Ini adalah kali pertama bagi Milly menginjakkan kakinya di pasar. Tidak pernah terbayang sedikit pun untuknya pergi ke tempat seperti ini. Jika kalian bertanya bagaimana reaksi Milly, tentu saja gadis itu ketakutan setengah mati. Padatnya pengunjung dan suara bising dari penjual dan pembeli membuatnya harus berada di situasi itu lagi. Situasi dimana dirinya ketakutan seperti biasanya. Sebenarnya Milly membenci perasaan ini dan benci harus berada di situasi seperti ini. Tapi seperti yang Keenan katakan, tempat ini akan menyenangkan jika dirinya menikmati. Tapi bagaimana cara Milly untuk bersantai dan menikmati nya? Belum apa-apa saja dia sudah sangat ketakutan.
"Coba tutup mata kamu sebentar. Yakinkan diri kamu untuk tenang," suruh Keenan.
Segera Milly menutup kedua matanya. Meyakinkan dirinya sendiri seperti yang Keenan ajarkan. Meskipun tidak berpengaruh sama sekali dan dirinya masih tidak bisa tenang, namun Milly tetap mengikuti Keenan masuk ke dalam pasar dan berbaur dengan pengunjung lainnya.
Ternyata inilah yang dinamakan pasar. Beraneka macam mereka jual di sini. Sejenak Milly berpikir, apakah hanya dirinya seorang yang baru pertama kali ke tempat seperti ini? Ataukah ada banyak orang di luaran sana seperti dirinya?
"Mas, kamu sering ke tempat ini?" tanya Milly mengalihkan perhatiannya.
Keenan mengangguk tanpa menatap Milly yang berada di samping. Matanya fokus tertuju ke depan.
"Di rumah nggak punya ART? Jadi sampai Mas Keenan langsung yang ke sini," tanya Milly lagi.
Keenan lagi-lagi mengangguk. "Saya tinggal sendiri," sahutnya.
Mendengar sahutan Keenan, Milly hanya berohria. Masuk akal jika Keenan sering pergi berbelanja di pasar karena tinggal seorang diri. Selebihnya Milly tidak ingin bertanya. Menurutnya tidak sopan jika harus mengulik kehidupan Keenan lebih dalam.
Sekarang mereka berdua berhenti tepat di depan penjual sayur. Dengan cekatan Keenan memilih sayur yang menurutnya segar. Jika diperhatikan pula, Keenan sangat tahu dengan berbagai macam sayuran. Berbeda dengan Milly yang hanya tahu beberapa jenis saja. Untuk itu, Milly merasa dirinya bukanlah siapa-siapa kecuali seorang putri yang terkurung di dalam rumahnya.
"Wah, siapa ini? Istri nya, ya?" tanya penjual sayur pada Keenan.
Sontak Milly dibuat terkejut, apa wajar jika seorang penjual bertanya seperti itu pada pembeli nya?
Keenan tersenyum lebar. "Belum. Doakan semoga nanti menjadi Istri saya, ya."
Milly semakin dibuat terkejut saat mendengar Keenan menjawab pertanyaan si Ibu penjual sayur. Apakah mereka berdua akrab? Keenan bukan tipikal orang yang akan mudah dengan orang yang tidak dia kenal. Ya meskipun Milly masih belum lama mengenal Keenan, tapi dia tahu persis Keenan bukan orang seperti itu.
"Mas, kalian saling kenal?" tanya Milly sedikit berbisik.
"Walah, Mas ganteng ini sudah menjadi pembeli tetap saya sejak dulu, Mbak." Ibu penjual sayur langsung menyambar pertanyaan Milly, mewakilkan Keenan untuk menjawab. "Dan Mas ini satu-satunya pembeli yang tidak pernah menawar, malah dia selalu kasih uang lebih dari total belanjaannya."
Wanita paruh baya ini tidak hentinya untuk memuji Keenan. Bahkan matanya sampai berbinar saat menyebutkan kebaikan Keenan pada dirinya. Siapa yang mengira jika Pria yang terlihat dingin itu ternyata sangat baik hati. Milly sendiri pun tidak akan pernah tahu jika hari ini dirinya tidak ikut bersama Keenan.
Perlahan perasaan takut yang tadi mengerubuti Milly berangsur pudar. Perasaan itu seakan meluntur sesaat setelah dirinya berbincang dengan wanita tua penjual sayur tadi. Ternyata tidak menakutkan seperti yang dipikirkan. Usai membeli sayur, mereka kembali berjalan menyusuri pasar untuk membeli keperluan lainnya.
Setelah dirasa cukup, Keenan lantas mengajak Milly untuk pulang. Begitu banyak bahan yang Keenan beli untuk stok di rumahnya. Dan sedikitpun Keenan tidak membiarkan Milly untuk membantu membawakan belanjaannya yang begitu banyak. Alasannya sih supaya Milly tidak lelah, sangat klise sekali.
***
Mobil Keenan kembali melaju membelah jalanan. Dalam perjalanan pulang ini ada yang berbeda dari saat perjalanan menuju ke pasar tadi. Perbedaannya terletak pada suasana hati Milly, gadis itu sangat bersemangat sekarang.
"Mas, aku jadi tahu banyak hal berkat kamu!" seru Milly antusias.
Keenan tersenyum puas mendengar ucapan Milly. "Jadi sekarang kamu sudah tidak takut lagi 'kan dengan orang-orang dan keramaian?" tanyanya.
"Nggak gitu juga sih. Aku masih takut."
"Tapi sepertinya kamu tidak takut dengan saya?" tukas Keenan.
Milly langsung tercengang. Sejauh ini dia tidak pernah terpikir akan hal itu. Benarkah dirinya tidak takut dengan Keenan? Atau selama ini dirinya hanya menyembunyikan rasa takutnya saat bersama Keenan? Entahlah. Pertanyaan Keenan mendadak seperti sebuah soal ujian bagi Milly. Yang mana harus ia jawab dengan sangat hati-hati.
Seketika Milly teringat akan sesuatu. Hari ini ia memiliki janji dengan Karin untuk pergi ke rumahnya. Karin bilang keluarganya mengadakan acara syukuran dan mengundang Milly untuk datang.
"Astaga! Mas, aku lupa hari ini ada janji sama Karin!" Seru Milly mengalihkan topik pembicaraan.
"Ada janji apa kamu sama dia?" tanya Keenan penasaran.
"Dia undang aku ke rumah kalian. Katanya hari ini ada acara syukuran."
Acara syukuran? Keenan berdecih dalam hati. Apa yang mereka syukur kan?
"Katanya hari ini ulang tahun Mas Keenan," sambung Milly.
Keenan mengeratkan genggamannya pada setir mobil setelah mendengar ucapan Milly tentang ulang tahun dirinya. Matanya terasa panas dan dadanya terasa sakit. Jadi untuk itu sang Bunda meminta dirinya untuk pulang.
"Nanti biar kamu ikut saya ke sana," sahut Keenan datar.
Milly menggeleng, gadis itu tiba-tiba heboh sendiri. "Nggak usah repot, Mas. Milly bisa sendiri," tolaknya.
Milly merasa tidak enak jika datang bersama dengan Keenan. Orang tua Keenan pasti akan salah paham nanti. Sebenarnya gadis itu tidak ingin datang, tapi karena Karin terus memaksa akhirnya ia mengiyakan.
***
Tiga puluh lima menit yang lalu Milly tiba di rumah. Sekarang gadis itu sedang repot bersiap-siap untuk pergi ke rumah Karin. Sebelumnya Milly tidak pernah berhadir ke sebuah acara seperti itu. Gadis itu bingung harus mengenakan pakaian seperti apa. Tidak ingin membuang banyak waktu, Milly langsung berlari ke lantai satu untuk menemui para ART yang berusia muda.
"MBAK WATI ... MBAK NANI!" teriak Milly di sepanjang undakan tangga.
Dua orang yang namanya disebutkan lantas berlarian menghampiri Milly.
"Ada apa, Non?" tanya keduanya.
"Mbak, kalau mau pergi ke acara syukuran ulang tahun, kita harus pakai baju yang gimana?"
Mbak Wati dan Mbak Nani lantas saling bertatapan.
"Maaf, Non. Kita kan dari kampung. Pasti gaya berpakaian dengan orang di kota sangat jauh berbeda. Menurut saya pakaian seperti apapun tidak masalah asalkan sopan," sahut Mbak Wati.
Milly mendesah pasrah. Bukan jawaban seperti itu yang ingin ia dengar. Sebenarnya ia bisa saja bertanya kepada sang Ibu, tapi Milly tidak ingin orangtua nya tahu, sudah pasti nanti mereka akan melarang Milly untuk pergi.
"Tapi, Non. Dari sinetron yang biasa saya tonton, mereka mengenakan gaun yang cantik saat pergi ke acara seperti itu." Mbak Nani menimpali.
Gaun yang cantik? Milly punya banyak yang seperti itu.