“Abang kapan kembali?” Meila masih belum bisa tertidur. Gadis itu sesekali memutar tubuhnya karena penat. Arya melewati pintu kamarnya, dia melihat Meila masih belum tertidur. Pria itu berlalu menuju ke dalam kamarnya sendiri. Saat hendak masuk ke dalam kamar, Regar dari luar masuk ke dalam rumah dari pintu depan. Melihat wajah Regar yang basah, pria itu pasti dari pondok samping rumah, baru selesai bermunajat seorang diri. Regar segera menegur Arya.
“Bang Arya!”
“Kenapa?”
“Bang Galih besok serius jadi pergi?” Tanyanya pada Arya.
“Katanya jadi, kenapa kamu mau ikut?” Tanya Arya.
“Tidak Bang, Regar kan harus sekolah.” Jawabnya dengan wajah sedih. Regar cemas kalau Galih tidak berada di rumah. Semuanya Galih yang mengurus, jadi dia cemas karena Arya tidak bisa mengurus dirinya dan Meila seperti Galih.
“Nah itu tahu.” Ucapnya seraya masuk ke dalam kamar.
Regar tidak pergi ke kamar, pria itu memilih duduk di ruang tengah untuk menunggu Galih kembali.
Beberapa jam kemudian, pintu depan terbuka. Terdengar suara derap langkah kakaknya masuk ke dalam rumah. Galih tersenyum melihat Regar duduk di kursi seraya menopang dagunya menggunakan kedua telapak tangannya.
“Kamu tidak tidur?” Galih duduk di seberang meja, pria itu menuang air dari kendi ke dalam gelas bambu lalu meneguknya perlahan.
“Bang Galih, jadi pergi?” Wajah Regar tampak cemas. Pria itu ingin menahan Galih agar tidak pergi ke kota, tapi sepertinya tidak bisa lantaran niat Galih Arteja sudah bulat.
“Besok Gar, kamu tidur sana. Sudah malam.” Ucapnya seraya berdiri, lalu melangkah menuju kamarnya. Regar ikut berdiri, pria itu menghambur memeluk kakaknya sambil menangis.
“Kenapa lagi?” Tanya pria itu seraya merenggangkan pelukan antara mereka berdua.
“Kenapa Regar sedih sekali Bang, Regar merasa kalau Regar ini jadi beban Abang.” Ucapnya seraya mengusap air matanya menggunakan lengan bajunya.
Sekali lagi Galih tersenyum. “Kamu adik Abang, kamu bukan beban Abang. Kamu harus sekolah sama Meila.” Ujarnya seraya menepuk bahu Regar. “Sudah malam kamu tidur sana.” Perintahnya lagi pada Regar Aji Kusuma. Pria itu segera menuruti perkataan Galih, Regar masuk ke dalam kamarnya. Setelah masuk ke dalam kamar, hanya beberapa menit saja dia sudah terlelap.
Galih duduk di atas dipan dengan kaki bersila. Pria itu memejamkan kedua matanya. Suasana hening malam menemaninya, waktu berlalu malam semakin larut. Keheningan semakin mencekam.
“Sraaakkk! Kwaaak! Kwaaakk! Kwaaak!” Dari dalam rumah terdengar suara burung gagak sayup-sayup terbang di antara dedaunan.
“Dia tidak mau berhenti.” Gumam Galih dalam hatinya. Galih merasakan kalau Nyai Ratih kembali mengirimkan sesuatu untuknya malam ini juga. Wanita itu sepertinya sengaja terus menyerang dirinya tanpa memberikan jeda sama sekali. Nyai Ratih tidak mendapatkan bayi tapi dia mendapatkan dua orang sebagai seserahan.
Asap putih mulai masuk dari bawah pintu kamarnya, Galih dengan sikap tenang tetap pada posisinya. Beberapa mantra yang di pasang oleh Ki Sarwo berhasil ditembus. Galih bertanya-tanya dalam hatinya, karena selama ini tidak pernah sekalipun tabir itu bisa ditembus. Galih curiga ada yang salah, sudah beberapa hari ini dia merasakan kejanggalan tersebut. Dan kini dugaannya terbukti benar. Asap masuk lalu membentuk mahluk mengerikan. Lidahnya panjang menjuntai hingga ke tanah. Rambutnya panjang acak-acakan, mahluk tersebut berbadan besar dengan kedua mata merah menyala, kedua bola matanya nyaris membeliak hampir keluar.
“Pasti ada sebuah benda milik Nyai Ratih ada di dalam kediaman ini! Jika tidak, maka para mahluk tersebut tidak akan pernah memiliki pintu untuk masuk ke sini.” Galih mengangkat tangan kanannya, tidak butuh waktu lama sekali lempar bilah bambunya terbang menghujam kepala mahluk tersebut.
“Jrakkk! Auurrgghhhhh! Grrrrrrhh! Daaaarr! Slaassshh!” Mahluk tersebut meraung-raung merasa kesakitan lalu hancur menjadi serpihan.
Mahluk tersebut lenyap, berganti dengan suara tawa mengerikan Nyai Ratih. “Hihihihihihi! Galih Arteja Wijaya! Hihihihi! Anak muda titisan Ki Wangsa! Kamu akan datang padaku! Hihihihi!” Suara tersebut menggema di seluruh ruangan. Galih Arteja masih duduk tenang di atas dipan-nya, tak beringsut sama sekali. Hanya kedua matanya yang terbuka, Nyai Ratih berhasil mengusik meditasinya malam ini.
Galih mengedarkan pandangan matanya, melihat suasana kediaman tetap tenang, pria itu tahu keributan barusan hanya dia seorang diri yang bisa mendengarnya. Galih tahu Nyai Ratih takkan menyerah semudah itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pria itu pergi untuk mengejar bus di jalan besar. Walau bisa hanya dengan berlari sampai tujuan, pria itu tidak menggunakan kekuatan yang dianugerahkan pada-nya. Galih sudah berjanji dengan Ki Sarwo kalau ilmu tersebut bukan untuk pameran atau sekedar mencari perhatian serta pujian.
“Bang Galih, hati-hati di jalan.” Meila membawakan ransel milik Galih.
“Abang bawa ini buat bekal di jalan.” Arya memberikan bingkisan untuk kakaknya. Hanya Regar yang terus menunduk seraya menghapus air mata pada kedua pipinya. Pria itu tetap tidak bisa melepaskan kakaknya dengan rela.
“Kalian lebih membutuhkannya.” Galih mengembalikan bingkisan pemberian Arya kembali pada Meila. Galih menganggukkan kepala, dia meminta Meila untuk menerimanya kembali. “Jangan sedih begini, Abang pasti kembali. Abang pergi demi kalian.” Ucapnya pada mereka bertiga.
Tak lama setelah itu sayup-sayup terdengar. “Jangan cemas, kamu pergi dengan tujuan yang baik. Aku akan menjaga ketiga adikmu, Galih Arteja!” Suara Ki Sarwo sampai pada daun telinganya, padahal Gurunya tersebut sedang menanam ubi kunyit di halaman rumah milik Ki Sarwo sendiri.
Galih tersenyum, hatinya tidak terasa berat lagi meninggalkan kediamannya di kaki bukit, pria itu melangkah santai menuju ke arah jalan utama yang dilewati banyak angkutan umum. Jalan tersebut terletak agak jauh dari tempat tinggalnya.
Galih terkejut ketika melihat Seno sudah berdiri dengan punggung bersandar di sebuah pohon. Galih terhenti sejenak, dia mendekati Seno lalu mengusap kepala anak laki-laki tersebut.
“Kalau sudah menentukan tujuan, maka berjalanlah sesuai dengan arah mu. Jika kamu menoleh sejenak, waspadalah dengan apa yang ada di hadapanmu. Jangan sampai kamu menoleh hingga berbalik arah, maka tujuan tersebut hanya berupa angan yang sia-sia.”
Galih tersenyum, pria itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Ketika kaki manusia menapak di bumi maka pasti akan ada tujuan ke mana arah kaki itu melangkah. Hati yang menuntun ke mana arah tersebut dan bagaimana cara manusia sampai ke sana. Silau dunia begitu mempesona, terkadang menyamarkan wujud dari yang sebenarnya. Membuat manusia lupa dengan tujuan awal dia menapak. Sebuah janji yang sudah terpatri sirna dalam buaian fana!
Galih menatap sinar mentari dari celah-celah dedaunan pohon di sekitar jalan, pria itu menoleh sejenak dimana tadi Seno berada, anak itu sudah tidak terlihat lagi di sana tapi sudah mendahuluinya berjalan dengan jarak lumayan jauh di depan.
“Bang Galih! Lihatlah Abang menoleh ke belakang, dan sekarang malah tertinggal jauh.” Seno memainkan ranting dalam genggamannya ke atas kepala, anak itu berjingkrak riang di sepanjang jalan. Celoteh jujur Seno membuat membuat galih tak henti mengukir senyuman pada bibirnya. Di sebelah Seno samar bayangan sosok pria lanjut usia, berjalan tenang dengan kedua telapak tangan saling menggenggam di belakang punggung. Galih tersenyum semakin cerah melihatnya, walau hanya terlihat punggungnya saja! Sosok yang sama, saat dia melihat kemarin. Pria itu juga sempat menyertai Regar Aji Kusuma.