Di sisi lain, Meila Trisnawati sudah diterima menjadi seorang pengajar. Gadis itu memilih tetap tinggal di desa. Jadi dia setiap hari pulang-pergi dari kediamannya. Di sana masih kekurangan banyak pengajar. Di dalam sekolah tingkat SMP tersebut, Meila mengajar sebuah kelas dengan jumlah murid empat puluh anak. Meila juga menjadi guru les privat di kediamannya. Saat ini Meila sedang memberikan materi pelajaran kepada para murid-nya di dalam kelas tersebut.
Sementara Arya, pria itu ditugaskan untuk menjaga perbatasan pada tahun pertama. Karena kepiawaian Arya Sapta Wijaya, pria itu ditarik mundur dari perbatasan negara. Dia dimasukkan menjadi salah satu calon anggota pasukan khusus. Pria itu masuk kembali ke dalam pelatihan selama beberapa waktu lamanya. Arya lolos dalam seleksi awal. Tidak mudah dan prosentase kegagalan lebih banyak jika dibandingkan dengan keberhasilan. Jika Arya lolos maka dia harus siap jika dikirimkan ke negara lain untuk menjalankan sebuah misi-misi tertentu. Arya Sapta Wijaya sudah terbiasa mendapatkan pelatihan yang keras dari Ki Sarwo. Selama pelatihan Arya tidak bisa menghubungi keluarganya. Pria itu tahu kalau kakaknya selalu bersamanya meskipun dia tidak pernah bertukar kabar dengannya.
Regar sedang di dalam ruangan kerjanya. Dia menjadi seorang dokter bedah. Regar sudah memiliki klinik sendiri di kota tak jauh dari kantor kepolisian tempat Galih bertugas.
Hari ini Galih membawa salah seorang rekannya yang terkena luka tembak saat menyergap kawanan penjahat di dalam sebuah mall, para penjahat membawa senjata bahkan tidak ragu menembak para anggota polisi agar bisa kabur dari penyergapan. Galih dan bawahannya berhasil menangkap mereka. Saat ini, Galih mengantarkannya ke klinik adiknya. Regar sedang menanganinya di dalam. Beberapa jam berlalu. Setelah selesai Regar segera keluar untuk memanggil kakaknya.
“Sudah selesai.” Ucapnya pada Galih.
“Bagaimana keadaannya?” Tanyanya pada Regar.
“Hanya perlu pemulihan saja, untungnya lukanya tidak mengenai organ dalam.” Ucapnya pada Galih, agar pria itu tidak cemas dengan keadaan rekannya tersebut. “Bang Galih sendiri? Tidak terluka kan?” Tanya Regar seraya menatap Galih dari ujung kepala hingga ujung kaki. Galih mengukir senyum pada bibirnya lalu menggeleng pelan.
“Aku baik-baik saja, Gar.”
“Syukurlah.” Regar menghela napas lega melihat kondisi Galih baik-baik saja. Galih melangkah masuk ke dalam untuk melihat kondisi rekannya. Selang infus terhubung dengan lengan rekannya tersebut.
“Aku tidak apa-apa Inspektur tidak perlu cemas.” Ujar pria tersebut padanya.
“Ya sudah, kamu istirahat saja. Kalau butuh apa-apa panggil saja Regar.”
Toni menganggukkan kepalanya, Galih segera berlalu keluar dari dalam ruangan dimana Toni sedang dirawat.
“Aku akan kembali ke kantor, aku titip Toni di sini.” Pamitnya pada Regar.
“Bang Galih tenang saja, Kak Toni akan segera sembuh.” Ucapnya sambil mengantar kakaknya melewati koridor samping menuju ke arah pintu keluar.
Galih sedang dalam perjalanan kembali ke kantor. Pria itu mendadak menghentikan mobilnya di tengah perjalanan.
“Nyai Ratih?” Galih mengernyitkan keningnya. Nyai Ratih mendadak muncul berdiri tepat di tengah jalan raya. Wanita itu sengaja menghadang Galih agar pria itu tidak bisa melanjutkan perjalanannya menuju ke kantor.
Galih melihat arloji di pergelangan tangan kanannya, waktunya sangat sempit. Pria itu ingin segera tiba di sana, tapi sepertinya tidak bisa lantaran dihadang oleh Nyai Ratih.
“Braaakkk!” Nyai Ratih menggebrak kab sisi depan mobilnya. Wajah wanita itu tampak marah sekali. Mobil tersebut bergeser mundur perlahan. Galih segera turun dari dalam mobilnya. Melihat Galih turun, wanita itu segera menerjangnya dengan berbagai serangan. Galih menangkis dan menghindar.
“Daakkk! Braak!” Satu pukulan telak mengenai perut Nyai Ratih membuat wanita itu jatuh terhuyung mundur. Kekuatan wanita itu berada jauh di bawah Galih Arteja. Selama ini Galih tidak pernah berniat untuk sungguh-sungguh melukainya. Entah kenapa dia terlalu sulit dan berat jika harus menghabisi wanita itu. Galih hanya menangkis dan menghindari serangan darinya.
“Kauuu! Hiiiaaakk!” Nyai Ratih berteriak keras sekali, lalu menerjang kembali ke arahnya.
Galih kembali menahan pukulan menggunakan kedua lengannya, kedua sorot mata mereka saling menatap satu sama lain. Galih segera mendorongnya pergi, Nyai Ratih berhasil dipukul mundur.
Nyai Ratih terbatuk-batuk seraya memegangi perutnya. Wanita itu tidak lagi mengejar Galih.
“Galih mengabaikan ku! Beraninya!” Geram Nyai Ratih saat melihat pria itu berlalu dari hadapannya. Galih sudah masuk ke dalam mobil, dan berlalu pergi.
Galih sudah tiba di kantor, pria itu duduk di ruangan kerjanya. Begitu melihat Galih datang, Seno segera membawakan berkas penting untuknya.
“Bang?” Tegur-nya seraya membuka pintu ruangan kerjanya. Seno meletakkan berkas tersebut di atas mejanya. Pria muda itu tak segera pergi dari sana, malah mengendus tubuh Galih.
“Kenapa kamu? Berubah profesi menjadi anjing pelacak?” Tanyanya sambil tersenyum. Galih mulai membuka berkasnya.
“Melati.” Gumam Seno dengan suara pelan. “Wanita mana lagi? Ananta? Dia mawar yang sempat aku endus pekan lalu kan? Kali ini pasti beda.”
Mendengar pertanyaan Seno, Galih merasa kalau dirinya adalah seorang plaboy. Apalagi tubuhnya hari ini beraroma melati yang sangat kuat. Galih mengendus lengan bajunya, dan aroma dari Nyai Ratih benar-benar sangat kuat.
“Kamu tidak pernah bertemu dengannya?” Tanya Galih seraya menggigit ujung bolpoin dalam genggaman tangannya. “Dia wanita yang sangat cantik, rambutnya terurai panjang dengan untaian bunga melati. Bibirnya tipis merah merona, tatapan matanya tajam bak kejora, sangat menggemaskan, tubuhnya..”
“Braaaakkk!” Seno kabur keluar dari dalam ruangan kerja Galih.
Galih terpingkal-pingkal melihat Seno risi setiap dia menceritakan apa yang dia lakukan di luar. Padahal semuanya tidak serius, namun hanya candaan belaka.
Seno dengan napas terengah-engah kembali ke meja kerjanya. Mungkin bagi Galih berkata seperti itu hanya untuk mengganggu Seno. Namun bagi Seno sang mata malaikat, semua ucapan Galih terlalu nyata. Seno bisa melihatnya dengan sangat jelas, bahkan dia bisa mewujudkannya dalam bentuk lukisan. Pria itu segera membuatnya, sepuluh menit kemudian kembali masuk ke dalam ruangan Galih. Seno menutup pintu, pria itu berdiri di belakang pintu sambil memegang sehelai kertas.
“Kenapa? Apa ada yang tertinggal di sini?” Tanya Galih seraya mencari sesuatu dari atas meja kerjanya.
Seno melangkah pelan menuju ke arahnya, pria muda itu meletakkan kertas dengan lukisan wanita di atas meja kerjanya. Galih menatap gambar yang ada di sana. Lukisan itu benar-benar sama persis dengan Nyai Ratih. “Cantik Bang?” Tanya Seno seraya mengedipkan sebelah matanya.
“Jangan ngawur kamu! Sudah bawa balik.” Galih mendorong Seno agar segera kembali serta meletakkan lukisan itu dalam genggaman tangan Seno.
“Katanya tadi cantik? Menarik?” Ejek Seno dengan bibir tertawa tertahan. Galih terus mendorong punggung Seno agar segera keluar dari dalam ruangan kerjanya lalu menutup pintu.
