Galih membilas bajunya lalu meletakkannya di atas jemuran. Pria itu kemudian berdiri dengan kepala menengadah ke arah langit, kabut sudah menyingkir kini terlihat jelas rembulan beserta bintang berderet di sana. Dalam hatinya masih berkecamuk antara pergi dan tidak. Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan ketiga saudaranya di rumah. Cukup lama tetap berdiri di sana, Galih tersenyum merasakan ada seseorang bersembunyi di balik pohon untuk mengawasi apa yang sedang dilakukan oleh-nya.
“Seno? Kamu tidak pulang ke rumah, Bapak kamu sibuk mencari.” Tegur Galih tanpa memutar tubuhnya, bahkan pria itu masih menengadah menatap gemerlap benda-benda langit di atas sana.
Merasa ketahuan telah melihat diam-diam, Seno segera keluar dari tempat persembunyiannya. Padahal letak rumah Galih lumayan jauh dari penduduk desa tersebut, tapi Seno tetap pergi ke sana hanya untuk memantau dirinya dari kejauhan. Anak berusia tiga belas tahun tersebut terlihat seperti tidak pernah mencemaskan apapun. Galih mendapati anak laki-laki itu masih bersih dari ambisi duniawi, tak jarang Seno sering dia dapati berhasil menyusul dirinya ke tengah hutan.
“Bang Galih.” Anak itu segera berlari kecil dengan senyum cerah menuju ke arahnya. Anehnya anak itu langsung menghambur memeluk Galih Arteja yang tetap tidak memutar tubuhnya. Pria itu baru menurunkan pandangan matanya, beralih dari langit ke wajah Seno.
“Kenapa tidak pulang?” Tanyanya dengan senyum hangat, lalu mengusap kepala anak tersebut menggunakan telapak tangan kanannya.
“Bang, sebenarnya Seno..” Ingin mengatakan dengan jujur apa yang dia ketahui selama mengekor Galih sejak di usia sembilan tahun. Empat tahun anak itu mengikutinya secara diam-diam.
“Ssttt, jangan cerita sama Arya, Meila, dan Regar.” Ujarnya seraya menekan pusat kening Seno perlahan menggunakan ibu jarinya. Seno merasa keningnya hangat hanya beberapa detik lamanya, spontan anak itu menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Selama ini, Seno dia ketahui sering mengikutinya dengan diam-diam. Bahkan saat Nyai Ratih menemuinya. Yang membuat Galih merasa lain, anak itu tidak terlacak dan muncul sekehendak hati dimana dia berada. Seno merupakan putra ke tiga dari kepala desa lereng gunung tersebut. Seno dikucilkan dan dianggap aneh oleh keluarganya lantaran selalu mengatakan hal-hal tentang Galih Arteja. Sama halnya dengan yang dirasakan Galih di masa lalunya saat melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa melihat.
“Kamu dari mana?” Tanya Galih setelah beberapa saat terdiam.
“Dari surau Bang, lalu mampir ke sini.” Ucap Seno dengan bibir tersenyum. Surau tersebut sudah kosong sejak Galih lahir di desa itu, bangunannya hancur dan sudah roboh rata dengan bebatuan sungai. Tapi Seno selalu bilang kalau banyak orang yang singgah di sana.
Anak itu selalu bilang ada surau di atas sungai, sementara orang lain hanya melihat arus yang deras. Galih tidak menimpali jawaban anak itu, pria itu hanya menghela napas panjang lalu meminta Seno untuk kembali pulang.
“Kamu orang ke dua dari Guruku, yang selalu mengawasi ku. Sebenarnya siapa kamu?” Bisik dalam hati kecil Galih Arteja. Jika penampilan Seno saat ini adalah anak berusia tiga belas tahun, namun tidak bagi Galih. Dia melihat samar seorang yang sudah nampak lanjut usia namun masih tegak berdiri.
Galih tetap mengawasi sampai Seno tidak terlihat lagi dari ujung matanya memandang barulah dia masuk ke dalam rumah.
Galih kembali masuk ke dalam kamarnya, lalu duduk di atas dipan dengan kedua kaki bersila. Pria itu menarik napas perlahan, mengumpulkan beberapa energi di sekitar seraya memejamkan kedua matanya.
Keesokan harinya..
Meila bangun sekitar pukul empat pagi, dia pergi ke sumur melihat baju yang dikenakan Galih sudah tergantung di atas bilah kayu jemuran.
“Bang Galih nyuci semalam?” Gumam gadis itu seraya mengulurkan tangannya untuk memeriksa kain baju tersebut.
Arya yang sudah bangun hendak pergi ke kamar mandi mendengar gumaman Melia segera menyahut. “Iya, katanya bau keringat.”
“Tumben?” Meila mengernyitkan keningnya, lalu mencium kain tersebut. Tidak ada aroma apa-apa di sana.
Meila kemudian melangkah menuju pancuran, menarik penutupnya. Gadis itu menadah air dengan kedua telapak tangan untuk berkumur, membasuh wajah dan anggota tubuhnya yang lain. Udara pagi yang dingin tidak membuatnya enggan untuk bermunajat sejenak. Regar sudah berdiri di ambang pintu belakang untuk mengantri.
“Bang Galih tumbenan belum bangun?” Tanya Meila pada Regar. Gadis itu segera mencarinya ke dalam kamar, dia tidak melihat pria itu di sana. Gadis itu mengambil kain dari dalam kamarnya lalu berlari ke rumah panggung berukuran empat meter di sebelah rumah. Kakaknya sudah duduk di sana menunggu mereka bertiga.
Satu-persatu dari mereka masuk ke sana. Pertama yang turun Meila, karena gadis itu harus mengumpulkan telur ternak untuk dijual Regar ke pasar. Berikutnya Arya, karena harus ke ladang untuk mengolah ladang. Galih masih tinggal di sana, saat garis merah muncul di langit timur barulah dia turun.
Galih Arteja mengambil anyaman bambu, lalu pergi ke sungai. Meila tersenyum seraya menyalakan api di dapur dekat sumur. Dia tahu kakaknya pergi untuk menangkap ikan. Gadis itu segera berdiri dan mencari beberapa lalapan di pekarangan belakang rumah.
Saat mentari mulai meninggi empat bersaudara itu sudah berkumpul kembali di kediaman, mereka makan bersama.
“Wah, Abang nangkap ikan lagi?” Tanya Arya dengan wajah cerah. Galih hanya tersenyum lalu mengambil sebuah ikan bakar, kemudian dia letakan di atas piring Arya Sapta Wijaya.
Arya selalu bingung, dia pikir pekerjaan Galih yang paling ringan di antara mereka berempat. Pernah suatu ketika dia meminta untuk bertukar tempat dengan Galih Arteja. Arya pergi menangkap ikan sementara Galih pergi ke ladang. Saat waktunya pulang, dia kembali dengan keranjang kosong. Tapi setiap Galih pulang dari sungai selalu membawa ikan besar sebanyak lima ekor.
Pernah suatu hari dia mengikuti Galih ke sungai, dia sangat penasaran kenapa kakaknya tersebut selalu membawa ikan lima ekor, sementara mereka hanya empat orang. Terlebih lagi kenapa kakaknya tersebut hanya membawa lima ekor jika bisa mengambil ikan lebih banyak dari dalam sungai. Galih menjawab sambil tersenyum.
“Kenapa selalu lima ekor Bang?”
“Kita harus menyisakan lima waktu dalam sehari untuk memenuhi kebutuhan ruhani.”
“Lalu, kenapa tidak mengambil sebanyak-banyaknya?” Tanyanya lagi karena Galih Arteja malah melepaskan ikan ke enam yang terlanjur masuk ke dalam wadah bambu miliknya.
“Ambil secukupnya, jika kamu memperolehnya setiap hari akan lebih baik daripada kamu mengambilnya sekaligus lalu besok tidak mendapatkannya lagi.” Menoleh menatap Arya dengan senyuman hangat, lalu menyerahkan wadah berisi lima ekor untuk dibawa pulang ke rumah. Setelah Arya kembali pulang, Seno muncul lalu duduk di bebatuan tepat di sebelah Galih. Anak itu meletakkan telapak tangannya ke dasar air, lalu banyak sekali ikan yang mendekat dan tinggal dalam genggaman tangan Seno.
“Lima waktu dengan kontinyu, akan membersihkan hati jika dilakukan dengan tulus. Namun jika melakukannya lebih dari itu dalam sekali waktu, maka hendaknya bisa menjaga untuk tidak mengurangi jumlahnya di lain hari. Tidak akan ada apa-apanya, jika kita menambahnya namun dilakukan dengan tujuan lain dari yang seharusnya.” Seno melepaskan ikan dari atas telapak tangannya kembali ke dalam air bersamaan dengan itu air memercik dan mengenai wajah mereka berdua. Seno menatap telapak tangannya yang kosong, tidak ada ikan lagi yang tersisa di dalam genggaman tangannya.
Galih tersenyum, telapak tangan yang kosong merupakan ibarat dari kalimat kedua yang diucapkan oleh anak itu. Jika manusia melakukan tindakan kebaikan untuk mendapatkan sesuatu maka ibarat kita melepaskan ikan dari dalam genggaman.