Ch7-Pantulan Cahaya Semesta!

1225 Words
Galih tiba di dalam rumah, pria itu meletakkan pikulan di pelataran dekat sumur. Dituangnya ubi tersebut di sana. Meila Trisnawati tersenyum melihat kakak sulungnya sudah kembali. Gadis itu segera membantunya untuk meratakan singkong di atas tanah agar tidak terlalu lembab. “Biar aku saja Mei, kamu mandi saja sudah sore.” “Nggak Bang, sebentar lagi Abang ke kota. Meila cuma punya kesempatan sedikit untuk membantu Abang.” Galih tersenyum seraya mengambil dua tangkup singkong pada kedua telapak tangannya. Pria itu menatap adiknya sejenak lalu berkata. “Jangan pernah berpikir aku pergi, aku tetap bersama dengan kalian di sini.” Ucapnya pada Meila. Gadis itu tahu makna dari ucapan Galih. Jangan pernah berpikir seseorang pergi meninggalkanmu jika dia tidak terlihat di depan matamu. “Meila mandi dulu Bang.” Pamit gadis itu padanya, disusul anggukan kepala Galih Arteja. Regar sudah selesai membersihkan tubuhnya berganti dengan Meila. “Tumben Bang Arya belum pulang.” Ucap Regar tiba-tiba. “Arya pergi?” Galih mengernyitkan keningnya, seingatnya siang tadi mereka bertiga ada di pondok sementara dirinya pergi ke sungai. Pria itu memejamkan kelopak matanya sejenak, lalu kembali membungkuk untuk meratakan buah ubi di antara kedua kakinya. “Iya, kan ubi-nya Bang Arya yang ambil, Regar hanya angkut saja bawa pulang.” “Arya sudah sampai di pelataran depan.” Ujar Galih Arteja. Regar menoleh ke arah halaman samping, karena Arya tidak mungkin dari ladang langsung masuk ke dalam rumah. Benar apa kata Galih Arteja, beberapa detik kemudian Arya muncul dengan cangkul di atas bahu kanannya. “Kenapa malah melotot?” Tanya Arya saat mendapati Regar melongo sambil berdiri memunggungi Galih yang sedang sibuk menata ubi. Arya berjalan menuju pancuran untuk membersihkan tanah liat dari kedua kakinya. “Cuma mau lihat saja Bang Arya datang, habisnya Regar kira Bang Arya nginap di ladang.” Ucapnya seraya melangkah masuk ke dalam rumah dari pintu dapur. Galih hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala menatap Arya sedang menggembungkan kedua pipinya, Galih tahu Arya tidak senang mendengar candaan Regar. Arya sedikit sulit mengendalikan emosi dalam hatinya, sejak awal pria itu terlahir memiliki watak keras. Malam itu mereka berempat duduk di atas dipan beranda depan. Galih sendiri duduk di sisi paling ujung dekat dengan pintu masuk rumah. Pria itu menghirup wedang jahe dari gelas bambu dalam genggaman tangan kanannya. Wedang jahe merupakan minuman yang terbuat dari ubi jahe segar yang sudah dipukul-pukul lalu diseduh dengan campuran gula merah dan air mendidih. Sementara ketiga adiknya sedang menikmati hidangan makan malam, beberapa gulungan manis yang terbuat dari campuran gula merah dan ubi lalu dikukus. Satu kendi wedang jahe sudah keliling meja hingga tandas menyisakan kendi kosong. Dalam benak Galih dia tidak bisa melupakan Nyai Ratih. Mungkin senja tadi dia memang tidak diijinkan untuk pergi. Pria itu meletakkan gelas bambunya di atas meja kemudian memejamkan matanya sejenak, berada di sudut membuatnya bisa mengambil konsentrasi untuk menanyakan pada Ki Sarwo, sang Guru. “Guru, Galih melihat pergerakan Nyai Ratih senja ini.” Ucapnya dalam hati. “Pergilah tunaikan tugasmu malam ini Le. Saat senja memang tidak baik berada di luar rumah, karena senja adalah masa fajar menutup siang. Semua mahluk harus berpulang, tidak hanya manusia tapi juga mahluk tak kasat mata berebut mencari tempat, masa senja adalah waktu yang rawan, namun itu adalah waktu baik yang terpilih untuk mengingat-Nya sembari menunggu untuk bermunajat di waktu berikutnya.” Galih segera berdiri dari posisi duduknya. Ketiga adiknya menatap ke arah Galih. “Bang Galih, mau pergi?” Tanya Meila dengan tatapan cemas, padahal tak sekali dua kali Galih meninggalkan mereka mendadak. Entah di tengah malam, atau di pagi buta, juga di siang yang terik. Selalu ada alasan yang membawa langkah pria itu untuk melangkah pergi, dan terkadang dia tidak menjelaskannya. “Hem, kalian nanti tidur duluan saja.” Ujarnya lalu turun dari