Part 13 Namaku Andrean 1
"Tapi kenapa mereka bermusuhan, Bu?" tanyaku makin penasaran. Sudah terlanjur di ceritakan, aku jadi ingin tahu banyak kehidupan mereka.
Sebelum menjawab, Bu Atun minum seteguk air. "Sebenarnya Mas Andre ini baik. Hanya saja ada yang memprovokasinya. Yang membuat mereka selalu terlibat salah paham. Bu Salwa sendiri juga sangat sayang pada Mas Andre. Dulu hubungan mereka sangat baik, tapi mulai berubah ketika Mas Andre duduk di bangku SMP. Saya sudah mengenal Tuan Darmawan sejak beliau masih bujangan, Mbak. Suami saya teman baik beliau. Makanya saya tahu kisah mereka. Perusahaan itu sebenarnya milik mertuanya Tuan. Milik orang tuanya Nyonya Lili, mamanya Mas Andre. Tapi yang menjadikannya besar seperti sekarang ini ya Tuan. Kakek, nenek, dan mamanya Mas Andre sudah meninggal. Jadi Mas Andre satu-satunya pewaris. Neneknya Mas Andre belum lama meninggal, Mbak. Baru sekitar tiga tahunan ini."
Oh, apa karena ini ada yang mengatai Hendri sebagai benalu. Apa mungkin Andre setega itu pada adiknya?
Aku tidak bisa bertanya lagi karena Bu Yati sudah datang, padahal aku masih penasaran. Wanita itu membawakan satu kantung buah mangga yang ranum, juga satu bakul kecil ubi rebus. "Mbak Embun, mau? Saya ambilkan, nanti bisa di bawa pulang," ujarnya. Kemudian mengambil dua kantung plastik bersih dari laci.
Sungguh terharu, aku di kelilingi orang-orang baik setelah berpisah dari pria yang kuharap bisa melindungiku seumur hidup. Bahkan di saat keluargaku sendiri tak peduli padaku. Ibu, andai saja aku masih punya ibu. Tiba-tiba saja hatiku diliputi pilu.
"Bu Atun, saya mau ngambil berkas di ruang kerja Papa." Kami dikejutkan oleh suara pria dari ruang dalam. Andre. Untung saja kami sudah berhenti membicarakannya.
"Njih, Mas. Monggo," jawab Bu Atun sopan.
Sebelum pergi, pria itu menatapku sekilas. Buru-buru aku menghabiskan sarapan, mencuci piring, kemudian pamit pulang pada Bu Atun dan Bu Yati.
Aku tidak mengendarai motorku ke arah jalan pulang, masih ada yang harus kubeli di mini market. Sabun, sampoo, dan beberapa keperluan pribadiku.
Dari spion kulihat mobil hitam yang tadi ada di halaman rumah Pak Darmawan itu mengikuti di belakang. Mobil yang di kendarai oleh Andre tentunya. Ketika aku berbelok ke mini market, mobil itu pun berhenti di pinggir jalan depan sana. Aku jadi cemas, jangan-jangan sebenarnya tadi dia mendengar percakapan kami dan sekarang hendak marah padaku karena terlalu ingin tahu mengenai keluarganya.
Meski barang yang aku butuhkan sudah masuk ke dalam keranjang semua, tapi aku belum berani keluar. Aku memutari lorong demi lorong sambil sesekali melihat keluar. Aku makin yakin kalau dia menungguku, karena mobil itu belum juga pergi. Mau sampai kapan dia di sana.
Aku kembali ke rak roti dan kue basah. Mengambil dua roti abon dan kumasukkan ke dalam keranjang.
"Masih lama kamu belanja?" Suara tepat di samping membuatku terkejut. Pria itu sudah berdiri di sebelahku. Sampai aku bingung mau menjawab apa.
"Masih lama?" tanyanya lagi.
"Eng-enggak, saya sudah selesai," jawabku gugup.
Dia mengikuti langkahku ke kasir. Di sodorkannya debit card pada Mbak penjaga kasir.
"Maaf, Mas. Saya akan bayar sendiri," tolakku.
"Bayar pakai kartuku saja, Mbak," ucapnya pada Mbak kasir yang bingung melihat kami.
Akhirnya belanjaanku di bayar oleh lelaki yang sikap pemaksanya persis seperti adiknya.
Setelah keluar lelaki bernama Andre itu mengajakku duduk di bangku besi depan minimarket.
