Bab 8. Tawaran Dari Arkan

1282 Words
“Enak aja!” Audri kembali melayangkan tinju mungilnya ke lengan Aslan. “Tiga kali,” ucap Aslan dengan seringai tipis. “Apanya yang tiga kali?” Audri menyahut bingung. “Kamu udah mukul aku sebanyak tiga kali dan aku belum membalas sama sekali.” Seringai di bibir Aslan terlihat semakin lebar. “Ya ampun, Om.” Audri membuat ekspresi terkejut yang berlebihan. “Masa Om mau ngebales aku yang badannya bahkan cuma setengah dari badan Om? Ckckck, Om benar-benar pendendam.” Tawa Aslan memenuhi ruangan sempit di dalam mobil itu. Semakin hari, ia semakin merasa terhibur dengan semua tingkah Audri. Mulutnya yang ceplas-ceplos, ekspresinya yang beragam, benar-benar warna baru bagi hidup Aslan yang monoton. Tanpa ia sadari, perlahan-lahan kehadiran Audri menjadi candu baginya. “Nggak ada hubungannya sama badanmu, bodoh. Aku akan tetap membalasmu karena sudah memukulku sebanyak tiga kali.” Aslan berkata sambil melirik Audri sekilas. Wajahnya terlihat cerah dibandingkan dengan ucapannya yang masih kasar. Audri membulatkan matanya lebar-lebar. “Pukulanku bahkan nggak akan berasa apa-apa di badan Om yang kayak batu itu,” ucapnya sarkas. “Apa katamu? Kayak batu?” “Iya, kayak batu. Keras banget kayak batu.” Aslan kembali tertawa, ia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar analogi yang dibuat oleh Audri. “Kau benar-benar,” lirihnya sambil terus fokus menyetir. Hening beberapa saat sebelum Aslan kembali bertanya. “Jadi gimana soal tawaranku?” Mereka sudah semakin dekat dengan kediaman keluarga Wirabuana. Mobil hitam Aslan sudah memasuki kompleks perumahan elit di pusat kota Jakarta. Mengarah pada sebuah rumah mewah dengan dua pohon palem di halamannya. Audri melirik Aslan dan mendapati wajah pria itu sedikit mengeras. Maka ia memutuskan untuk menunda jawabannya. “Nanti aku pikirkan lagi.” Aslan mengangguk. Dalam keadaan normal, pria itu akan terus mendesak Audri untuk memberi jawaban. Namun saat ini, saat mobil mereka telah berhenti sempurna di depan sebuah rumah tiga lantai bercat putih, satu-satunya fokus Aslan hanyalah perasaan kesalnya yang memuncak tiba-tiba. Audri menyadari perubahan raut wajah suaminya. Binar ceria yang sejak berangkat tadi menghiasi wajah sangar itu sirna seluruhnya, berganti menjadi ekspresi gelap dan kaku yang nyata. Bahkan Aslan sama sekali belum beranjak dari kursi meski mesin mobilnya sudah mati sejak tadi. “Nggak turun, Om?” tanya Audri pelan. Sebuah helaan nafas kasar lepas dari mulut Aslan. Tanpa banyak bicara, pria itu segera turun dari mobil. Audri buru-buru menyusul. Sepasang suami istri yang usia mereka terpaut lima belas tahun itu berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Seorang pria menyambut mereka. Hamdan, asisten pribadi papa Aslan itu menyambut sopan. “Selamat datang, Mas Aslan dan–” “Audri,” potong Audri cepat. “Panggil Audri aja.” Hamdan mengangguk sopan. “Baik. Selamat datang, Mas Aslan dan Audri. Bapak sudah menunggu di dalam.” Aslan menarik nafas panjang dan mengangguk, segera menggandeng tangan Audri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Gestur remeh itu rupanya ditangkap oleh mata jeli Hamdan. Pria yang usianya hanya dua tahun lebih tua dari Aslan itu tersenyum tipis saat melihat Aslan tetap menggandeng tangan Audri hingga masuk ke dalam rumah. Mereka segera menuju ruang makan, Aslan bahkan tak merasa perlu menyapa neneknya yang menempati salah satu bangunan khusus di belakang rumah besar ini. “Selamat malam, Pa.” Aslan menyapa seorang pria lewat separuh abad yang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Chandrakanta Wirabuana, komisaris utama Wirabuana Architect sekaligus ayah dari si kembar Aslan dan Arkan. Pria yang masih terlihat menakutkan meski wajahnya telah dipenuhi kerutan dan rambutnya hampir seluruhnya memutih itu kini menatap Aslan tajam. “Malam,” balasnya pendek. “Duduklah.” Audri merinding mendengar suara berat itu, dan selalu begitu sejak ia pertama kali bertemu dengan Chandra ketika pesta pernikahannya dengan Aslan beberapa waktu lalu. Aslan mengangguk, kembali menggandeng tangan Audri untuk duduk di salah satu kursi kosong. Sama halnya seperti Hamdan, Chandra juga memperhatikan gestur kecil itu. Sebelah alisnya terangkat ketika mendapati tangan Aslan terus menggenggam tangan mungil Audri bahkan hingga mereka duduk bersebelahan di meja makan. Arkan yang juga sudah duduk di salah satu kursi itu tersenyum ramah pada Audri ketika tatapan mereka bersirobok. Membuat Aslan semakin mengeratkan genggamannya pada tangan sang istri. Seolah khawatir Audri akan lepas jika ia melepasnya atau melonggarkannya sedetik saja. “Jadi, kenapa Papa mengundang kami datang ke sini?” tanya Aslan tanpa basa-basi ketika hidangan makan malam mulai disajikan. “Minggu depan adalah perayaan ulang tahun nenekmu.” Chandra menjawab lugas. “Eh? Masih ada nenek?” Audri bertanya ceplas-ceplos. Membuat semua orang di ruangan itu menoleh padanya. Aslan mendengus pelan. “Iya, masih. Wanita itu panjang umur sekali,” selorohnya. Audri mendelik saat mendengar kalimat bernada mengejek dan menyenggol lengan Aslan pelan. “Tapi kok nggak ikut makan malam?” “Sudah sepuh, sudah nggak bisa ikut makan malam di sini,” ucap Aslan asal. “Beliau tinggal di bangunan yang berbeda dengan kami.” Arkan menjawab dengan lebih baik. “Tapi beliau nggak sendirian kok, ada perawat dan pelayan yang menemani nenek selama dua puluh empat jam.” Audri mengangguk-angguk, meski ia meringis dalam hati membayangkan seorang wanita sepuh tinggal bersama orang-orang asing di bangunan yang berbeda dengan anak dan cucunya. “Kalian harus datang saat pesta ulang tahun nenek kalian minggu depan. Kau bisa, Aslan?” Chandra kembali bersuara. “Kapan? Di mana? Jam berapa?” “Di rumah ini, minggu depan hari Sabtu jam tujuh malam. Datanglah, ini permintaan nenekmu.” Aslan terdiam sejenak, berpikir. Hingga kemudian ia mengangguk dan menoleh pada Audri. “Kamu juga harus datang.” “Iyalah, orang aku istri Om, gimana ceritanya aku nggak datang?” sahut Audri cepat. Membuat seringai di bibir Aslan terbit begitu saja. Sementara Chandra hanya bisa menaikkan sebelah alisnya, sedikit terkejut dengan interaksi putra dan menantunya. *** Audri sedang berdiri menikmati pemandangan taman di depan rumah Chandra sambil menunggu Aslan selesai mengobrol dengan papanya ketika Arkan tiba-tiba muncul. “Hei, lagi apa?” Audri menoleh dan tersenyum. “Gabut,” jawabnya pendek. Arkan tertawa pelan. Tiba-tiba, sebuah ide terbersit di kepalanya. “Mau aku ajak jalan-jalan keliling rumah? Ada satu ruangan yang pasti menarik banget buat kamu.” Kedua mata Audri berbinar seketika. “Oh ya? Ruangan apa?” Senyum di bibir Arkan tampak semakin lebar. “Ayo ikut aja.” Audri mengangguk dan segera mengekor Arkan yang mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Pria itu menjelaskan secara singkat beberapa ruangan yang penting di dalam rumah besar itu. Termasuk kamar Aslan yang sudah lama tak ditempati namun selalu dibersihkan setiap hari. Mereka turun ke lantai dasar dan berjalan ke belakang tangga, memasuki sebuah ruangan yang tersembunyi hampir ke bagian belakang rumah, menghadap langsung ke taman belakang rumah. Arkan membuka ruangan itu, tersenyum dan menyalakan lampu. Seketika saja, sebuah pemandangan dapur mewah dengan segala perlengkapannya menyapa mata Audri. “Wah….” Hanya itu yang keluar dari mulut Audri. Pasalnya, dapur ini adalah dapur impiannya. Semua perlengkapan ada, desain interiornya klasik namun ergonomis. Tempatnya luas sehingga membuat siapapun yang sedang berkreasi di sana pastilah sangat mudah bergerak ke sana kemari. “Apa aku bilang, kamu pasti suka,” ucap Arkan dengan nada sedikit sombong saat melihat ekspresi Audri yang berbinar. Mau tak mau, Audri mengangguk dan tertawa pelan. “Iya. Wah, ini sih dapur impian,” komentarnya. “Betul. Ini dapur impian.” Audri menoleh pada adik iparnya itu. “Tapi… siapa yang pakai dapur ini? Kelihatan jarang dipakai gini.” Ia mulai berjalan menyusuri meja dapur, meraba permukaannya yang bersih dan licin. “Aku.” Jawaban Arkan membuat Audri menoleh dan menatapnya tak percaya. “Siapa?” Arkan terkekeh pelan, menyusuri langkah Audri. “Aku yang pakai, Audri. Kita… punya hobi yang sama. Mau bikin kue bareng kapan-kapan? Di dapur ini dan kamu bebas pakai semua fasilitas yang ada di sini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD