Nyai Ratih berada di dalam kediamannya, sejak terluka semalam wanita itu terus bermeditasi untuk memulihkan tenaga dalamnya. Dupa menyala di depannya. Tak lama kemudian asap muncul dari celah bawah pintu rumah bambu tersebut. Nyai Ratih segera membuka kelopak matanya. Wanita tua tersebut menyambut kedatangan para mahluk halus yang sudah dia panggil. Tiga mahluk dengan tubuh besar, bola mata mereka merah menyala dengan helaian rambut berwujud api.
“Aku kirim kalian untuk mendatangi Raden Galih Arteja Wijaya. Hihihihihihii!” Perintah wanita itu pada para mahluk tersebut disusul dengan suara tawa mengikik mengerikan. Nyai Ratih mulai merapalkan mantra lalu dia semburkan pada dupa yang menyala. Asap dupa tersebut membawa para mahluk itu ke kediaman Galih Arteja!
Galih sudah selesai makan bersama ketiga adiknya, dia melihat Meila sedang mencuci piring di sumur sementara dirinya sedang membasuh telapak tangannya. Niatnya untuk bermunajat setelah itu. Pria itu terdiam sejenak, dibiarkannya air pancuran mengalir jatuh ke tanah. Galih berdiri tegak, kedua telapak tangannya mengepal. Pria itu menelan ludahnya merasakan kekuatan sedang menuju ke arahnya. Melihat ada Meila di sana, usai membasuh anggota tubuhnya pria itu segera melangkah menuju ke sungai. Dia melihat sebuah batu besar dimana biasanya dia berdiri untuk menangkap ikan. Pria itu membuka telapak tangan kanannya, dalam sekejap bilah bambu muncul di sana.
Langit yang awalnya cerah mendadak gelap berkabut, ketiga adiknya sedang bermunajat di rumah panggung sebelah kediamannya. Mereka tidak mengetahui keadaan langit di luar. Tidak ada yang bisa masuk ke dalam pondok kecil tersebut, Galih sudah menanamkan beberapa mantra sebagai satir untuk menghalangi pandangan para mahluk halus yang mengincar keluarganya.
Galih berdiri seraya menggenggam erat bilah bambu pada genggaman tangan kanannya. Mahluk yang dikirim Nyai Ratih sudah tiba, tiga mahluk berwujud raksasa. Mereka segera menyerang Galih arteja. Galih menjejakkan satu kakinya di atas bebatuan dimana dia tengah berdiri, tubuh pria itu melenting ke atas menapak menjejak di atas air. Bambu dalam genggaman tangannya dia lemparkan ke atas setinggi tiga meter. Serangan para mahluk tersebut tak sekalipun mengenai tubuhnya. Sekali lagi dia melompat ke atas untuk menangkap bilah tersebut, lalu dia tancapkan seraya merapalkan sesuatu tepat di ubun-ubun mahluk tersebut. Satu mahluk telah roboh dan jatuh ke sungai, tubuh mahluk tersebut mulai mengecil hingga tidak terlihat dari pandangan mata. Galih kembali menjejakkan kakinya di atas pelataran luas di tepi sungai.
Dua mahluk yang tersisa merubah wujud menjadi gulungan api dengan ukuran yang sangat besar, mereka bergelinding menuju ke arahnya dengan sangat cepat.
“Hiak! Wusssh!” Satu hentakan kakinya tubuh pria itu melayang ke udara, tubuhnya menjejak pada ranting bambu di tepi sungai, bola api masih terus mengejar. Galih kembali berdiri di atas bebatuan awal dia menunggu, bambu dalam genggaman tangannya dia tancapkan tepat di tengah pusaran arus.
Bola api semakin dekat menuju ke arahnya, arus di sekitar bilah bambunya mendadak berubah menjadi ombak yang besar setinggi pohon di tepian sungai. Api besar tersebut dimangsa habis oleh ombak air. Habis tak bersisa!
Pria itu menghela napas panjang, bambu tersebut dia cabut dari tengah sungai lalu lenyap dalam genggaman tangan kanannya.
Di sisi lain, tubuh Nyai Ratih mendadak terpental lalu jatuh menabrak dinding. Wanita itu kembali terbatuk-batuk, kali ini lukanya semakin parah dari sebelumnya.
“Sialan kamu Sarwo! Kamu mengajari ilmu lain!” Teriak wanita itu karena Galih melakukan serangan bukan berdasarkan ilmu yang dia ketahui dimiliki oleh Ki Wangsa, kakek buyut Galih Arteja.