"Namaku Andrean. Maaf, aku mengganggu waktumu. Ada yang ingin aku tanyakan?"
"Tentang apa?" Hatiku berdebar-debar. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan mereka. Hidupku saja sudah serumit ini. Masih ada luka menganga yang belum terobati, aku tidak ingin menambah bebanku.
"Keadaan Hendriko bagaimana?"
"Sudah jauh lebih baik. Hari ini sudah masuk kerja."
Pria itu diam sejenak, kemudian memandangku lagi. Aku tidak bisa membaca apa sesungguhnya maksud laki-laki ini bertanya padaku mengenai Hendri. Aku sulit menilai dari raut wajahnya. Misterius sekali orang-orang ini. Tapi dia bertanya dengan sopan dan nada rendah.
"Maaf, saya harus pulang!" Memang lebih baik aku segera pergi untuk menghindarinya. Daripada nanti di tanya macam-macam. Atau dilibatkan dalam urusan kedua bersaudara ini. Namun, kenapa Andre ini mengejarku hanya untuk bertanya mengenai adiknya? Apa ini bentuk kepedulian sebagai saudara atau justru sebaliknya. Ingin tahu kalau lawannya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Entahlah.
"Kamu hendak masuk kerja?" tanyanya lagi.
"Saya shif sore, nanti berangkat jam dua."
"Oke, makasih." Itu saja yang diucapkannya lantas berdiri dan pergi. Klakson dibunyikan sekali ketika mobil bergerak pergi.
Aku masih duduk di tempat. Ya Allah, aku dibuat senewen dengan sikap orang-orang ini. Harusnya aku tak peduli, tapi justru malah membuatku makin penasaran. Ada apa dengan mereka?
Astaga, aku juga lupa belum mengucapkan terima kasih pada laki-laki tadi, karena sudah membayari belanjaanku.
Setelah beberapa saat diam, aku beranjak pulang. Sudah hampir jam sembilan sekarang. Sepanjang perjalanan ponselku tak henti berdering, entah siapa yang menelepon.
Ketika masuk kamar kosan baru kulihat siapa yang menelepon. Rupanya Ibu tiriku. Aku mendesah pelan, antara mau menelepon balik atau membiarkan saja. Aku tahu apa tujuannya meneleponku, pasti karena urusan uang. Padahal awal bulan kemarin aku sudah ngirim uang untuk bapak. Selalu saja alasannya untuk berobat bapak. Padahal bapak cuma sakit meriang biasa, karena sering kecapekan di sawah dan kebun. Mereka juga mendapatkan penghasilan dari hasil panen dengan sawah yang lumayan luas. Juga hasil kebun.
Kuletakan ponsel di atas meja kecil samping tempat tidur. Kalau sudah begini, mau ngapa-ngapain juga malas. Padahal aku punya setumpuk baju yang harus di setrika. Kalau soal makan siang, aku bisa beli di warung depan, atau membeli di warung tenda depan rumah sakit.
Belum lama rebahan, ponsel kembali berdering. Ibu tiriku kembali menelepon.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam. Kamu lagi kerja apa di kosan? Ibu telepon dari tadi nggak kamu angkat?"
"Saya tadi di jalan, Bu."
"Si Rini mau piknik Minggu depan. Bisa kamu kirimi uang buat uang sakunya."
"Minggu depan saya belum gajian. Minta ke Roy saja dulu, Bu. Maaf, saya belum bisa ngirim uang."
Entah ibu tiriku itu mengomel apa, aku tidak begitu mendengarnya karena telepon langsung di matikan. Kalau sekedar uang jajan untuk piknik, aku masih punya. Tapi kenapa semuanya harus aku? Ke mana hasil kebun selama ini?
"Kamu jaga dan simpan uangmu baik-baik. Untuk masa depan dan hari tuamu, Embun. Jangan kamu turuti semua permintaan Karsi. Dia menyimpan sendiri uang hasil panen, terus diam-diam di belikan lahan untuk kedua anaknya. Nanti kamu dapat apa. Ingat pesan budhe ini. Menabunglah untuk masa depanmu." Aku jadi teringat nasehat Budhe tiap aku sambang ke rumah. Dia budhe Harni, kakaknya bapak.
Sedangkan Roy adalah adik tiriku. Waktu bapakku nikah sama Bu Karsi, wanita itu membawa seorang anak laki-laki yang usianya tiga tahun di bawahku. Bertahun-tahun menikah, Bu Karsi melahirkan adik kami yang sekarang masih kelas tiga SMP.