Nyai Ratih berjalan sendirian, wanita itu masuk ke jalan sepi untuk menghindari pertemuan dengan manusia lain. Nyai Ratih sudah berubah wujud menjadi nenek-nenek dengan sebuah bakul dalam gendongannya. Wanita itu melihat ke sekitarnya, setelah dia memastikan tidak ada orang Nyai Ratih mempercepat langkah kakinya menuju ke desa. Di desa tersebut, Nyai Ratih memperpelan langkah kakinya. Dia merasakan akan ada seseorang yang datang untuk berbicara dengannya. Ternyata dugaannya benar, tak lama kemudian ada seorang bapak-bapak datang dengan setengah berlari mendekatinya.
“Nyai bisa tolong saya? Istri saya sedang melahirkan.”
“Iya, bisa.” Sahutnya sambil berjalan mengikuti orang itu menuju ke rumahnya. Nyai Ratih masuk ke dalam rumah, dia melihat seorang wanita sedang kesakitan. “Pucuk dicinta ulam pun tiba!” Gumam Nyai Ratih dalam hatinya.
“Ambilkan aku air hangat dan selembar kain.” Perintahnya pada pria tadi.
“Baik Nek.” Pria itu segera ke belakang untuk mengambilkan seember air dan juga sehelai kain. Namun begitu dia kembali masuk ke dalam, dia melihat istrinya pingsan. Tidak ada bayi di sana. Usai membantu melahirkan, Nyai Ratih mengambil bayi tersebut dan pergi.
“Toloooooong! Pencuri bayi! Ada pencuri bayiiii!” Teriak bapak-bapak tadi pada seluruh warga kampung. Orang mulai berdatangan ke sana, mereka berkumpul di kediaman orang yang kehilangan anaknya.
“Apa yang terjadi?” Tanya beberapa orang kepadanya.
“Bayiku dicuri, mereka membawanya pergi.”
Galih mengepalkan tangannya, pria itu bisa merasakan apa yang terjadi di desa tersebut. Harusnya dia tidak ikut campur lagi dalam urusan Nyai Ratih. Akan tetapi dia tidak bisa tinggal diam melihat Nyai Ratih melakukan perbuatan tersebut saat dia mengetahuinya.
Galih melepaskan baju seragamnya, pria itu mengenakan baju biasa serta menutupi sebagian wajahnya. Pria itu keluar dari pintu samping ruangan kerjanya bergegas ke tempat tujuan. Galih berhasil menghadang sosok wanita muda jelita dengan bayi dalam gendongan kedua tangannya di dalam hutan. Nyai Ratih bersiap membawa bayi tersebut ke kediamannya di puncak gunung.
“Kembalikan bayi itu Nyai.” Ujar Galih Arteja padanya.
“Apa kamu kira aku bodoh? Tukar lah bayi ini dengan dirimu! Hiihihihi!” Sahut wanita itu dengan tawa mengikik.
Galih menerjang ke depan, untuk merebutnya tapi gagal.
“Nyai, berikan dengan baik-baik. Atau aku akan mengambil paksa darimu.” Ujarnya seraya berusaha merebut bayi tersebut. Mereka kembali bertikai untuk memperebutkan bayi tersebut. Galih melompat ke atas dia lalu menyambar bayi dalam gendongan Nyai Ratih. Pikir Galih dia sudah berhasil mendapatkannya. Namun setelah dia mendarat ke bawah ternyata itu hanya boneka. Bayi yang sebenarnya sudah dimakan oleh Nyai Ratih.
“Hihihihihi!” Nyai Ratih tertawa keras sekali. Wanita itu segera meniup telapak tangannya, serbuk tersebut mengenai wajah Galih.
“Pyusshhh!”
“Uhuk! Uhuk!” Galih Arteja terbatuk-batuk, pria itu tidak sempat menghindar. Kedua matanya mulai berkunang-kunang. Satu detik berikutnya tubuhnya roboh ke depan. Nyai Ratih segera menangkapnya dan membawanya pergi. Entah kenapa Ki Sarwo tidak muncul saat wanita itu membawanya pergi. Galih terjaga di dalam kediaman Nyai Ratih. Tangan kanan kirinya terikat dan terhubung dengan sandaran dipan di atas kepalanya. Galih meronta agar bisa lepas dari jeratan tali tersebut, namun sepertinya Nyai Ratih sudah memantrai-nya. Nyai Ratih melihat Galih sedang sibuk meronta-ronta. Wanita cantik itu tersenyum sambil berjalan pelan mendekatinya.
“Galih Arteja Wijaya, kamu tidak akan pernah bisa kabur dari sini. Hihihihi!” Nyai Ratih membungkuk di sebelah tempat tidur. Mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Galih Arteja. Pria itu segera menjauhkan wajahnya, namun Nyai Ratih malah menahan kepalanya menggunakan kedua telapak tangannya.
“Mustahil.” Desis Galih Arteja dengan sorot mata tajam. Baru kali ini pria itu terlihat marah sekali, padahal sebelum-sebelumnya dia sangat tenang setiap menghadapi Nyai Ratih atau pun Ananta.
“Kamu milikku..” Bisik wanita itu seraya mendekatkan wajahnya untuk melabuhkan bibirnya. Untaian melati pada rambut wanita itu jatuh mengenai wajah Galih Arteja. Aromanya harum semerbak memenuhi ruangan.
Galih merapalkan mantra agar tidak tersentuh olehnya. “Slaassshhhh!” Tiada terduga sama sekali tubuh Galih lenyap dan berubah menjadi asap.
“Galiiihhhhh!” Jerit Nyai Ratih seraya meremas alas tempat tidur tersebut. Pria itu tersenyum seraya berdiri di sudut ruangan.
“Aku bukan milikmu Nyai, aku milik Sang Pencipta!” Serunya sebelum memutar tubuhnya lalu lenyap dari dalam kediaman Nyai Ratih.
“Tidak! Kamu tidak bisa pergi begitu saja, tidak boleh!” Nyai ratih mulai histeris dia berlari mengejar Galih. Wanita itu mencakar dinding kamarnya dimana sebelumnya Galih berdiri lalu lenyap dari pandangan mata wanita itu.
Ki Sarwo sengaja tidak muncul di sana karena dia yakin Galih bisa mengatasi Nyai Ratih. “Muridku bukan orang sembarangan, kamu lupa dia titisan Guruku?” Seru Ki Sarwo dari kediamannya. Ucapan tersebut dia tujukan untuk Nyai Ratih.
“Galih milikku, aku sangat mencintainya! Dia adalah pria yang aku inginkan! Selama ini aku menjaga diriku untuk Ki Wangsa! Galih akan menggantikan calon suamiku!” Serunya tanpa tanggung-tanggung. Nyai Ratih sangat tergila-gila dengan Ki Wangsa. Baginya Galih Arteja adalah Ki Wangsa.
“Nyai-Nyai, apa kamu tidak lelah mengejar bertahun-tahun? Galih tidak akan bisa kamu miliki Nyai. Tidak akan pernah bisa.” Lanjut Ki Sarwo.
“Kalau aku tidak bisa memilikinya, maka orang lain juga tidak akan aku biarkan untuk memilikinya!” Geram wanita itu padanya.
Galih dalam sekejap tiba di kediamannya. Pria itu tidak kembali ke kantor kepolisian. Dia sudah kembali ke rumah. Galih sangat bersyukur bisa lepas dari jebakan Nyai Ratih.
“Hampir saja!” Gumam pria itu seraya mencuci wajahnya di depan cermin westafel ruang tengah.
Galih melihat ke arah pergelangan tangannya, garis merah begitu jelas melingkar di sana. Pria itu merasa pergelangan tangannya terbakar. Dia meletakkan pergelangan tangannya di bawah pancuran air sambil merapalkan sesuatu. Jeratan tali tersebut mengandung racun yang akan menguasai pembuluh darahnya. Tak hanya pergelangan tangannya yang terasa nyeri tapi perlahan sekujur tubuhnya terasa panas bagai terbakar api.
Galih menahannya, pria itu meremas tepian westafel seraya terus merapalkan mantra. Beberapa detik kemudian dia merasa mual dan memuntahkan isi perutnya. Banyak binatang melata dan beracun keluar dari dalam mulutnya bercampur darah kental. Galih tidak terkejut melihatnya, dia memutar keran kembali untuk menghalau binatang tersebut agar masuk ke dalam saluran air.
“Nyai Ratih menggunakan tenung untuk menahanku.” Gumam pria itu seraya menatap bayangan dirinya di depan cermin. Wajahnya masih terlihat pucat, perutnya juga terasa nyeri dan sakit. Galih menekan perutnya menggunakan kedua telapak tangannya, lalu melangkah menuju tempat tidurnya. Malam itu Galih mimpi buruk, dia melihat Nyai Ratih menahan seorang wanita. Namun dia tidak tahu itu siapa.