Part 12 Keras Kepala 2

868 Words
Segera kuambil empat obat yang harus diminum siang nanti. Obat kubungkus dengan plastik kecil yang ada di situ. "Minumlah tepat waktu, jika ingin pulih dengan cepat. Sebab ini bukan seperti di film-film. Hari ini kena tembak, besok sudah pulih dan baku hantam lagi." Lagi-lagi dia hanya diam dan memasukkan obat yang kuberikan di saku celananya. Kemudian mengambil baju dan memakainya. Aku membantu mengancingkan kemeja karena dia tampak kesulitan. Saat melakukan itu, hanya Tuhan saja yang tahu apa yang ada dalam benakku. Aku teringat masa-masa dulu, hampir tiap hari jika aku tidak shif malam, selalu memakaikan baju kerja di raga suamiku. Terkadang menggodanya hingga terbawa suasana dan akhirnya dia terburu-buru pergi karena takut telat sampai di kantornya. "Kamu kenapa?" tanya Hendri sambil memandang heran padaku. Aku berusaha tenang agar dia tidak curiga macam-macam, terlebih mencurigaiku karena terpesona oleh tubuhnya yang proporsional. Aku sudah merasakan dekapan gagahnya seorang suami. Dan dari situ juga aku merasakan pula luka parah yang membekas hingga kini. "Nggak apa-apa. Lain kali usahakan jangan sampai perbannya basah. Nanti sepulang kerja, saya akan membelikan plester anti air." "Berapa harganya?" Tanpa menunggu aku menjawab, Hendri mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. "Ini!" ucapnya sambil menyodorkan uang padaku. "Banyak sekali." "Kamu sendiri yang bilang kalau luka ini tidak seperti di film-film. Yang bisa sembuh secara kilat. Jadi butuh beberapa kali ganti perban, kan?" Iya, tapi tidak sebanyak ini juga. Nanti kalau misalnya kurang kan bisa beli lagi. Kalimat ini hanya terucap dalam hati, jika kuutarakan hanya akan menimbulkan perdebatan. Kuambil tiga lembar saja uang dari tangannya. "Ini saja dulu," jawabku lantas membereskan perban bekas terpakai dan merapikan kotak perlengkapan. "Nanti siang saya nggak akan ke sini," ucapku lagi karena pasti dia tidak ada di rumah. Bukannya menjawab dia justru menatapku lama dan aku menghindari pandangan itu dengan membuang perban di tempat sampah tertutup yang ada di pojok kamar. Hendri meraih kontak mobil dari nakas lalu keluar. Meninggalkan aku sendirian di kamar bahkan tanpa bilang apa-apa. "Pantesan ngejomlo, siapa juga cewek yang suka sama kulkas dua pintu, cowok romantis stoknya masih banyak kok," gerutuku dalam hati. Eh, pria tampan dan keren seperti dia mana mungkin tidak punya pasangan. Siapa tahu dia punya pacar di luar sana. Ketika aku masih termangu di kamar, pintu kembali terbuka yang membuatku terkejut. Hendri kembali masuk kamar untuk mengambil ponselnya. Sementara aku meraih nampan bekas makan dan minumnya dia untuk kubawa turun. "Jam berapa aku minum obat siang nanti?" Hendri bertanya sambil berhenti di depanku. "Jam setengah tiga atau jam tiga. Karena minum obat pertama tadi jam tujuh." Hendri mengangguk kemudian membukakan pintu dan menyuruhku keluar lebih dulu. Di ruang makan, Pak Darmawan dan istrinya baru saja selesai sarapan. Lelaki itu memandang putranya yang ada di belakangku. "Mau kemana, Hendri?" "Kerja, Pa." "Lukamu belum sembuh," kini Bu Salwa yang bicara sambil berdiri dan menghampiri putranya. Sedangkan aku terus ke belakang untuk menaruh piring kotor. "Nggak apa-apa, Ma." "Kembalilah ke kantor." Pak Darmawan yang berbicara. Aku mendengar percakapan mereka dari dapur. "Aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang, Pa. Walaupun gajiku tak sebesar kerja dengan kalian. Setidaknya aku di hargai dan tidak dikatakan benalu." "Hendriko, dengar dulu Papa bicara," Pak Darmawan sepertinya sedang mengejar putranya yang meninggalkan ruangan itu. Tidak lama kemudian aku mendengar mobil meninggalkan halaman. Aku mencuci piring bekas makan Hendri. Bu Atun mencegahnya tapi tetap saja kuselesaikan pekerjaanku. "Mbak Embun, sudah sarapan?" "Nanti saya sarapan di kosan saja, Bu." "Sarapan di sini saja nggak apa-apa, Mbak. Saya ambilkan ya!" "Nggak usah, Bu. Terima kasih." "Embun, bisa kita bicara sebentar!" Bu Salwa memanggilku dari pintu yang memisahkan antara dapur dan ruang makan. Aku menghampiri wanita itu. "Bagaimana lukanya Hendriko?" "Alhamdulillah, sudah membaik. Tadi saya juga membawakan obat yang harus diminum siang nanti." "Syukurlah. Pokoknya saya minta, kamu rawat dia sampai sembuh. Hendri ini keras kepala, Embun. Dia paling susah minum obat. Kalau flu atau meriang mesti dipaksa dan diomeli dulu baru mau minum obat. Jadi kalau waktunya minum obat memang harus diingatkan bahkan harus ditunggui." Sesusah itukah? Kenapa kemarin obatnya malah di diamkan di mulut? Atau sengaja mau membuatku jengkel? "Embun," panggil Bu Salwa saat melihatku diam. "Eh, iya, Bu. Akan saya perhatikan." "Bu Atun, saya berangkat ke butik dulu." Wanita itu pamitan pada Bu Atun. "Bu Salwa punya butik, Bu?" tanyaku pada Bu Atun setelah wanita itu pergi. "Iya. Ibu punya dua butik, Mbak. Namanya seperti nama ibu. Salwa Boutique." Aku jadi teringat butik yang ada di jajaran pertokoan pusat kota itu, satu lagi yang ada di mall terbesar di kota ini. Bahkan aku pernah diajak oleh Mas Fariq beli baju di sana, juga membelikan baju untuk Papa dan Mamanya. Sekarang aku tahu siaoa pemilik butik sebesar itu. Bu Atun mengambilkan nasi goreng di piring untukku. "Ayo, sarapan dulu Mbak. Tadi saya bikin nasi goreng." Wanita ini memaksaku sarapan bersamanya di dapur. Hanya kami berdua, karena ART satunya belum datang. Pak Wahab mengantarkan Pak Darmawan ke kantor. "Mas Hendri kerja di mana, Bu?" tanyaku ingin tahu. "Mas Hendri seorang arsitek, Mbak. Baru kerja selama sebulan ini di tempat lain. Tapi sejak lulus S2, dia sudah kerja sama Papa dan Mas Andre. Setelah sering terlibat percekcokan dengan kakaknya, dia pergi dari perusahaan dan kerja sendiri." "Apa sejahat itu kakaknya?" Bu Atun menggeleng pelan. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD