Audri mendongak sekilas sebelum kembali fokus mengobati luka dan lebam di tubuh Aslan. “Aku tahu Om lagi ikutan tender proyek perancangan kota. Dan lawan Om adalah adik Om sendiri, kan?”
Aslan mengernyit. “Dari mana kamu tahu?”
“Anggap saja aku kebetulan tahu, Om.” Audri ikut menegakkan punggung, sudah selesai mengobati luka-luka di tubuh Aslan. “Nah, aku mau menawarkan diri buat membantu Om memenangkan tender itu.”
Tanpa menunggu sedetik pun, tawa Aslan langsung membahana ke seluruh ruangan. “Kamu? Mau membantuku memenangkan tender itu? Kamu tahu lawanku adalah adikku sendiri yang mewarisi perusahaan orang tuaku, tapi bisa-bisanya kamu bicara sepercaya diri itu?”
Audri mengangguk mantap. “Aku yakin aku bisa bantu Om.”
“Oh ya?” Sebelah alis Aslan terangkat. “Kamu bahkan bukan lulusan magister perancangan kota, kan?” ucapnya dengan nada sedikit mengejek.
“Memang bukan. Tapi ibuku… seorang ahli perancang kota atau urban designer.”
“Apa kamu bilang?” Aslan jelas merasa tertarik. “Terus di mana ibumu sekarang?”
Audri menelan ludah. Ini bagian terburuknya. “Ibuku sudah meninggal, Om. Tapi aku masih menyimpan beberapa rancangan ibu, mungkin Om mau mengembangkannya bersama tim Om.”
“Memangnya ibumu siapa? Aku pasti mengenal arsitek berpengaruh di negeri ini. Coba sebutkan nama ibumu!” tantang Aslan.
Audri mengangguk pelan. “Ibuku… Maura Kartika.”
Ruang tengah apartemen mewah itu hening seketika. Ia tahu nama itu. Seorang wanita paling berpengaruh di bidang perancangan kota pada zamannya. Ia tak tahu bahwa Maura Kartika memiliki seorang anak perempuan. Namun wanita itu tiba-tiba hilang ketika namanya justru sedang di atas angin. Dan ternyata, ia sudah meninggal.
“Apa kamu membawa rancangan ibumu sekarang?” tanya Aslan kemudian, mengabaikan fakta bahwa ibu Audri sudah meninggal. Ia tak ingin menunjukkan sisi lembutnya di hadapan gadis yang baru ia kenal ini.
Anggukan Audri terlihat mantap. “Iya, aku bawa. Tapi sebelum aku tunjukkan ke Om, aku mau kita buat perjanjian.”
Aslan segera terbahak, merasa terhibur dengan nyali gadis kecil di hadapannya yang baginya amat jarang ia temui. Dan tanpa ia sadari, ia mulai merasa tertarik.
“Begitu? Perjanjian seperti apa yang kamu mau, hm?” Pria itu menyeringai, tatapannya seperti seekor predator yang mengincar mangsa favoritnya.
Hening kembali menyelimuti keduanya. Audri mulai merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Ia menarik nafas dalam sebelum mulai menyuarakan idenya.
“Aku bakal bantu Om memenangkan tender itu, mengalahkan adik dan keluarga Om sendiri. Dan sebagai gantinya, aku mau Om melindungiku selama aku jadi istri Om.”
“Melindungimu?” Aslan mengernyit. “Dari apa?”
“Dari kemungkinan seseorang akan membunuhku sebelum aku berhasil mengungkapkan kebenaran.”
Kernyitan di dahi Aslan semakin terlihat jelas. Ia menggeser duduknya, tatapannya berubah serius.
“Bagaimana caraku melindungimu?”
“Biarkan aku berada di sekitar Om. Biarkan aku tinggal di sini sama Om, biarkan aku ikut ke mana pun Om pergi.” Audri menjawab mantap.
Pria itu terlihat semakin tertarik dengan ucapan Audri. “Kenapa? Kenapa kamu harus berada di sekitarku?”
“Karena mereka nggak akan berani mendekatiku kalau Om ada di dekatku.”
“Mereka?” Aslan menatap mata Audri lekat. Ia tak menyangka gadis dengan tubuh kecil itu diincar oleh sekelompok orang. “Bukan dia, tapi mereka?”
Audri menghela nafas pelan. “Dalangnya satu orang, tapi kaki tangannya ada banyak, Om.”
“Kenapa kamu terlibat dengannya? Apa yang membuat dia ingin membunuhmu?” Aslan terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Dan sebenarnya apa hubunganmu dengan Aurora? Kenapa kamu bisa menggantikannya menikah denganku? Perjanjian pernikahan ini dengan keluarga Mahardika, dan kamu… kamu bahkan tidak menyandang nama Mahardika,” tanyanya pelan.
Ada banyak pertanyaan yang kini menghuni kepala Aslan tentang gadis di hadapannya. Namun ia mencoba untuk mengabaikannya. Hingga tanpa sadar, ia telah membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa penasaran dan ketertarikan pada gadis kecil itu.
“Kenapa nggak dijawab?” bentak Aslan kesal karena sejak tadi Audri sama sekali terlihat tak berniat menjawab rentetan pertanyaannya.
Audri baru selesai membereskan peralatan P3K dan mengembalikan kotak itu ke tempatnya. Ia mengambil dua gelas air minum dari dapur dan memberikannya pada Aslan.
“Minum dulu, Om,” ucap Audri pelan.
Aslan melempar tatapan tajam sekilas, kemudian menyambar gelas di tangan Audri dan meneguknya cepat. “Sekarang bicara yang jelas!”
“Aku harus mengungkapkan kematian ibuku, Om. Dan kematian ibuku ada kaitannya dengan keluarga Mahardika.” Audri berkata pelan namun mantap.
Aslan mengernyit seketika. “Wah, wah, ternyata di balik badanmu yang mungil, tekadmu kuat juga, ya?” godanya. “Jadi kamu mau aku melindungimu selama kamu berusaha mencapai tujuanmu?”
Audri menoleh pada pria yang kini telah menjadi suaminya itu. “Iya.”
Sebuah seringai tipis terbentuk di bibir Aslan. “Kamu nggak butuh bantuanku? Aku tahu banyak soal ibumu.”
“Oh ya? Kok bisa?”
“Hm, boleh dibilang aku salah satu penggemar rancangan-rancangannya. Tapi tentu saja aku hanya mengenalnya lewat karya-karyanya, tidak secara pribadi. Karena buktinya, aku baru tahu bahwa Maura Kartika memiliki anak perempuan. Aku bahkan tidak tahu kapan dia menikah.”
Rahang Audri mengetat seketika. “Kalau begitu, aku mungkin bakal butuh bantuan Om. Soalnya susah banget cari info soal ibu.”
Aslan mengangguk mantap, seringai di bibirnya semakin lebar. “Tapi bayaranku tidak murah.”
“Hah? Kok masih harus bayar? Aku udah mau ngasih rancangan ibu ke Om, loh.” Audri protes.
Aslan terkekeh pelan. Ia semakin merasa tertarik dengan keberanian gadis kecil itu. “Itu bayaran untuk jasaku membiarkanmu menjadi istriku dan melindungimu. Untuk membantumu mencapai tujuanmu, aku punya harga tertentu.”
“Mata duitan!” sembur Audri kesal. “Cepet bilang aku harus bayar berapa!”
Tawa renyah Aslan mengudara. Bahunya berguncang pelan, ia merasa semakin terhibur dengan kehadiran Audri di hidupnya. Padahal mereka baru bersama selama beberapa jam.
“Nggak perlu pake uang kalau kamu nggak punya uang.” Aslan berbicara sambil menunduk dan mendekatkan dirinya pada Audri.
“Terus bayar pake apa?”
Tangan besar Aslan segera menangkup pipi Audri, jempolnya mengusap lembut bibir bawah sang istri. “Biarkan aku menciummu.”
Sayangnya, belum sempat Audri bereaksi, Aslan sudah lebih dulu menyambar bibir tipis nan mungil itu. Tangan kirinya yang bebas merengkuh pinggang Audri dan membawanya mendekat.
Audri membelalak, tak menyangka akan diserang dengan cara seperti ini. Bukan ditonjok atau dipukul seperti yang ia bayangkan.
Audri masih berusaha memahami situasi ketika Aslan sudah mengangkat tubuhnya dan membawanya ke atas pangkuan pria itu. Kedua lengannya melingkari tubuh Audri dan mendekapnya erat. Sementara Audri menahan d**a Aslan agar tubuh mereka tidak terlalu menempel. Namun gerakannya yang terjadi secara naluriah itu justru membuat Aslan terkekeh pelan.
“Singkirkan tanganmu,” lirih Aslan setelah pagutan bibir mereka terlepas.
“Kenapa?” Audri balas bertanya dengan sedikit nada terengah. Otaknya masih sedikit berkabut akibat serangan Aslan yang tiba-tiba, sulit bagi Audri untuk berpikir jernih sekarang.
Tanpa banyak bicara, Aslan sudah mencengkram kedua pergelangan tangan Audri dan menghempaskannya. “Mengganggu,” desisnya tak suka. “Mulai sekarang, setiap kau meminta bantuanku, kamu harus membayarku dengan satu ciuman. Mengerti?”
“Astaga, Om!” Audri langsung mendapatkan kembali kewarasannya.
“Kenapa? Kamu istriku kan? Ciuman doang itu biasa.”
“Tapi….” Audri terlihat sedikit kebingungan. Bahkan wajahnya bersemu merah.
“Tapi apa? Bicara yang jelas!” bentak Aslan galak.
“Itu tadi ciuman pertamaku, loh. Om jahat!”
Kedua bola mata Aslan membelalak seketika. “Kamu serius?”
“Iya. Aku emang pernah pacaran, tapi belum pernah ciuman. Om jahat! Kamu ngambil ciuman pertamaku, Om!” Audri merengut kesal, membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
Tawa Aslan kembali memenuhi ruangan. “Bagus dong. Kamu berciuman dengan suamimu sendiri. Nah, mau lagi?” godanya.
“Enggak!” Audri buru-buru berseru dan turun dari pangkuan Aslan. “Aku mau beres-beres. Kamarku di mana?”
Aslan ikut berdiri. Tubuh tingginya menjulang di hadapan Audri. “Pakai saja kamar di sebelah kamarku.”
Sepasang mata Audri segera beralih ke kamar kosong di sebelah kamar Aslan, kemudian ia mengangguk dan segera berlalu sambil membawa kopernya yang terjatuh di dekat pintu tadi.
Aslan hanya terkekeh pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya saat matanya sama sekali tak lepas dari punggung Audri yang perlahan menghilang ke dalam kamar.
“Ah, ini menyenangkan!” gumam Aslan dengan seringai lebar di wajahnya.