Ch-17 Kembali, atau jatuh!

2110 Words
Galih melakukan pekerjaannya sebagai pengantar barang seperti biasa. Pria itu sudah menyelesaikannya tepat saat waktu hampir bergulir ke senja. Pekerjaannya membuat pria itu harus bertatap muka dengan beberapa orang silih berganti. Namun, tetap saja dia masih menjadi seorang yang tidak banyak bicara jika bukan karena hal penting. Sepertinya menjadi sosok pendiam adalah ciri khas dari Galih Arteja. Usai dari kantor, Galih segera menuju ke kediaman Ananta. Pria itu menekan tombol bel di luar pagar rumah megah milik mantan ceo-nya tersebut. Gerbang dibuka tapi Ananta tidak mengijinkan Galih masuk ke dalam rumah. “Kenapa kamu ke sini?” Tanya Ananta seraya berdiri di ambang pintu rumahnya. Galih tidak bicara sama sekali, pria itu hanya menyodorkan kotak ponsel di dalam plastik padanya. Ananta tak kunjung menerimanya. Galih segera meletakan benda tersebut di atas kursi beranda lalu pergi menuju ke pintu gerbang. Ananta masih mematung di tempatnya berdiri. Wanita itu hanya bisa menatap kesal ke arah punggung Galih Arteja yang tengah berlalu dari kediamannya. Melihat baju yang dikenakan Galih, Ananta tahu kalau pria itu bekerja sebagai pengantar barang saat ini. Semalam Ananta mendapat teguran dari Nyai Ratih tentang Galih yang pergi meninggalkan pabrik. Ananta bicara apa adanya pada gurunya tersebut. Kalau Galih meninggalkan pabrik lantaran pria itu memilih mengundurkan diri dari pabrik, bukan karena dipecat olehnya. Beruntung Nyai Ratih tidak memarahinya. Galih sedang dalam perjalanan menuju ke tempat kontrakan, kebetulan dia melewati hutan untuk menuju ke sana karena tempat tinggal Ananta dengan kota yang dia tempati berjarak lumayan jauh. Suasana begitu hening, waktu sudah hampir gelap. Pria itu terus melaju menggunakan motornya mengabaikan suasana sunyi di sekelilingnya. Ada beberapa binatang melintas di jalan yang dia lalui untuk mencari tempat berlindung karena hari sudah gelap. Galih tiba di rumah kontrakannya saat hari sudah gelap. Pria itu memarkirkan motornya di halaman depan lalu masuk ke dalam melalui pintu belakang. “Bang Galih, tumben telat pulangnya, tadi ngantar ke tempat yang jauh ya?” Tegur Anton saat melihat pria itu melintas setelah membersihkan tubuhnya dari dalam kamar mandi. Galih masih mengeringkan rambutnya, pria itu mengenakan kaos biasa serta celana panjang. Ikat kepala miliknya tergantung pada bahu kanannya. “Tadi ada urusan sedikit.” Sahutnya seraya masuk ke dalam kamar. “Bang, tunggu.” Anton menghentikan Galih agar tidak terburu-buru masuk ke dalam kamar. Galih terhenti lalu menoleh kembali ke arahnya. Pria itu menunggu Anton melanjutkan perkataannya. “Itu tadi, ada yang mencari Abang ke sini.” Lanjut Anton padanya. Galih mengernyitkan keningnya dia tidak mengerti siapa yang mencarinya hari ini. “Siapa?” “Dia tidak bilang Bang, dia hanya berpesan kalau ingin bertemu dengan Bang Galih di warung depan pabrik.” Ujar Anton. “Laki-laki?” Tanya Galih lagi. “Iya laki-laki Bang.” Anton bersiap pergi, Galih segera menahannya. “Tunggu, jam berapa?” “Nggak tahu Bang, dia tidak bilang.” Ujarnya sambil berlalu. Galih mengabaikan pesan tersebut, informasinya tidak jelas.Yang mengajaknya bertemu juga tidak bilang siapa namanya. Galih menduga itu adalah Andi. Hanya Andi yang sering berbincang dengannya saat berada di pabrik. Satu hari lagi Galih berniat kembali ke kampung halaman, tinggal esok hari jadwalnya bekerja. Pria itu masuk ke dalam kamar, lalu duduk di tepi tempat tidur. Galih masih mengeringkan rambutnya