“Audri, sini!” panggil Arkan saat kuliah tamu itu selesai.
Audri menatap Naura sekilas. “Lo duluan, deh. Gue ke sana dulu, ya?” bisiknya.
Naura mengangguk. “Gue tunggu di kantin.”
Audri balas mengangguk dan melambaikan tangannya pada Naura yang sudah berlalu meninggalkannya. Kemudian ia berbalik dan menghampiri Arkan yang berdiri di dekat pintu aula.
“Maaf, nggak tahu kalau kamu yang jadi dosen tamunya,” ucap Audri canggung.
Arkan tertawa pelan. “Kok bisa? Nggak baca pengumuman?”
“Mana sempat? Pengumumannya aja baru disebar tadi pagi jam enam.” Audri menggerutu pelan.
Tawa pelan Arkan kembali terdengar. “Maaf, emang baru menyanggupi tadi pagi jam lima.”
“Apa?” Audri membelalak. “Jadi bukan karena pihak kampus yang telat kasih pengumuman, tapi karena Om yang telat ngasih jawaban?”
“Eits, apa aku bilang semalam? Jangan panggil aku ‘om’.” Arkan mengingatkan, senyum ramahnya terus menghiasi wajah tampan pria itu.
“Oh iya.” Audri tertawa canggung. “Terus apa? Masa ‘kakak’?”
Semalam, saat mereka bertukar pesan lewat aplikasi perpesanan, keduanya juga sempat membahas soal panggilan masing-masing. Arkan enggan dipanggil ‘om’ seperti Audri memanggil Aslan begitu. Audri pun enggan dipanggil ‘kakak’ meski secara silsilah, Audri memang lebih ‘tua’ dari Arkan karena menjadi istri Aslan.
“Iya. Kamu ‘kan nggak mau diminta manggil nama langsung,” ucap Arkan enteng sambil mulai berjalan menyusuri lorong gedung kampus.
Audri mengikuti langkah kaki Arkan. “Ya iya, masa panggil nama langsung sama yang lebih tua?” dengusnya sambil bercanda.
Senyum di bibir Arkan semakin mengembang. “Makanya coba panggil ‘kak Arkan,” pintanya kemudian.
“Kenapa nggak ‘pak Arkan’ aja? Kan sekarang kamu jadi dosen tamu di kampusku?”
“Hm, bener juga. Ya udah boleh, tapi kalau lagi jadi dosen aja.” Arkan mengangguk setuju.
“Oke.” Audri menyahut riang. Sebenarnya ia masih enggan untuk memanggil Arkan dengan sebutan ‘kak’. “Oh ya, ini mau ke mana?”
“Kamu sudah sarapan?” Arkan justru balas bertanya.
Audri menggeleng.
“Nah, pas banget. Temenin aku sarapan di kantin. Pengen makan lagi menu sarapan di kantin, nostalgia jaman mahasiswa.” Arkan tertawa pelan, wajahnya terlihat cerah.
“Oh, kamu alumni sini?” tanya Audri sedikit terkejut.
“Iya. S1 sama S2 juga di sini.”
“Oh ya? Wah, keren!” Audri memuji tulus. “Kalau om Aslan, di sini juga?”
Tepat ketika nama Aslan disebut, wajah cerah Arkan langsung berubah. Meski sekilas, tapi ekspresinya sempat berubah, mengeras dan menggelap.
“Oh, masa kamu nggak tahu?” balas Arkan diplomatis.
Audri menggaruk pipinya canggung, menyadari bahwa harusnya ia sedikit tahu tentang latar belakang pendidikan suaminya. Tapi nyatanya ia sama sekali tidak tahu.
Arkan tertawa pelan, membiarkan pertanyaan itu mengudara dan tak mendapat jawaban. Audri pun tak bertanya lagi dan memilih untuk mencari tahu sendiri nanti. Ia juga merasa sedikit penasaran dengan Aslan. Bagaimana bisa pria tempramen itu mendirikan perusahaan arsitektur yang cukup bersaing meski citra CEO-nya cukup buruk.
Audri dan Arkan sudah tiba di kantin. Naura ada di sana dan melambaikan tangan ke arah Audri, namun segera menarik tangannya saat melihat Arkan di sebelah sahabatnya.
“Itu temen kamu?” tanya Arkan sopan.
Audri mengangguk. “Nggak apa-apa makan sama temenku?”
“Nggak apa-apa. Anggap aja kayak alumni lagi main-main ke kampus.” Arkan tertawa pelan sambil melangkah menuju meja tempat Naura menunggu.
“Waduh, Pak Arkan kenapa ikut ke sini?” tanya Naura canggung.
“Mau sarapan, saya juga belum sempat sarapan tadi.” Arkan menjawab lugas sambil duduk di depan Naura.
Audri berjalan memutar, duduk di sebelah Naura. “Lo pesen apa?” bisiknya pada Naura.
“Gue pesen soto, pengen yang anget-anget.”
“Kamu pesen apa, Au?” Arkan bertanya pada Audri.
“Oh, aku nggak pesen sarapan. Aku bawa bekal dari rumah.” Audri segera mengeluarkan kotak berisi sandwich ayam yang ia siapkan tadi.
Kedua alis Arkan bertaut sebelum akhirnya tersenyum ramah seperti biasa. “Wah, rajin, ya?”
“Biasa, mode istri, Pak.” Naura yang menyahut. “Kalau udah jadi istri kan gitu, pagi bangun tidur masakin sarapan buat suami. Makanya tadi hampir telat.” Ia terkekeh dengan kalimatnya sendiri.
Sementara Audri tak menyangkal dan malah mulai menikmati sarapannya.
“Oh ya? Tadi hampir telat gara-gara masak dulu?” Arkan melipat lengannya di atas meja, menatap Audri lekat. “Masakin sarapan buat kak Aslan juga berarti?”
Audri mengangguk santai. “Iya.”
“Dia yang maksa?” tanya Arkan kemudian.
“Eh? Enggak. Aku yang emang kebiasaan masak sendiri dari dulu. Jadi masakin buat suami sih udah biasa.”
Entah kenapa, kata ‘suami’ yang keluar dari mulut Audri terasa sedikit mengganggu di telinga Arkan. Tapi ia tak terlalu menggubrisnya karena detik berikutnya ia sudah tertawa pelan dan memuji basa-basi. “Wah, beruntung banget kak Aslan dapet istri kayak kamu.”
Audri balas tersenyum, namun tidak menanggapi. Sementara Arkan masih tak memindahkan tatapannya dari Audri sedetik pun.
***
“Wah, wah, kamu dandan?” goda Aslan sambil tertawa lepas saat melihat Audri keluar dari kamar dengan mengenakan midi dress berwarna pastel yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Wajah Audri yang cantik itu terlihat semakin mempesona setelah dipoles oleh makeup tipis.
Gadis mungil itu melempar tatapan tajam pada Aslan yang terus menatapnya dengan seringai tipis. “Emang kenapa kalau iya?” balasnya ketus.
“Tetep kelihatan kayak anak kecil.” Aslan membalas sambil terkekeh geli.
“Om, aku tuh udah usia legal tahu! Udah dua puluh tahun!” seru Audri kesal. Pasalnya, Aslan memang sering menggodanya dengan menyebutnya ‘anak kecil’ hanya karena tubuhnya yang mungil. Meski tidak pendek-pendek amat, tubuh Audri yang kurus dan langsing membuatnya terlihat mungil.
“Oh ya? Berarti udah bisa melakukan adegan dewasa dong?” Aslan terus menggoda sang istri. Kekehannya hanya sesekali mereda.
“Ih, ini orang tua m***m banget sih?!” Audri berseru semakin kesal, melempar lirikan sinis sambil meninju lengan Aslan sekeras yang ia bisa.
Sayangnya, Aslan justru semakin tertawa. Pukulan Audri jelas sama sekali tak menyakitinya, malah ia merasa gestur sang istri itu membuat Audri terlihat semakin menggemaskan.
“Berhenti ketawa, Om! Ayo berangkat!” Audri yang berjalan lebih dulu sampai harus berhenti dan menoleh karena Aslan belum juga bergerak dari tempatnya berdiri, masih sibuk tertawa.
“Oke, oke. Ayo berangkat!” Aslan bergegas menyusul Audri, merangkulkan lengan kekarnya di bahu Audri.
“Astaga, berat, Om! Minggirin tangannya!” Audri mendorong lengan Aslan menjauhi bahunya, namun Aslan tetap bersikeras meletakkan lengannya di bahu sang istri.
“Makanya olahraga, makan protein yang banyak biar ototmu itu terbentuk,” ucap Aslan saat mereka tiba di pintu. Ia akhirnya melepas lengannya dari bahu Audri, sibuk membuka pintu dan menutupnya lagi saat mereka sudah berada di luar apartemen.
Aslan memasukkan tangannya ke saku celana saat berjalan beriringan dengan Audri di lorong apartemen menuju lift yang akan membawa mereka ke basement.
“Aku tuh udah makan banyak tahu, Om, tapi tetep nggak gendut-gendut.” Audri malah curhat.
“Bukan soal makan banyak, bodoh. Tapi makan protein plus olahraga. Kamu butuh sedikit otot untuk badanmu. Lihat badan kamu….” Aslan menatap Audri dari atas sampai bawah. “Semuanya rata,” cibirnya kemudian.
Audri ternganga seketika. “Apa?!” Ia memekik kesal.
Aslan mengedikkan bahu. “Emang begitu kenyataannya.”
“Penghinaan!” Audri berseru geram, meninju lengan Aslan sekali lagi. Tapi lagi-lagi, itu hanya membuat Aslan terkekeh geli.
Pintu lift berdenting dan terbuka pelan. Mereka keluar dari sana, langsung menuju mobil sport hitam milik Aslan yang terparkir di tempat parkir khusus.
Jangan berharap soal perlakuan seorang gentleman dari Aslan seperti membukakan pintu penumpang untuk Audri. Tidak, ia tidak melakukannya sama sekali. Ia membiarkan Audri masuk ke dalam mobil sendiri, begitu pun dirinya. Lantas, ketika ia telah duduk di belakang kemudi, sebuah ide terbersit begitu saja di kepalanya.
“Mau aku bantu nggak?” tanya Aslan sambil menyalakan mesin mobil dan mulai melakukan manuver untuk keluar dari parkiran.
“Bantuan apa?” balas Audri bingung.
“Bantu kamu buat naikin massa otot.”
“Nggak usah. Buat apa juga?”
“Penting itu. Kamu tahu nggak sih apa fungsi otot?” Aslan memulai pelajaran biologinya di dalam mobil.
Audri memutar bola matanya malas. “Nggak tahu. Dulu aku anak IPS bukan anak IPA.”
Kekehan Aslan kembali terdengar. “Tapi setidaknya kamu tahu apa fungsi otot.”
Audri berdecak kesal. “Emang apa?”
“Buat melindungi tulang kamu, melindungi sendi-sendi kamu, bukan cuma buat gaya-gayaan dipamerin karena punya biseps atau abs.”
Kali ini, wajah Audri terlihat penasaran. Ia tak menyangka Aslan akan bicara serius. Biasanya yang pria itu lakukan hanya menggodanya atau marah-marah.
“Oh ya?” Audri menatap tubuhnya sendiri. “Emang aku bisa berotot?”
“Bisa. Makanya aku bantu, mau nggak? Gratis nih. Biasanya kalau aku jadi personal trainer, bayaranku mahal.” Aslan tertawa pelan, melirik istrinya sekilas.
“Dih, nggak mungkin gratis. Pasti disuruh bayar pakai yang lain. Mana ada Om ngasih aku gratisan,” tuding Audri sinis.
“Haha, sepertinya kamu mulai mengenalku, ya?” Aslan mengangguk-angguk. “Betul, ada bayarannya. Tapi nggak susah kok.”
“Apa emang?” tantang Audri.
Aslan melirik Audri sekilas, sebuah seringai tipis menghiasi wajah sangarnya. “Satu sesi workout, satu ciuman.”