Mencintaimu Tanpa Syarat
Part 11 Keras Kepala
"Saya bawa motor," jawabku pada lelaki yang berpakaian serba hitam itu.
"Saya ikuti di belakang."
Aku tidak menolak. Memang lebih baik kalau aku tidak sendirian. Mengingat sudah hampir jam sebelas malam. Kulambaikan tangan pada Bu Atun yang masih berdiri di depan pintu samping. Lantas aku menstater motor dan pergi. Lelaki yang di suruh mengantarkan mengikutku dengan jarak yang lumayan dekat.
Kosan sangat sepi. Lampu-lampu kamar sudah padam semua. Aku turun dari motor dan membuka pintu pagar. "Mas, terima kasih ya," ucapku pada pengawalnya Hendri.
Lelaki itu mengangguk dan tetap mengawasi hingga aku berada di dalam pagar. Aku memasukkan motor di sebuah ruangan yang dikhususkan untuk menaruh kendaraan penghuni kosan.
Setelah melepas helm, menaruh tas, dan menanggalkan jaket, aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Bandanku terasa lengket dan tak sabar untuk lekas membersihkan diri. Biasanya aku merebus air dulu, tapi kali ini aku langsung mandi air dingin biar bisa segera istirahat.
Sambil mandi aku justru teringat Bu Salwa. Menurutku wanita itu sangat baik. Itu bisa dilihat dari gestur tubuh dan caranya bicara pada orang. Beliau sangat menghargaiku meski status sosial kami sangat berbeda. Rasanya tak percaya jika ia tega merebut suami orang hingga menyebabkan wanita lain meninggal. Tapi kenapa anak tirinya begitu dendam hingga membuat adiknya terluka? Ah, apa peduliku dengan hal mereka. Aku hanya bekerja sementara di sana. Aku juga tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan mereka.
Sikap Pak Darmawan seperti kebanyakan orang, tidak kaku tapi juga tidak ramah. Wajarlah menurutku. Namun kenapa sikap dua putranya sangat dingin?
* * *
Jam tujuh pagi aku sudah berpakaian rapi. Celana jeans warna biru dan kaus warna ungu lengan panjang, dengan bergo warna ungu muda. Aku keluar kamar sambil menenteng helm.
"Embun, mau berangkat lagi?" tanya Mbak Sri yang baru membuka pintu dan siap berangkat kerja juga. Dia melangkah menyusulku ke tempat parkir motor.
"Iya. Mbak Sri, juga mau berangkat kerja, 'kan?" tanyaku pada wanita yang menjajari langkahku.
"Hu um. Hari ini terakhir kerja, Mbak ngambil cuti mau pulang jenguk anak-anak besok. Oh ya, sakit apa orang yang membuatmu sibuk di luar jam kerja begini?"
"Tangannya terluka, Mbak. Kecelakaan," jawabku berbohong. Sebab aku tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya.
"Oh, kupikir kamu jagain orang tua yang sakit parah."
"Enggak. Mungkin dua hari lagi dia sudah sembuh."
Kami keluar pagar bersama-sama. Namun Mbak Sri mengambil arah ke kiri, sedangkan aku belok kanan. Angin pagi yang semribit mengiringi perjalananku ke rumah besar itu. Saat-saat seperti ini, mengingatkan aku padanya. Lelaki yang sangat kucintai. Lelaki yang telah hidup dengan perempuan lain. Sosok yang pernah menjadikan aku ratu di hatinya. Sepuluh tahun, bagaimana bisa aku melupakannya begitu saja.
Kami pernah berjuang bersama, bahkan pernah merasakan patah hati berkali-kali ketika mendapati tamu bulananku akhirnya datang setelah telat beberapa hari. Kami bergandengan tangan untuk saling menghibur dan menguatkan. Namun akhirnya patah juga.
Aku memilih menyerah dan pergi, karena tak selamanya yang terbaik adalah bertahan. Melepaskan bisa jadi pilihan yang tepat ketika bertahan begitu menyakitkan.
Sebulan hidup di madu, merupakan siksaan batin yang membuatku limbung dan tak berarti. Ini baru sebulan, bagaimana jika bertahun-tahun? Apakah aku mau mati dalam depresi?
Masih jelas dalam ingatan, betapa manjanya Karina pada Mas Fariq jika kami bertemu di rumah mertua atau dia yang datang ke rumah kami. Sebab saat itu Karina tinggal bersama mertuaku. Aku ingat ketika pagi hari rambutnya yang basah di pamerkan padaku untuk menunjukkan bahwa semalam mereka telah bersama.
Sepuluh tahun memiliki Mas Fariq seorang diri, terus tiba-tiba saja aku harus berbagi. Rasanya, sungguh hanya aku dan Allah yang tahu. Terlebih ketika aku mendengar sendiri, ibu mertuaku memarahi putranya karena Mas Fariq tak kunjung menyentuh Karina usai pernikahan mereka. Aku juga terkena imbas kegusaran mama mertua. Padahal putranya sendiri yang enggan melakukannya.
Lamunanku terhenti ketika motor telah sampai di depan pintu gerbang besar. Seorang satpam yang sudah mengenaliku segera membuka pintu. Aku tersenyum sebagai sapaan untuk lelaki berusia enam puluhan itu.
"Assalamu'alaikum," sapaku pada Bu Atun yang menata makanan di atas meja ruang makan.
"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Atun dan seorang rekannya.
"Mbak Embun, ini namanya Bu Yati. Kerja di sini cuman siang saja." Bu Atun memperkenalkan rekannya padaku. Aku dan wanita itu saling tersenyum.
"Mas Hendri sudah sarapan, Bu?"
"Belum, Mbak. Ini masih saya siapkan." Bu Atun mengambilkan nasi, lauk, sayur, dan air putih, kemudian meletakkannya di atas nampan.
"Biar saya yang sekalian membawanya naik."
"Baiklah, makasih, Mbak. Biar saya langsung nyiapin sarapan buat Tuan dan Nyonya."
Kuambil nampan di meja makan dan melangkah menaiki tangga. Aku juga sekalian mengambil obat di laci, kemudian mengetuk pintu kamarnya.
"Masuk!"
Ketika aku membuka pintu, Hendri sudah berpakaian rapi berdiri didekat jendela. Kemeja lengan panjang warna dark blue dan celana hitam. Mau ke mana dia?
"Maaf, saya terlambat. Apa Anda akan pergi?" tanyaku merasa tak enak hati sambil meletakkan nampan di atas meja.
Lelaki itu hanya mengangguk. Kemudian duduk di kursi dan makan. Aku menyiapkan obat yang harus di minumnya. Dia sudah berpakaian rapi sedangkan perbannya juga harus di ganti. Aku memerhatikan Hendri dan mencari celah untuk bicara.
"Maaf, apa Anda tergesa-gesa harus pergi?"
"Kenapa?" tanya pria itu sambil mengunyah nasi.
"Waktunya untuk mengganti perban. Nggak akan lama kok, saya akan menggantinya dengan cepat."
Tanpa menjawab, pria itu berdiri dan melepaskan kemejanya. Aku segera mengambil kotak perlengkapan dan mempersiapkan perban dengan cekatan. Dia kembali melanjutkan sarapan dengan tangan kirinya, sementara aku mengganti perban di lengan kanannya.
Perban yang di pakainya agak basah, mungkin kena air waktu ia mandi tadi. Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak butuh waktu lama untuk menggantikan perban. Kubersihkan luka menggunakan iodine dan alkohol dengan cepat dan mungkin ia menahan nyeri karena aku memang bekerja secara buru-buru. Kemudian kuoleskan salep antibiotik yang di resepkan oleh dokter Nanda.
Mungkin dia juga butuh cepat karena harus pergi. Bekerja mungkin. Tentunya dia sudah libur beberapa hari karena luka itu.
"Berapa lama luka ini akan sembuh total?" tanya Hendri setelah selesai makan.
"Lukanya sudah kering. Tapi untuk sembuh total membutuhkan waktu yang lama. Minimal enam mingguan. Rajinlah minum obat biar lekas pulih. Terus perban harus di ganti, paling nggak dua kali sehari. Soalnya ini bekas luka tembak dan bukan bekas operasi biasa. Pastikan perban tetap kering agar nggak terjadi infeksi."
"Apa tidak ada obat yang lebih baik lagi dari resep yang diberikan oleh dokter itu?"
"Ini sudah obat terbaik yang Pak Nanda beri. Bersabarlah, memang butuh waktu untuk menyembuhkan luka tembak ini."
Aku memberikan obat di tangannya dan ia segera meminumnya. "Berikan obatku untuk nanti siang," pintanya sambil memandangku.
"Anda akan meminumnya sekalian?" tanyaku curiga.
"Aku belum tentu bisa pulang. Biar kubawa obat itu."