, pria itu menahan diri. Galih membatalkan niatnya untuk menyerang Nyai Ratih.
Galih tiba di tempat tujuan, pria itu bersiap turun dari dalam bus. Saat dia menoleh, Nyai Ratih sudah tidak ada di dalam bus. Wanita itu lenyap entah kemana. Galih segera turun, pria itu melihat sekitar. Tak jauh dari tempatnya berdiri nampak bangunan gedung tinggi menjulang ke angkasa. Gedung tersebut merupakan sebuah pabrik garment. Galih menuju ke sana, pria itu mendekati pos keamanan. Dia berniat menanyakan bagaimana caranya supaya bisa mendapatkan pekerjaan di tempat tersebut.
Melihat Galih datang salah satu staf segera menghampirinya.
“Kamu pria yang kemarin datang membawa surat lamaran itu kan?” Tanya orang tersebut seolah sudah akrab dan pernah melihat dirinya melamar pekerjaan di sana. Padahal hari ini adalah pertama kalinya Galih datang ke kota untuk mencari pekerjaan. Galih tidak menjawab, pria itu hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari pria berperawakan tinggi tersebut.
“Galih Arteja, kan?” Tanya pria itu lagi padanya, karena sejak tadi Galih hanya terdiam dan tidak segera menjawab pertanyaan darinya.
“Iya, benar.” Sahut Galih padanya.
“Ayo ikut aku!” Seru petugas keamanan tersebut padanya, dia meminta Galih untuk mengikuti langkahnya menuju ke dalam.
“Aku akan menunjukkan apa saja yang harus kamu kerjakan sebagai pekerja baru di sini. Tugas kamu hanya menjaga mesin-mesin itu setiap malam. Lalu pagi sampai sore kamu bebas.” Ujarnya pada Galih.
“Oh, iya, tapi apa tidak ada interviu? Atau penyeleksian karyawan terlebih dulu?” Tanya galih dengan tatapan bingung. Pria itu menggelengkan kepala, Galih hanya bisa mengangguk lalu mengikutinya melihat-lihat lokasi tempatnya bekerja. Pria tadi membawanya ke sebuah gudang penyimpanan.
“Kamu juga harus menjaga barang-barang di sini. Setiap beberapa jam sekali berkeliling untuk memeriksa.” Ucap pria itu sambil terus berjalan. Lokasi tersebut sangat luas sekali, Galih juga tidak bertanya dengan siapa saja dia akan berjaga setiap malam.
Usai berkeliling pria itu membawa Galih menuju tempat dimana Galih akan tinggal selama bekerja di sana.
“Nah ini kamarmu, kamu nanti bisa tidur di sini. Untuk seragamnya juga sudah disiapkan. Kamu tinggal ambil ke kantor Bu Ananta. Beliau adalah Ceo di sini.” Ujar orang itu padanya.
“Siapa namamu?”
“Andi Syarief.” Mengulurkan tangan kanannya, Galih segera menjabatnya.
“Terima kasih.” Galih segera bergegas keluar dari dalam kamar tersebut untuk mengambil seragamnya.
“Santai saja. Kalau tidak tahu ruangan Bu Ananta, nanti tanya saja pegawai di dalam biar kamu diantar langsung ke sana!” Teriak Andi padanya dijawab hanya dengan lambaian tangan oleh Galih.
Galih masih bertanya-tanya, siapa yang memasukan surat lamaran dirinya di perusahaan tersebut. Padahal dia baru tiba di sana hari ini. Galih tahu yang melakukannya juga bukan Ki Sarwo.
“Permisi, di mana ruangan Bu Ananta?” Tanya Galih pada salah seorang petugas di dalam gedung.
“Mari saya antar Mas.” Ujar orang tersebut padanya, Galih mengikuti menuju ke sebuah ruangan. Orang tadi mengetuk pintu ruangan.
“Masuk!” Terdengar sahutan dari dalam ruangan. Pintu terbuka, pertama yang dilihat Galih Arteja adalah sosok wanita muda tak jauh dari usianya. Ananta berparas cantik dengan rambut sepanjang bahu. Berbaju rapi duduk di seberang meja sedang menekuni lembaran kertas.
Galih masuk ke dalam, pria itu mencium aroma bunga melati begitu kuat menusuk hidung. “Nyai Ratih!” Gumam Galih seraya melangkah mendekat pada meja kerja Ananta.
Ananta berdiri dari kursinya, wanita itu juga tampak aneh karena begitu dia masuk langsung mengenalinya. Ananta mengambil sebuah kotak lalu menyerahkan kotak tersebut padanya.
“Galih Arteja? Ini seragam kamu. Kamu hanya akan berjaga malam di perusahaan ini. Jadi tugas kamu hanya malam saja. Nanti kalau ada yang kamu tanyakan, bisa langsung mencari saya. Atau bisa juga bertanya sama Andi. Ini kartu namaku, kamu bisa menghubungi nomor di sini. Ini nomorku.” Jelasnya pada pria itu sambil tersenyum. Ananta menyerahkan kardus berisi seragam padanya.
Dari penampilan Ananta, Galih menduga wanita di depannya itu saat ini berusia dua puluh sembilan tahunan. Aroma Nyai Ratih masih tinggal di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, wanita itu tidak ada di dalam sana.
Melihat Galih sejak tadi mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, Ananta segera menegur. “Apa ada hal lain yang ingin kamu tanyakan padaku?” Ucap Ananta sambil tersenyum lembut.
“Tidak ada. Permisi..” Sahut Galih seraya berbalik, segera keluar dari dalam ruangan. Melihat mereka mengenalinya saja sudah terasa aneh baginya. Galih menatap kartu nama dalam genggaman tangannya. Ananta Kurnia Sari, nama itu tertera pada kertas dalam genggaman Galih.
Galih kembali ke tempat peristirahatan. Pria itu meletakkan kardus tersebut di sana.
Di sisi lain, perlahan Nyai Ratih keluar dari dalam tubuh Ananta. Wanita itu berdiri tegak di depan ceo wanita tersebut. Ananta segera duduk bersimpuh di bawah kaki Nyai Ratih. Kedudukan tinggi yang menjadi jabatan Ananta saat ini, dia dapatkan atas bantuan Nyai Ratih.
“Saya sudah melaksanakan apa yang guru perintah kan.” Ucapnya seraya menundukkan kepala.
“Bagus, kamu harus siap jika sewaktu-waktu aku meminjam ragamu Ananta! Hihihihihihi!” Tawa mengikik tersebut menjadi akhir pertemuan Ananta dan Nyai Ratih hari ini. Ananta merupakan murid Nyai Ratih. Ceo wanita tersebut menempuh jalan gelap untuk mencapai kesuksesan dalam karirnya dengan berguru pada Nyai Ratih.
Usai menata bajunya, Galih melangkah keluar dari perusahaan. Pria itu melihat ada sebuah warung kecil tak jauh dari pabrik. Galih segera menuju ke sana.
“Bu, kopi satu.” Pesan Galih pada seorang wanita paruh baya pemilik warung.
“Kopi manis, atau pahit Nak? Pakai s**u?”
“Cukupan saja Bu. Jangan terlalu pahit, dan juga jangan terlalu manis. Kopi saja.” Sahutnya seraya duduk di atas dipan depan warung.
“Kamu itu orang mana Nak? Kok Ibu nggak pernah lihat?”
“Saya tinggal di kaki bukit sana Bu.” Galih menunjuk sebuah gunung yang samar puncaknya bisa dia lihat dari tempat duduknya saat ini.
“Oh, jadi Tole ini merantau?” Tanya wanita itu sambil membawa nampannya masuk ke dalam warung.
“Iya Bu.”
“Kerja di mana Nak?”
“Pabrik Bu, sebagai staf keamanan.”
“Jaga siang?” Tanya wanita itu dengan wajah penasaran.
“Malam Bu.”
“Astaga malam? Hati-hati Nak, sudah seminggu ini tidak ada yang berani melamar kerja di pabrik itu. Apa lagi jaga malam, ini ibu hanya cerita saja. Banyak petugas yang jaga malam celaka saat bekerja, patah tulang, ada yang sampai histeris dan sakit jiwa. Sejak itu kosong, pabrik itu tidak dijaga lagi kalau malam.” Jelasnya pada Galih.
Galih hanya mengangguk seraya menghirup kopi hitam dari cangkirnya.
“Kok nggak melamar di tempat lain saja?” Tanya wanita itu lagi, mendadak wajah wanita itu berubah cemas.
“Nanti Bu, ini baru pertama kali saya bekerja. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Kalau memang bahaya nanti baru saya akan pindah ke tempat lain.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Ya sudah, Kamu harus hati-hati di sana nanti.” Ucap wanita itu lagi sambil mengusap lengannya. Galih mengangguk. Pria itu meletakan uang kopinya, lalu meninggalkan warung tersebut.
Galih kembali ke dalam pabrik, pria itu juga merasakan hawa aneh sejak menginjakkan kaki di dalam pabrik.
“Terlalu banyak.” Gumamnya ketika melihat tumpukan barang di sudut gedung. Beberapa saat kemudian ban bekas menggelinding menuju ke arahnya dari belakang. Ban tersebut bergerak dengan sangat cepat hendak menabrak belakang kaki Galih Arteja.
Galih bisa mendengar gerakannya, pria itu segera mengambil satu langkah ke kanan lalu berputar seratus delapan puluh derajat berporos pada kaki kirinya. Galih secepat kilat menginjak ban yang hampir mengenai kakinya. Ban tersebut berhenti seketika. Mahluk kecil seperti anak-anak, berbadan kurus pucat, urat darahnya terlihat jelas berupa semburat hitam pada sekujur tubuhnya, dengan kedua bola mata putih tanpa kornea. Mahluk itu keluar dari dalam ban. Melihat Galih menginjak ban tersebut mahluk tersebut segera berlari menjauh darinya.