menggunakan sehelai handuk. Pria itu masih ingat dengan apa yang dia lakukan saat melangkah masuk melewati halaman rumah Ananta. Galih tidak menanamkan sesuatu tapi dia menjatuhkan sesuatu dengan sengaja. Itulah tujuan pria itu datang ke sana, menjalankan misi dari Ki Sarwo. Ananta sudah bersiap tidur, wanita itu merasakan ada yang salah dengan tenggorokannya. “Kenapa aku merasa haus sekali?” Tanyanya dalam hati sambil menyentuh lehernya. Ananta segera bangun dari atas tempat tidur lalu menuju ke dapur, wanita itu melewati taman kaca yang ada di dalam kediamannya. Ananta terkejut bunga yang diberikan Nyai Ratih daunnya seakan layu. Ananta segera mendekatinya untuk memeriksa. “Apa yang terjadi dengan bunga ini? Kenapa layu begini?” Ananta bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Wanita itu segera memeriksa air yang dia gunakan untuk menyiram, tapi semuanya baik-baik saja. “Jika begini, maka habislah aku.” Keluh wanita itu seraya menggaruk lehernya hingga kulitnya lecet akibat terkena kuku tangannya yang mulai menajam. Tubuhnya berubah menjadi semakin mengerikan seiring dengan bunga yang sudah mengering. “Nyai Ratiih! Tolong selamatkan aku!” Teriaknya pada gurunya, Ananta masih berada di dalam taman kaca miliknya. Wanita itu menggeliat berguling-guling, meraung merasakan sakit di sekujur tubuhnya. “Hihihihihi! Aku sudah berpesan padamu untuk menjaga bunga itu dengan baik! Inilah akibatnya Ananta.” Sahut Nyai Ratih dari dalam pondoknya tanpa beranjak dari tempat duduknya. Nyai Ratih sama sekali tidak prihatin melihat keadaan murid-nya yang tengah sekarat. “Kamu juga menentang dan tetap mendekati Galih. Aku sudah memperingatkannya padamu kalau dia adalah lawanku. Bukan lawanmu, dia milikku! Hihihihihi.” “Guru, selamatkan aku, uhuk! Uhuk! Selamatkan aku, aku janji akan lebih berbakti lagi padamu Guru. Aku mohon, berikan aku kesempatan ke dua.” Ananta memelas sambil menekan lehernya sendiri yang terasa semakin lama semakin sempit. Kulit pada tubuhnya semakin menyusut dan keriput berubah menjadi wanita tua. “Hmmm.” Nyai Ratih menutup kedua matanya, lalu menaburkan sesuatu pada dupa yang menyala di depannya. Asap membumbung tinggi, menuju ke kediaman Ananta. Ananta bisa bernapas kembali, tapi tubuhnya sama sekali tidak bisa berubah seperti sedia kala. Wanita itu gugup dan bingun. “Guru, kenapa wajahku berubah begini? Aku ingin wajahku kembali guru!” Ucapnya pada Nyai Ratih. “Berat, kamu harus mengumpulkan lima bayi untuk menghidupkan bunga itu kembali. Dan Galih Arteja sudah mengetahui identitas mu yang sebenarnya. Kali ini kamu harus menghadapinya meski dengan mempertaruhkan nyawamu sendiri Ananta.” Ujar Nyai Ratih padanya. Ananta sangat menyesal karena sudah tidak mematuhi perintah Nyai Ratih. Akibatnya dia terkena imbasnya serta hampir meregang nyawa dari tindakannya kemarin-kemarin. Ananta merangkak menuju dinding, wanita itu berpegangan pada dinding untuk bisa berjalan dengan baik. Darah bayi yang masih suci yang akan bisa membuatnya menjadi wanita muda seperti sediakala. Ananta segera mengirim pesan pada seseorang yang selama ini memberikan bayi padanya, Ananta menjanjikan harga yang lebih besar untuk mendapatkannya. Keesokan harinya, bayi tersebut dikirimkan oleh beberapa orang ke kediaman Ananta. Malam itu Galih sudah berjaga kalau akan ada hal besar yang terjadi pada malam itu. Hujan turun dengan sangat deras sekali, Galih keluar dari dalam rumah masuk ke tengah hujan. Pria itu merapatkan ikat kepalanya sambil terus berjalan. Petir menggelegar, menyambar sana-sini. Beberapa pohon tumbang menghalangi arus lalu-lintas jalan. Galih merasakan energi yang sangat kuat dari tempat yang agak jauh dari kota tempat ia tinggal. “Apakah yang aku tinggalkan kemarin sudah berhasil masuk ke dalam?” Galih bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Pria itu segera berlari secepat kilat menuju ke arah kilasan cahaya merah dari gunung ke kediaman Ananta. Galih berdiri di antaranya, kilasan warna merah tersebut melewati udara di atas hutan antara kota yang dia lalui kemarin. Galih menjejakkan kakinya di tanah lalu melesat ke atas. Pria itu memutuskan kilasan cahaya tersebut menggunakan bilah bambunya. Cahaya merah terputus, serempak tubuh Ananta dan Nyai Ratih sama-sama terpental jatuh menabrak dinding. Upacara tersebut hampir usai, mayat bayi tergeletak di depan Ananta dengan taburan bunga. Satu-persatu mayat itu lenyap berubah menjadi asap. Galih datang terlambat! Meskipun Ananta terkena luka dalam, tapi wanita itu sudah bisa kembali muda seperti sediakala. Ananta kali ini tidak segan lagi untuk menyerang Galih Arteja secara langsung. Ananta keluar dari dalam kediamannya. Ananta berdiri tegak di tengah hujan deras. Wanita itu menunggu kedatangan Galih Arteja. Ananta tahu siapa yang telah memutuskan kilas semburat merah yang menghubungkan antara dirinya dengan Nyai Ratih. “Kamu terlambat kali ini Bang. Pulang saja daripada jatuh tersungkur di tengah jalan.” Seno berlari kecil sambil memainkan ranting pohon dalam genggaman tangan kanannya. Anak itu melintas tepat di depan Galih menuju ke arah berlawanan dengannya. Galih segera memutar tubuhnya, pria itu melihat bayangan pria tua yang kemarin-kemarin dia lihat seolah Seno sengaja datang untuk menahannya agar dia tidak melanjutkan langkah kakinya menuju kediaman Ananta. Ucapan Seno membuat Galih tersenyum, pria itu membatalkan niatnya lalu bergegas kembali ke rumah kontrakannya. Jatuh tersungkur di tengah jalan berarti belum sampai mendapatkan apa yang menjadi tujuannya ada hal lain yang membuat dirinya terluka, terjebak atau hal buruk lain sudah menunggunya di sana. “Pria itu sudah berputar arah!” Geram Ananta pada dirinya sendiri seraya mengepalkan kedua tangannya. Wanita itu sudah merencanakan beberapa hal untuk menyambut kedatangan Galih. Namun di tidak bisa melakukannya hari ini. Ananta akan menundanya di lain hari, Ananta sangat dendam dengan tindakan Galih terhadap dirinya. Pria itu tidak hanya ikut campur dengan kehidupan pribadinya namun juga dengan terang-terangan menentang semua yang dia lakukan. Di sisi lain, Nyai Ratih juga sudah bersiap untuk menunggu kedatangannya. Namun Galih ternyata tidak datang ke kediamannya. Pikirnya Galih akan menyerangnya malam itu juga. Ternyata dugaannya keliru, Galih malah kembali pulang ke kontrakannya. Keesokan harinya Galih sedang berdiri di tepi jalan raya untuk menghentikan bus. Pria itu berniat pergi ke kampung halaman untuk menjenguk ketiga adiknya seperti niatnya beberapa hari kemarin. Sekitar tiga puluh menit dia berdiri di sana, sebuah bus yang biasa menuju jalan dekat desa kampung halamannya terlihat sedang melaju dari kejauhan menuju ke arahnya. Galih segera melambaikan tangannya. Bus berhenti, pria itu segera melangkah masuk ke dalam. Dalam benaknya terlukis wajah ketiga adiknya sedang tersenyum menatap ke arahnya. Akhir pekan, Galih yakin mereka bertiga baik-baik saja di di dalam kediamannya. Beberapa jam berlalu, dia baru tiba di tempat tujuan. Bus berhenti di jalan besar kaki gunung. Galih menenteng sebuah ransel dan turun dari dalam bus. Pria itu melangkah meniti jalan setapak menuju tempat tinggalnya. Pepohonan besar di kiri-kanan jalan tertiup angin, dedaunan kering berjatuhan menimpa atas kepalanya, turun berserakan di bawah kedua kakinya. Ujung ikat kepalanya melambai tertiup angin. Di tengah jalan, pria itu melihat Seno sedang berdiri tegak tak goyah sama sekali karena hempasan angin, seakan anak itu berdiri di sana untuk menyambut kedatangannya kembali di kampung halaman. “Ada apa dengan Seno?” Galih bertanya-tanya dalam hatinya. Pria itu melangkah semakin dekat karena Seno berdiri di tengah jalan yang akan dia lalui saat menuju ke rumah. Seno menatapnya dengan tatapan tajam, saat Galih sudah dekat anak itu segera mengukir senyum riang. “Bang Galih!” Seno berlari menghambur memeluk pinggangnya. Galih menepuk punggungnya perlahan. Anak itu tinggal dalam pelukan kedua lengannya. “Wah kamu sudah tinggi sekarang.” Ujar Galih seraya menyentuh puncak kepalanya. “Bang Galih kenapa lama sekali tidak kembali ke rumah? Abang pergi ke mana selama ini?” Tanya anak itu seraya menemani Galih berjalan di sebelah pria tersebut menuju ke rumah. “Kerja Sen, di kota.” Jawabnya pada Seno. “Ladang dan ternak?” Tanya Seno, karena selama ini yang dia tahu Galih dan ketiga adiknya mengelola ternak dan ladang di desa. Pikir anak itu Galih ke kota juga mengurus ladang juga ternak sama seperti di desa. “Bukan, Abang di kota kerja ngantar barang.” Sahutnya seraya mengusap kepala anak tersebut. Galih tahu setiap Seno muncul tiba-tiba di kota, itu berada di luar kendali anak itu. Kali ini Galih tidak melihat sosok yang menyertai Seno. Anak itu sendiri murni datang menjemputnya di dekat jalan besar. “Bang, surau di dekat rumah Bang Galih semakin ramai.” Celotehnya tiba-tiba. “Banyak yang datang dari tempat yang jauh.” Lanjut Seno. Galih hanya menganggukkan kepala tanpa berkomentar sama sekali. Yang diceritakan Seno padanya adalah surau yang sudah hancur tinggal puing-puing di atas aliran sungai. “Kamu bagaimana tahu Abang kembali hari ini?” Tanya Galih dengan sengaja. “Seno mendengar langkah kaki Bang Galih.” Sahut anak itu sambil menoleh ke arahnya. Saat mereka tiba di kediaman Galih, Arya, Meila, Regar, serta Ki Sarwo sudah duduk di beranda rumahnya. Melihat Galih datang, mereka segera berdiri dan turun dari atas dipan. Meila lebih dulu menghambur memeluknya. “Bang Galih! Meila kangen!” Serunya pada kakak sulungnya tersebut. Galih menoleh ke kanan, pikirnya Seno masih berada di sebelahnya. Ternyata anak itu sudah tidak ada di sana. Setelah melepas rindu dengan Galih, ketiga adiknya bergegas masuk ke dalam rumah karena hari semakin larut. Kini tinggal Ki Sarwo dengan dirinya duduk di atas dipan di beranda rumah tersebut. “Anak itu tidak berada dalam jangkauan.” Ujar guru-nya tersebut seraya menepuk bahu kanan Galih Arteja, seolah Ki Sarwo tahu apa yang sedang dipikirkan Galih. Seno tidak memiliki hubungan darah dengan dirinya. Tapi anak itu memiliki kemiripan dengan masa kecilnya. Ki Sarwo tersenyum melihat Galih nampaknya mengerti dengan maksud dari ucapannya beberapa menit lalu. Pria yang sudah lanjut usia tersebut masih terlihat kuat dan bijaksana. Aura yang terpancar dari raut wajah beliau membuat rasa teduh pada hati Galih Arteja setiap memandangnya. Galih terkadang bertanya-tanya dengan aneka ragam kejadian di luar logika. Terlebih lagi dengan segala hal yang dia lalui selama ini, tapi semuanya bisa dia redam dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD