"Malu banget gue ... Sumpah!" Ara menangis sesunggukan di kamar.
Tadi Ara bahkan tak sadar situasi sampai saat dia disuruh Shafa berkaca di cermin wastafel di kamar mandi dekat kolam renang.
Awalnya Danisha dan Shafa juga tak paham apa yang menyebabkan Ammar dan Satria saling bengong, saling tatap dan berakhir dengan saling tutup menutupkan mata lawannya, ternyata supaya tidak berlama lama menatap punggung Ara.
Buru-buru menyudahi acara berenang mereka, Danisha dan Shafa menyeret Ara ke kamar mandi yang ada di area kolam renang.
Di sinilah mereka sekarang, di kamar. Setelah selesai membersihkan badan dan berganti pakaian kering. Menenangkan Ara yang masih tersedu-sedan.
"Mau taruh di mana muka gue pas ketemu mereka nanti? Hiks ....!"
Danisha tak kuasa menahan tawanya, dia masih geli terbayang wajah Damar saat kejadian tadi. Body Ara memang yang paling mantul di antara mereka bertiga. Padat berisi pada tempat-tempat yang seharusnya. Pantas saja wajah Kakaknya itu juga merah padam saat memberikan handuk kepada Ara.
"Lu kok ketawa sih, Sha?" Shafa bingung kenapa Danisha tiba-tiba tertawa sementara Ara sedang nangis kejer begini.
"Gue kebayang mukanya Kak Damar tadi pas ngasi handuk ke Ara. Mana si Ara gak nyadar lagi, tu t***t udah kemana mana! Hahaha ....!"
"Ish, Danishaaa! t***t gue gak kemana mana yaa!" ketus Ara kesal.
"Hahaha ... Ya emang gak kemana-mana lah, serem keleeess kalau sampe tu benda jalan-jalan sendiri," ledek Danisha lagi.
"Sialan Lu!" Ara melempar bantal ke arah Danisha, tak urung Ara ikut tertawa nyengir.
"Gitu donk, berhenti nangisnya. Yang sudah, ya sudah. Gak usah dipikirin lagi. Toh, Lu juga masih pake baju kan, gak telanjang!" ujar Danisha santai.
"Lu sih enak, tinggal ngomong doang, gue nih yang ngadepin!" Ara menghembuskan nafas kasar. Doanya saat ini, semoga ketiga laki-laki yang menjadi saksi mata tadi pagi tak akan pernah mengungkit ungkit kejadian memalukan itu lagi.
"Betewe girls, udah beres semua barang barang bawaan? Jangan sampe ada yang ketinggalan. Jauh bolak-baliknya!" Shafa menutup ritsleting ranselnya.
"Gue udah, tinggal pakaian basah aja nih, mau dijemur dulu bentar biar gak basah banget." Ara bangkit dari tempat tidur, mengangkat ranselnya untuk di dekatkan kepada ransel Shafa, agar tidak kelupaan dibawa ke bawah.
Setelah mengecek ulang kamar mandi dan sekeliling kamar memastikan tak ada benda benda yang tertinggal, ketiganya turun ke lantai dasar. Meletakkan tas ransel mereka di ruang tamu, di mana sudah terkumpul sebagian tas-tas keluarga mereka masing- masing.
Menuju ke arah dapur, hidangan untuk makan siang telah tersedia di meja makan. Aroma ayam bakar madu kegemaran Danisha tercium membangkitkan selera. Rencananya setelah sholat dzuhur dan makan siang, mereka akan kembali ke kota, pulang ke rumah masing- masing.
Damar melangkah menuju dapur, sudah ada Ara, Danisha dan Shafa bercanda di meja makan. Pandangan matanya tak sengaja mengarah pada Ara, demikian juga Ara. Tatapan sedetik itu cepat diputus Ara, malu masih merajai hatinya.
Sebenarnya Damarpun sama, mengingat kelancangan matanya telah menatap yang tak boleh ditatap dan parahnya ingatan si renda merah itu masih sangat nempel di otaknya. Tapi mau sampai kapan diem dieman begini? bukan Damar sekali rasanya.
"Barang-barang kalian udah turun semua?" Damar berusaha mencairkan suasana
"Udah, tinggal baju renang tadi, lagi dijemur dulu biar gak terlalu basah," Danisha menjawab sambil mencomot sepotong tempe goreng dari piring.
"Kamu yang jatuh tadi, gak ada yang sakit, Ra?" Damar berusaha bersikap santai, walau di dalam hatinya kebat kebit.
Ara tak menyangka akan ditanya.
"Eh! I-iya Kak, aman ... gak ada yang sakit." Ara menyengir, berusaha menjawab senormal mungkin. Luar biasa degup jantungnya saat ini.
"Syukur deh," balas Damar kaku.
Shafa dan Danisha berpandang pandangan, sambil menahan cengiran.
Suasana akhirnya terselamatkan oleh kehadiran Papa dan Mama Ara.
Setelah seluruh keluarga berkumpul dan menyelesaikan makan siang, mereka berkumpul di teras vila untuk berfoto bersama. Semua orang bersusun rapi. Para pria berdiri di belakang dan wanita bediri di depan.
Pak Amin, suami Mbok Yani yang ditugaskan untuk mengambil foto kali ini. Tak hanya sekali jepret, mereka melakukan berbagai pose lucu atas permintaan Danisha dan Ara. Para orang tua bahkan diajak untuk melakukan boomerang.
Suasana benar-benar fun, sangat menyenangkan memiliki orang tua yang asyik dan berjiwa muda seperti mereka.
Ara, Danisha dan Shafa yang merasa belum puas berfoto, akhirnya meminta Ammar untuk mengambilkan foto mereka bertiga berlatar pemandangan danau, sangat cantik.
Menyender di kap mesin mobil, Damar memperhatikan tingkah tiga remaja yang sekarang sedang berswafoto. Ikut tersenyum kala ketiganya memasang mimik wajah lucu atau bertengkar saat merasa hasil fotonya tidak cantik dan minta diulang lagi.
Tanpa disadari, netranya selalu terarah untuk memperhatikan Ara. Walau beralih pada Danisha, namun berakhir kembali pada Ara. Ada rasa yang sulit dijabarkannya saat ini, rasa yang ingin Damar pungkiri, rasa yang bukan pada tempatnya.
Ara itu teman Danisha, adiknya. Masa sih, naksir sama temen adik sendiri, kan?
---
Sudah seminggu Damar menghabiskan masa cutinya. Tersisa dua hari lagi waktunya menikmati kampung halaman sebelum kembali ke Australia. Malam ini, keluarga Donni dan Shafri diundang ke kediaman keluarga Dewanto, berkumpul untuk makan malam bersama sebagai perpisahan Damar yang akan kembali ke perantauan.
Ara yang sejak pulang dari liburan belum bertemu Damar lagi, terbersit rasa galau. Antara senang akan bertemu, sekaligus sedih karena akan berpisah. Tak dipungkiri Ara, bagaimana sikap manis Damar padanya selama masa liburan kemarin memekarkan kembali kuncup cinta di hatinya.
Sengaja memilih dress ketimbang kulot, memilih digerai daripada ekor kuda, Ara ingin tampil lebih spesial malam ini. Wajahpun dipoles ekstra walau tetap natural dan ringan. Hanya saja biasanya tanpa blush on, hari ini ada rona peach tipis di tulang pipinya. Bibir yang biasa hanya sekedar disapu lip gloss, malam ini berganti lipstick berwarna nude.
Bercermin sekali lagi di meja rias kamarnya sebelum menyahuti panggilan Mamanya di bawah. Yup! Ara puas dengan dandanannya malam ini. Thanks for make up tutorial yang bertaburan di YouTube. Menyambar tas selempang dan sneakers putihnya, segera berlari menuruni tangga.
"Pelan pelan Ara, nanti terpeleset!" tegur Airina yang sudah menantinya di tangga terakhir. Ara membalas dengan cengiran. Buru buru memakai sneakers-nya karena Donni sudah mulai memundurkan mobil keluar dari garasi.
"Cakep banget anak Mama, tumben dandan?" Airina menatap Ara dari ujung kaki hingga ujung kepala, senyum jahil tersungging di bibirnya.
"Biasa aja kali, Ma. Sayangkan dibeli tapi gak pernah dipake!" Ara selesai memakai sneakers nya. Kini berjalan ke pintu garasi beriringan dengan Airina. "Kunci pintu-pintu yang bener ya, Tin. Nanti kalau sudah jalan mau pulang saya telpon kamu. Yanto suruh masuk ke dalam saja kalau hujan." Airina memberi pesan pada Tini asisten rumah tangga mereka.
Sudah di dalam mobil. Donni memperhatikan Ara dari kaca spion.
"Anak Ayah tumben pake rok? Kelihatan lebih cantik padahal, ya kan Ma?"
"Itu dress udah dibeli setahun lalu, Yah. Baru ini dipake coba!" Airina mendengkus kesal. Ara terkekeh di kursi belakang.
"Baru ketemu tadi, Ma!" Ara mengarang alasan. Padahal selama ini memang males pake rok, ribet. Ini aja kalau gak karena pengin cantik di depan Damar juga gak akan kepake.
'Segitu niatnya gue narik perhatian Kak Damar, coba!' Ara sedikit merutuki sikapnya ini. Bukannya kemarin-kemarin dia sudah memilih untuk memupus rasanya terhadap Damar? Tapi mengapa sekarang kelakuannya malah bertolak belakang?
"Tapi lebih cantik lagi kalau Ara pake dress-nya yang lebih panjang trus pake hijab kayak Mama," sindir Donni halus sambil tersenyum sayang.
"Hehe ... Iya Ayah, in sha Allah secepatnya!" Ara menyengir malu sambil memeluk Donni dari kursi belakang.
---
"Lah ... Cantik banget Lu, pake rok!" Sambut Danisha saat Ara dan keluarganya tiba.
Ara hanya membalas dengan cengiran.
"Lu sengaja dandan?" Shafa berbisik pada Ara saat bertemu di dapur bersih keluarga Danisha.
Ara hanya mencebikkan bibirnya tak menjawab. Diambilnya piring oval besar dari dalam lemari pantry. Ara sengaja memasak udang saus tiram untuk dibawa ke acara makan malam ini. Dia tau keluarga besar Danisha penggemar seafood.
"Sayang, Kak Damarnya gak ada!" sambung Shafa lagi sambil berbisik.
Ara merutuk dalam hati. Tapi tetap memasang wajah datar, seolah info dari Danisha tak penting.
Seperti dugaan Ara, Shafa akan dengan senang hati memberikan info ter-up to date tanpa diminta.
"Tadi siang Kak Damar dibikinin acara reuni kecil-kecilan ama temen-temen SMA nya sambil makan siang. Katanya sih bakal pulang sebelum acara makan malam dimulai. Tapi sampe sekarang belom nongol tuh! Udah jam tujuh ini, laper gue!" beber Danisha, tangannya mengelus perutnya yang mulai keroncongan.
Ara berusaha tetap santai walau hatinya kesal.
"Ara bawa apa, sayang?" tanya Dinda sambil berjalan menuju ke arah dapur bersih di mana Ara dan Shafa tengah berbincang.
"Udang saus tiram tante!" Ara tersenyum manis.
"Eh! Kamu kok cantik banget malam ini. Tumben pake dress?" Dinda yang baru sampai di dapur memperhatikan penampilan Ara dari atas ke bawah sambil memegang kedua bahu Ara.
"Uh ... Gemesh!" sambungnya lagi sambil mencubit pipi Ara pelan.
Danisha yang juga sudah sampai di dapur menyela sebelum Ara sempat menjawab.
"Sengaja dong Mam! Kali-kali aja, jadi ada yang batal berangkat!" celetuk Danisha sambil membuka pintu kulkas untuk mengambil botol air minum.
'Sialan si Danisha, dasar kampret ni anak!' Ara mengutuk mulut ember Danisha dalam hati. Matanya membulat melihat kelakuan Danisha.
Sementara Shafa tertegun kaget. Mengatupkan bibirnya kuat-kuat takut kelepasan tertawa.
"Maksudnya?" tanya Dinda tak paham.
Danisha hanya mengedikkan bahunya sambil minum dan melirik ke arah Ara.
Ara memandang ke arah Danisha dengan tatapan penuh emosi yang dibalas cengiran mengejek Danisha.
"Jangan dengerin Danisha Tante, asal jeplak aja nih ngomongnya!" Ara langsung menghampiri Danisha dan mencubit pinggangnya. Danisha terkikik sambil mengelus pinggangnya yang sakit.
Dinda memandangi Ara, rona wajahnya serius.
Ara yang salah tingkah, langsung meraih tangan Dinda. "Tante serius amat, jangan percaya Danisha, Tan!" rengeknya pelan, tak ingin kedengaran Mamanya apalagi Ayahnya.
"Kamu serius?"
"Eh ... Serius apaan Tan? Ish, udah ah. Ini ... Ara mau antar ini dulu ke meja makan," Ara segera menjauh dari dapur sambil membawa sepiring besar udang saus tiram yang dibawanya dari rumah tadi.
Dinda menatap Danisha dan Shafa bergantian.
"Sudah lama?"
Danisha dan Shafa berbarengan mengangguk pelan.
"Tapi cuma Ara doang kayaknya Ma," jelas Danisha lagi.
Menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan, Dinda senang-senang saja seandainya Ara memang menyukai Damar, tapi apakah Damar juga demikian?
Pada saat liburan kemarin, Dinda memang sering melihat Damar mengobrol dengan Ara, dan yang terakhir pada acara foto-foto sesaat sebelum kembali ke kota, Dinda beberapa kali memergoki Damar sedang memperhatikan Ara sambil senyum-senyum sendiri saat gadis itu sedang melakukan selfie.
Tapi, entah lah. Damar bukan tipe orang yang mudah ditebak.
Tbc...