beranda menuju ke pintu pelataran, pria itu menarik pagar ke samping. Langkahnya begitu pelan, tapi hanya beberapa detik tubuhnya sudah tidak terlihat dari pandangan mereka bertiga. Galih kembali memegang bilah bambu pada genggaman tangan kanannya. Pria itu berdiri di tengah jalan, lalu menjejakkan satu kaki di atas tanah. Tubuh Galih melenting ke atas beberapa meter lalu mendarat di atas ranting, dia melihat Nyai Ratih sedang berjalan dengan tergesa-gesa. Wanita itu tak hanya memangsa ari-ari tapi kali ini dia menculik bayi. Melihat itu, Galih segera menerjang turun. “Sraak!” Dedaunan pohon bergerak berisik seiring dengan gerakan tubuhnya. “Slasshh!” Tubuh Galih melesat lalu menendang bakul dari dalam gendongan Nyai Ratih. “Dak!” Bakul berisi bayi tersebut melayang ke atas, Galih segera melompat lalu menangkapnya. Tangisan bayi terdengar keras sekali. “Hei! Kembalikan bayi itu! Ini tidak ada hubungannya denganmu!” Teriak Nyai Ratih dengan penuh amarah. Wanita itu kembali berubah menjadi wanita cantik dan muda. Di celah sepuluh jemari tangannya ada kuncup bunga melati yang siap dia jadikan senjata untuk menyerang ke arah Galih Arteja. “Aku tahu mereka menukarnya dengan kekayaan. Mereka memberikan bayi ini untuk dijadikan tumbal.” Sahut pria itu dengan suara tenang. “Sialan! Hiaakkk! Sratt!” Nyai Ratih mulai melakukan serangan, satu demi satu bunga dilempar ke arah Galih. Pria itu menarik sehelai kain dari ikat kepalanya dia menggunakan kain tersebut untuk mengikat bayi pada belakang punggungnya. Dengan begitu dia menjadi mudah bergerak. “Tak, tak! Boomm! Duarr!” Satu demi satu kuncup melati dia tangkis dengan bilah bambunya. Bilah bambu berputar bak kincir angin melindungi dirinya, menangkis seluruh kuncup bunga melati. Bunga melati yang gugur dan terpental meledak saat mengenai benda di sekitarnya. “Sialan kamu Wangsa!” Umpat wanita itu dengan penuh amarah dalam pandangan matanya Galih tetap Ki Wangsa sosok pria yang diidamkannya. Nyai Ratih segera maju untuk menyerang, seribu tendangan tak satupun mengenai Galih. Pria itu selalu bisa menghindari serangan dengan gerakan yang tak bisa terjangkau dengan pandangan. Malah tubuh Nyai Ratih terpental dan jatuh setiap kakinya ditangkis dengan bilah bambu milik pria tersebut. “Bagaimana mungkin ilmu mu bisa naik secepat ini! Tidak salah Sarwo mengambil mu! Uhuk! Uhuk!” Nyai Ratih terhuyung mundur seraya memegangi perutnya. Wanita itu masih terbatuk-batuk, darah hitam mengalir dari kedua ujung sudut bibirnya. Tenaganya hampir habis terkuras. “Setelah ini jangan mengganggu penduduk lagi Nyai.” Ucap Galih seraya berdiri menatap sosok wanita cantik jelita yang tengah terluka karena ulahnya. “Ambil saja bayi itu, tapi karena kedua orang tuanya sudah menyerahkan bayi itu sebagai tumbal. Maka sebagai gantinya aku akan mengambil mereka sebagai seserahan! Hihihihihi! Slassshhhhh!” Nyai Ratih lenyap dari pandangan Galih seiring dengan suara tawa mengikik. Galih segera menuju ke rumah di mana kedua orang tua dari bayi dalam gendongannya tersebut tinggal. Setibanya di sana dia melihat mereka sudah tidak bernyawa. Nyai Ratih benar-benar mengambil mereka untuk menggantikan bayi tersebut. Perjanjiannya dengan kegelapan tidak bisa dibatalkan, kecuali empu-nya memilih berbalik arah, kembali ke jalan yang benar sebelum ajal! Ada beberapa orang di sana sedang menangis, Galih menyerahkan bayi tersebut pada sanak saudara korban. Pria itu lalu melangkah pergi meninggalkan rumah tersebut. Di tengah hutan bambu dia meninggikan telapak tangan kanannya, bilah bambunya berputar bagai gasing di atas kepala, dedaunan turut berjatuhan luruh ke tanah. Galih Arteja membuka kain yang dia gunakan untuk membawa bayi tadi. Melipatnya beberapa bagian lalu kembali mengikat kepalanya dengan kain tersebut. Pusat keningnya kembali bersinar terang! Membuat suasana suram hutan bambu menjadi terang benderang. Beberapa binatang buas turut meraung mendekat lalu duduk mengitarinya. Menatap dan tunduk pada sang pemilik pantulan cahaya dari pusat cahaya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD