“Guru, Galih gagal mencegah Ananta.” Ucap pria itu dengan kepala tertunduk.
“Bukan gagal Le, tapi hanya tertunda saja.” Sahut Ki Sarwo dengan suara lembut seraya menepuk punggung pria tersebut. Galih Arteja mengangkat wajahnya perlahan untuk menatap wajah guru-nya. Ki Sarwo tersenyum lebar, guru-nya tersebut tidak terlihat kecewa sama sekali padanya. Malahan tetap menyemangatinya untuk tidak menyerah. “Aku lihat kamu merasa tidak senang tinggal di kota.” Ki Sarwo bisa menerka yang tergambar pada wajah pria muda tersebut.
“Hanya merasa tidak nyaman saja Guru, Galih terbiasa tinggal di lereng gunung. Akrab dengan ladang dan hutan lalu mendadak harus pindah ke tempat ramai serta bertemu aneka ragam penghuni.”
“Hahahahaha.” Ki Sarwo tergelak mendengar ucapan murid kesayangannya tersebut. “Kamu ada-ada saja, Le. Di sini pun sama, ada aneka macam sifat manusia. Setiap tubuh memiliki sifat dan karakter berbeda.”
“Iya Guru, Galih mengerti. Seharusnya Galih mengabaikan hal itu.” Lanjutnya pada Ki Sarwo.
“Hem..” Ki Sarwo menghela napas panjang. “Kamu belum ingin menikah?” Tanya Ki Sarwo dengan wajah serius.
Galih sangat terkejut mendengar pertanyaan tersebut dari Sang Guru. “Menikah?”
“Iya, menikah. Kamu bukan pertapa sepertiku Le.” Ujarnya pada Galih Arteja.
Galih terdiam, dia tidak bisa menjawab ucapan dari gurunya. Pria itu menunggu Ki Sarwo mengatakan sesuatu padanya.
“Guru, saya..”
Ki sarwo segera mengangkat telapak tangannya, dia tahu Galih ingin bertanya. Bagaimana jika dia memutuskan untuk menjadi seorang pertapa sama seperti dirinya.
Ki Sarwo segera menegaskan padanya. Ikatan darah yang ada pada dirinya, serta garis turun-temurun yang dilalui oleh Galih Arteja.
“Biarkan waktu yang menjawab nanti, Le. Sebentar lagi kamu akan bertemu dengannya, pada saat itu kamu akan mengetahui mana yang terbaik untuk masa depanmu. Aki cuma tidak berharap kalau kamu memutuskan tali turun-temurun dari Guruku Ki Wangsa, yang tidak lain merupakan Kakek buyut mu sendiri. Tali itu akan terus turun temurun, terutama dari darahmu, kamu sudah dipilih olehnya. Berikutnya akan jatuh pada salah satu keturunanmu. Bukan dari Meila, Arya, atau Regar. Aki hanya ingin memberitahukan ini padamu. Ini sangat penting, dan tidak bisa diabaikan begitu saja.”
Galih gemetar mendengar ucapan Ki Sarwo tentang masa depannya, mau tidak mau dia harus menikah. “Galih masih bingung Guru. Galih masih memikirkan Meila, Arya dan Regar. Mereka butuh biaya.”
“Hahahaha. Kamu lupa? Sang Pencipta itu Maha Kaya, Berkuasa! Dan aki yakin hidup kamu tidak akan pernah kekurangan jika sudah menikah.”
“Baiklah, Galih akan menuruti semua yang Guru katakan. Kalau perlu, Guru saja yang mencarikan calon untuk Galih.” Lanjutnya tanpa basa-basi lagi.
“Iya, semuanya memang harus dengan pertimbangan. Wanita yang akan menjadi pendamping mu juga bukan wanita asal-asalan Le. Dia juga sudah dipilihkan untukmu oleh Kakek mu. Ada seorang gadis. Dia merupakan putri dari salah satu keturunan Ayahanda ku. Ki Renggo dengan istri pertamanya Nyai Laraswati.” Ujar Ki Sarwo padanya. Galih terhenyak mendengar pernyataan tersebut. Pria itu hanya bisa menundukkan wajahnya semakin dalam. Ki Sarwo tak henti-hentinya tersenyum melihat wajah Galih mendadak bersemu merah.
“Hahahahaha, kamu gugup Le?”
“Galih hanya cemas, cucu buyut dari Kakek Renggo tidak suka dengan Galih, Guru.”
“Aku bilang pernikahan sudah diatur.” Lanjut Ki Sarwo untuk meredakan kegugupan muridnya tersebut.
“Baik Guru, tapi setelah ini saya boleh ke kota lagi kan? Banyak hal yang belum tuntas kemarin.” Ucapnya dengan hati-hati.
“Tentu saja, boleh. Ini hanya pesan dari Guru, yang Aki sampaikan barusan padamu. Sudah larut, Aki mau balik dulu ke rumah.” Ucap Ki Sarwo seraya turun dari atas dipan.
“Galih antar, mari.” Galih Arteja menyertai guru-nya tersebut dengan sebuah obor sebagai penerang jalan menuju ke kediaman Ki Sarwo.
“Kamu harus lebih waspada dengan Ananta, dan Nyai Ratih.” Ucap Ki Sarwo sambil berjalan pelan di sebelah Galih.
“Siap Guru.” Sahut Galih dengan hormat. Jalan setapak yang harusnya ditempuh empat jam dengan berjalan kaki hanya dilalui mereka berdua dalam waktu sepuluh menit. Galih sudah terbiasa dengan hal-hal luar biasa saat sedang bersama dengan gurunya tersebut. Galih juga tak pernah banyak bicara atau menanyakan ini-itu pada Ki Sarwo. Itu adalah syarat utama saat dia diangkat menjadi murid Ki Sarwo.
“Sudah sampai, kamu mau mampir dulu Le?” Tawarnya sambil tersenyum menatap wajah bersih milik muridnya tersebut.
“Guru istirahat saja. Ini Galih punya sesuatu untuk Guru.” Pria itu mengeluarkan bingkisan yang dia bawa lalu diberikan pada gurunya.
Ki Sarwo menerimanya, “Ini aku terima, karena banyak gunanya.” Sahutnya sambil terkekeh. Padahal yang diberikan Galih padanya hanya sebuah kain dengan corak sederhana, tidak terllau lebar tidak terlalu panjang. Benda tersebut hanya cukup untuk Ki Sarwo duduki saat sedang bermunajat.
“Terima kasih Guru. Kalau begitu Galih pamit dulu.” Ucapnya seraya mencium punggung telapak tangan gurunya. Saat melepaskan telapak tangan Ki Sarwo, Galih segera mengangkat wajahnya. Ternyata pria itu sudah berada di halaman depan kediamannya sendiri. Galih tersenyum penuh arti, Ki Sarwo selalu memberikan banyak kejutan untuknya.
Awalnya Ki Sarwo melakukannya hanya untuk menggoda Galih saat di usia remaja, apakah anak didikannya tersebut akan bertanya padanya dengan hal diluar logika tersebut. Galih hanya diam saja dan terus mengikuti Sang Guru tanpa banyak bicara, atau melayangkan protes. Sejak saat itu Galih lolos dari ujian pertama. Berikutnya Ki Sarwo menyuruhnya untuk menggali batu di puncak gunung, Galih juga tetap melakukannya tanpa mengeluh. Kejutan kedua setiap berhasil mendapatkan satu bakul besar berisi batu saat Galih melangkah satu langkah menuju ke kediaman Ki Sarwo, maka dalam detik itu juga pria itu tiba di sana. Dan setelah menuang batu di pelataran maka dia kembali berada di puncak gunung. Galih sudah melihat bakul besar satunya ternyata sudah terisi penuh di puncak gunung. Lain halnya dengan Arya, pria itu harus bersusah payah naik turun gunung lantaran sejak awal sudah protes kalau itu adalah tugas yang sangat berat untuknya. Dia merasa tidak rela mendapatkan perintah tersebut.
“Ini berat Ki, ini sangat melelahkan dan berat untuk Arya.” Protesnya pada Ki Sarwo.
“Iya, ini memang berat.” Ki Sarwo tersenyum melihat wajah masam murid keduanya tersebut. Dia sengaja mengutamakan melatih ilmu kanuragan khusus untuk Arya Sapta Wijaya. Ki Sarwo tidak asal-asalan saat memutuskan hal tersebut. Ki Sarwo tahu mana yang terbaik untuk masing-masing muridnya berdasarkan takaran yang diketahuinya pada setiap muridnya. Mereka memiliki keunggulan tersendiri.
Yang dilihat selalu mendapatkan semua hal lebih mudah namun ternyata mengemban tugas yang sangat berat, yaitu Galih Arteja Wijaya. Arya Sapta Wijaya sangat lihai dalam pertempuran dan adu kekuatan, menyusun taktik penyerangan. Regar sangat ahli dalam menghafal setiap ilmu mantra yang diberikan oleh Ki sarwo. Sementara Meila memiliki sisi lembut dan gadis itu suatu hari nanti akan memiliki banyak murid, gadis itu sangat telaten dan juga penyabar.
Galih Arteja memiliki ketiganya, pria itu juga akan memiliki banyak murid di padepokan yang akan dibinanya suatu saat nanti setelah menikah. Ki Sarwo sudah melihat gambaran jelas dari masing-masing muridnya.
Galih masuk ke dalam rumah, pria itu berjalan pelan agar tidak membangunkan ketiga adiknya. Galih menuang air dari dalam kendi ke dalam gelas bambu, setelah meneguknya pria itu segera menuju ke dalam kamarnya.
Hari demi hari berganti. Waktu berlalu begitu cepat, apa yang ada dalam pandangan Ki Sarwo terbukti benar. Meila dan Regar sudah lulus sekolah, mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu juga halnya Arya, Arya terjun ke dalam dunia militer. Meila Trisnawati menempuh pendidikan untuk menjadi seorang pengajar. Sementara Regar yang sangat pandai mengingat masuk di dalam dunia kedokteran. Mereka menempuh ke jenjang yang lebih tinggi dengan bantuan beasiswa.
Ki Sarwo menceritakan segalanya kepada Galih sejak jauh hari tentang keahlian ketiga adiknya. Semua ilmu yang Ki Sarwo ajarkan benar-benar dirasakan sangat berarti oleh ketiga adiknya. Yang awalnya mereka terkadang protes dan merasa Ki Sarwo pilih kasih karena Galih tidak melakukan apa yang mereka lakukan. Namun kini protes tersebut sudah terjawab dengan sendirinya kalau ternyata semua yang diajarkan oleh Ki Sarwo sudah tersusun dan memiliki perhitungan sempurna untuk masa depan mereka bertiga.
Hari ini adalah hari kelulusan Meila, Regar, dan Arya. Tiga adik Galih Arteja tersebut sedang berkumpul bersama. Galih dan Ki Sarwo datang di acara itu untuk memberikan selamat pada mereka.
“Guruuuuuuuuuu!” Ketiga adik Galih segera menyerbu Ki Sarwo sambil menangis tersedu-sedu. Mereka memeluknya sangat erat. Galih ingin meredakan keributan tersebut, tapi Ki Sarwo melambaikan tangannya pada Galih Arteja untuk tidak menyela. Galih tersenyum sambil mengangguk patuh pada gurunya.
“Sudah, kalian ini sudah dewasa. Kalian harus semangat dan terus berjuang untuk melanjutkan cita-cita kalian. Jalan berbelok, terjal, naik-turun, berbatu, dan lainnya akan menghadang setiap tujuan. Ingat pesan aki pada kalian.”
“Siap Aki! Meila akan tetap semangat.”
“Regar juga akan tetap semangat!”
“Arya juga!”
Galih menggelengkan kepala sambil mengulum senyum melihat ketiga adiknya seolah seperti pasukan khusus yang patuh pada atasan.
Galih sendiri, pria itu masuk di dunia penyelidikan dalam anggota kepolisian. Sejak dia berhasil mengungkap pelaku kejahatan di berbagai tempat dengan penyamarannya pria itu di sebut dengan julukan The Tiger. Macan yang disebut-sebut sudah muncul, dan banyak pelaku kejahatan berhasil dia taklukkan.
Nyai Ratih masih sering mendatanginya, wanita itu menjadi penghalang pertemuannya dengan Antika Dewi. Wanita yang akan dijodohkan dengannya. Antika Dewi adalah seorang pengajar di sebuah kampus. Galih dan Antika belum dipertemukan, Galih sendiri dari hari ke hari semakin sibuk di departemen penyelidikan di kantornya. Pria itu lupa dengan hal penting tersebut.
Ananta tetap bekerja di pabrik, Galih berhasil meringkus agen yang selama ini menyalurkan bayi untuk dijual kepada Ananta. Rumah megah dengan pagar tinggi serta klinik yang sering Galih datangi untuk mengantarkan barang, ternyata merupakan klinik untuk aborsi. Dari sana lah Ananta mendapatkan bayi yang baru lahir serta janin segar.
Ananta tidak diserang secara langsung, tapi Galih menggunakan cara lain untuk membuat wanita itu kesulitan mendapatkan seserahan dengan tujuan memperlambat wanita itu agar tidak bisa meningkatkan kekuatan ilmu hitam yang dituntut-nya.
Ananta tidak mau tinggal diam, wanita itu melakukan serangan balik dengan cara menyabotase setiap kasus yang akan ditangani oleh Galih. Wanita itu membubarkan sekumpulan penjahat sebelum polisi datang menyergap. Terkadang membebaskan borgol mereka hingga membuat pelaku kabur dari tahanan. Hal serupa sering terjadi, dan Galih selalu memiliki cara sendiri untuk melawan Ananta.
“Inspektur, ini data beberapa orang yang kemungkinan besar salah satu di antara mereka berhubungan dengan kasus ini.” Lapor salah seorang bawahannya.
“Kamu langsung mendatanginya?” Galih menyeringai lebar, lantaran asisten khusus tersebut tak lain adalah Seno.
“Bang, jangan buka kartu di sini.” Seno meremas tepian meja kerja Galih Arteja. Wajah pemuda itu mulai terlihat panik karena pertanyaan yang ditujukan padanya dalam bahasa tidak formal.
“Iya, aku kemarin ke sana. Tapi aku melihat mereka bertiga ternyata kerjasama untuk membunuh korbannya.” Lanjut Seno pada Galih.
“Apa aku perlu memberikan gambaran lebih rinci lagi?” Tawar Seno padanya, Seno pandai sekali melukis wajah pelaku dalam ingatannya. Jemarinya bergerak dengan mata terpejam di atas kertas. Desain tempat yang dia lukis sama persis dengan lokasi kejadian. Dan banyak anggota kepolisian yang lain sangat mengagumi keahlian Seno dalam menggambarkan semuanya. Segalanya begitu tepat dan tidak meleset sama sekali. Mereka menjulukinya dengan Si mata malaikat!
“Tidak perlu. Aku sudah melihat semuanya.” Lanjut Galih pria itu tidak mengatakannya secara langsung kepada Seno kemana para pasukannya akan melakukan penyergapan lantaran Ananta akan mendahului mereka. Galih tahu ada salah satu dari anggota-nya yang menjadi mata-mata Ananta. Karena hal itu dia tidak lagi menunjukkan secara langsung pada mereka, malahan yang dia katakan adalah kebalikannya. Dengan cara begitu maka secara tidak langsung dia sudah menghukum Ananta.
Di sisi lain, sudah empat kali misi Ananta gagal untuk menghalangi pekerjaan Galih Arteja. Wanita itu sangat geram sekali, tak hanya lokasi yang sangat jauh. Tapi Galih dengan sengaja membuatnya terdampar di tengah kapal yang sedang berlayar menuju pulau seberang.
“Galiiiihhhh Artejaaaaaaa!” Teriakan wanita itu menggema di tengah samudera.
“Ah, dasar! Telingaku, astaga! Hahahahaha!” Galih mengorek lubang telinganya sendiri sambil tertawa terpingkal-pingkal. Seno yang sedang menggenggam berkas hanya bisa menggelengkan kepala dengan prihatin. Sudah biasa dia melihat Galih hampir setiap hari berperilaku aneh. Mengatakan kalau pasukannya harus ke lokasi A, lalu di seperempat jalan segera mengubah tujuan ke lokasi Z! Jarang sekali pria itu mengatakan yang sebenarnya pada perintah pertama.
“Sebenarnya siapa yang sedang dikacaukan oleh Bang Galih?” Gumam Seno sambil berlalu, pria itu batal menyerahkan berkas tersebut padanya.
“Seno?” Panggil Galih sambil mengulum senyum seraya membuka telapak tangan kananya. Tentu saja isyarat tersebut dimaksudkan untuk meminta berkas dari genggaman tangan Seno.
“Bang? Sehat?” Seno menyentuh kening Galih menggunakan punggung telapak tangan kanannya.
“Sehat, kamu mau aku bagi tahu? Ini tentang seekor kucing yang rakus dan selalu ingin mencakar wajahku? Dia sangat kuat sekali! Hahahahaha!”
“Lupakan saja Bang, Seno baru dua puluh tiga tahun.” Ujar pria muda tersebut sambil berlalu pergi darinya. Seno segera tahu kalau kucing yang disebut Galih merupakan ibarat dari sosok seorang wanita atau seorang gadis. “Kebanyakan kucing jadi sinting!” Sindir Seno, lalu segera kabur secepat kilat keluar dari dalam ruangan sebelum Galih menggebrak meja kerjanya.
“Senooooo!”