Sebenarnya itu bukan ilmu yang memerlukan latihan, Ki Sarwo juga tidak mengajarinya untuk melakukan serangan air atau yang lainnya. Sejak awal ilmu itu sudah memancar di dalam jiwa Galih arteja. Sinar di pusat kening Galih sering memancar terang pada waktu-waktu tertentu. Cahayanya tembus ke langit membentuk seekor harimau dari gumpalan awan. Ki Sarwo lebih banyak melatih ilmu ruhani untuk Galih jika dibandingkan dengan ilmu kanuragan. Tubuh Galih selalu bergerak mengikuti kata hatinya, spontan menghindar dan membalas serangan.
“Aku harus kembali mencari ari-ari bayi untuk memulihkan kekuatanku, hihihihihii!” Ujar nenek-nenek tersebut seraya terbungkuk-bungkuk untuk mengambil tongkat kayu miliknya. Wanita tua itu menutupi kepalanya dengan selendang kuning cerah, baju kebaya warna ungu tua serta kain jarit tengah membalut tubuhnya. Nyai Ratih turun dari gunung untuk pergi ke desa di bawah bukit. Wanita itu mencari wanita yang akan melahirkan bayinya tepat malam ini. Galih menggulung lengan panjang serta celananya, pria itu turun ke sungai. Dia kembali membersihkan anggota tubuhnya, memilih bermunajat di sana lalu pulang kembali ke rumah. Galih melangkah melewati jalan setapak di tepi sungai, angin berhembus semilir menerpa wajahnya, membuat ikat kepalanya melambai akibat hembusan angin.
Pria itu membatalkan niatnya untuk kembali pulang, samar-samar dia mendengar pergerakan Nyai Ratih di desa beberapa kilometer dari desa tempat tinggalnya. Galih menatap sejauh ujung pandangan matanya. Menembus alam sekitar, melewati pepohonan. Pria itu melihat nenek-nenek dengan tongkat di genggaman kedua tangannya, wanita tua tersebut menggunakan tongkat kayu untuk membantunya berjalan melewati jalan terjal juga tanjakan. Sebuah bakul dari anyaman bambu digendong di belakang punggungnya.
Nyai Ratih menyeringai lebar merasakan sosok yang dia kenal tengah melacak keberadaanya, wanita tua itu terus melangkah sambil memegangi tongkatnya.
Galih kembali melangkah melanjutkan perjalanannya, belum sampai di jalan utama adiknya memanggil.
“Bang Galih, ayo balik.” Teriak Regar padanya, adik ke tiga-nya tersebut membawa singkong dengan sebuah pikulan. Dua wadah besar penuh berisi dengan ubi. Besok pagi-pagi sekali ubi tersebut akan dia jual ke pasar. Melihat adiknya tiba-tiba berada di sana, terlalu jelas bagi Galih kalau Regar sengaja mencegah dirinya. Pria itu tidak bicara apapun lalu mengikuti Regar kembali.
“Sini, biar aku yang bawa.” Menyentuh kayu pikulan yang tengah berada di atas bahu kanan adiknya, menggenggamnya dengan tangan kanannya.
Wajah Regar mendadak berubah, senyum lenyap dari bibirnya. “Satu pikulan dengan dua wadah, jika isinya imbang maka tidak akan berat sebelah. Begitu juga dunia dan alam yang kekal. Hendaknya berjalan dengan seimbang, jangan berat pada satu sisi. Jika tidak bisa melepaskan yang fana, pilihlah yang utama dan terbaik pada sisi akhirnya.” Usai berucap demikian Regar segera meletakkan kayu pikulan dari atas bahunya ke tanah. Galih Arteja mengambilnya lalu mengangkatnya, membawanya pulang. Tubuhnya yang tegap sama sekali tidak terlihat kalau barang yang dia bawa berat. Pria itu melangkah santai sambil tersenyum, dia melihat sosok yang sama sebelumnya menyertai Seno kini berjalan samar dalam satu wadak yaitu tubuh Regar Aji Kusuma.
“Penyatuan wujud, jiwa menjelma mengambil alih kesadaran empu-nya sesaat. Dengan tujuan untuk meletakkan sesuatu pada tempat yang seharusnya dalam situasi tertentu.” Gumam Galih seraya menggelengkan kepala. Senyumnya tak kunjung sirna dari bibirnya, dia semakin riang karena sosok tersebut terus menyertainya. Dia tidak tahu apa sebabnya dia ditahan untuk tidak pergi menggagalkan rencana Nyai Ratih untuk mencari mangsa.
Terkadang ada sesuatu yang harus kita patuhi, tanpa harus bertanya apa alasannya. Dan mereka lebih tahu dari apa yang kita ketahui, sisi yang kita lihat lebih baik terkadang mengambil beban lebih berat dari kejadian yang diakibatkan. Merubah arah sejenak bukan berarti membiarkan yang salah tetap berjalan, namun meninggalkan situasi yang akan mengakibatkan lebih buruk jika kita tidak merubah tujuan.