MAMD-06

2073 Words
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.25 akhirnya Dewanto memutuskan memulai makan malam tanpa Damar. Di atas meja makan yang berkapasitas untuk 10 kursi itu penuh dengan hidangan yang menggugah selera. Masing-masing orang mulai mengisi piringnya dengan lauk pauk yang diinginkan. Suara dentingan sendok beradu dengan piring, serta celotehan Ammar dengan Shafa maupun Ara dengan Danisha menambah ramai suasana makan. Memang kurang baik bila makan sambil ngobrol, tapi ketiga keluarga ini tidak mempermasalahkan hal tersebut selama itu sesuai pada tempatnya, makan malam ini di rumah dengan suasana kekeluargaan, jadi anak-anak dibiarkan bebas. Selama itu masih sopan dan tidak mengganggu orang lain. "Udangnya enak nih, siapa yang masak, Ma?" Dewanto mengomentari menu makan malamnya. "Ara, Pa! Enak kan?" jawab Dinda sambil mengerling Ara. "Wah, pantesan enak! Ntar kalau kapan-kapan bikin acara lagi, minta Ara masakin menu ini, Ma," saran Dewanto. "Kemarin kuliahnya mending ambil sekolah masak deh, Ra. Kalau lulus bisa jadi chef. Langsung buka restoran sendiri," komentar Shafri sambil menikmati udang saus tiram buatan Ara. "Bener Kak, ntar aku jadi managernya!" celetuk Ammar. "Kok elu? gue lah!" Danisha gak terima. Semua tertawa melihat tingkah mereka. Rencana aja belum ada, udah rebutan duluan. --- "Assalamualaikum ...." Semua terdiam dan memandang ke arah asal suara ketika mendengar ucapan salam dari Damar saat dia memasuki ruang makan. "Waalaikumsalaaam ...." semua menjawab hampir berbarengan. "Akhirnya pulang juga. Makan gak?" sapa Dinda Damar belum sempat menjawab. "Eh, kak Sheila?" suara kaget Danisha menyela. "Assalamualaikum ... Hai, Danisha. Apakabar?" jawab perempuan yang dipanggil dengan nama Sheila itu sambil tersenyum manis. Sekali lagi semua orang di ruangan itu menjawab salam. "Lho, Sheila? Ya ampuuun ... Lama banget gak pernah main kemari lagi. Apakabar, Sayang? Ayo sini, duduk sini. Kalian belum makan, kan? Bentar tante suruh si Mbak ambil tambahan kursi." "Gak usah Tan, Shafa sama Ammar udah selesai. Duduk sini aja," Shafa menawarkan kursinya pada Damar dan perempuan bernama Sheila tadi. Mereka berdua kemudian segera pindah ke ruang keluarga yang masih berada satu ruang dengan meja makan. "Oh, ya sudah kalau begitu. Ayo Damar, ajak Sheila makan sini," lanjut Dinda sambil tersenyum. Damar dan Sheila berjalan menuju kursi yang ditinggalkan Shafa dan Ammar untuk mereka. Piring kotor bekas Shafa dan Ammar sudah berganti dengan yang bersih. "Jangan malu-malu Sheila. Sudah lama kan, kamu gak makan di rumah Om?" sapa Dewanto pada Sheila yang tampak sungkan. Belum ada suara yang keluar dari mulut Damar. Sampai dia duduk dan mulai mengisi piringnya dengan segala jenis lauk yang ada di atas meja makan. Kemudian menawari Sheila untuk diambilkan lauk apa yang dia inginkan. Ada yang ingat Ara? Ayolah, bagaimana wajah Ara yang kalian bayangkan saat ini. Tidak ada yang memperhatikan Ara? Salah! Shafa tentu saja tak mengalihkan pandangannya dari Ara, walaupun dia sudah pindah duduk ke kursi sofa di ruang keluarga. Shafa mencemaskan Ara. Dia tak tau siapa si Sheila-Sheila itu. Dia pun yakin Ara juga demikian. Wajah Ara terlalu datar, tak menunjukkan ekspresi apapun. Itu malah membuat Shafa lebih khawatir, karena Ara termasuk orang yang ekspresif, mudah terbaca moodnya. Semua perlakuan Damar kepada Sheila tak luput dari pandangan Ara. Damar seperti menghindari bersitatap dengannya. Ara duduk bersebelahan dengan Danisha dan Airina. Tadi, yang duduk tepat di depannya adalah Shafa, kursi di sebelah Shafa diduduki Ammar. Tapi sekarang posisi Shafa sudah digantikan oleh Sheila. Posisi duduk Ara saat ini benar-benar tak nyaman, netranya selalu ingin menatap perempuan di depannya. Ingin memindainya. Ara mempunyai feeling, perempuan ini berpotensi menyebabkannya patah hati ... lagi. Banyak pertanyaan yang terlontar dari Dinda dan Dewanto kepada Sheila. Tentang kegiatannya sekarang, tempat tinggalnya dan hal-hal remeh lainnya. Ara menguping walaupun tak fokus. "Udangnya enak tante!" ucap Sheila disela-sela perbincangannya dengan Dinda. Dinda terkesiap, dia teringat sesuatu. Memandang cepat ke arah Danisha. Wajahnya seketika berubah resah. Ara yang mendengar pertanyaan itu tak berani mengangkat wajahnya. Danisha tersedak. Damar yang tak mendengar jawaban sang Mama, memandang ke arah Dinda. Ia melihat perubahan rona wajah Mamanya. Tak ingin berlarut-larut membuat yang lain curiga. Dinda cepat- cepat menjawab, "Iya, enak banget kan? Itu masakan Ara. Dia kalau masak apa aja dijamin hasilnya enak." Dinda tersenyum kaku, menjawab sambil menatap ke arah tempat Ara duduk, sedikit menunduk dan memajukan kepalanya karena pendangannya terhalang Danisha. Danisha menyenggol lengan Ara pelan. "Dipanggil Mama gue tuh!" bisiknya pelan "Ha?" "Ish ... kata Mama, masakan lu selalu enak!" Danisha gemas. "Oo, eh! iya Tan, tapi gak selalu juga lah ... Ada gagalnya juga kadang," cengir Ara terpaksa, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Sheila yang ternyata kini tengah tersenyum manis ke arahnya. Sebelum kembali menatap piring makannya, sekilas Ara bersitatap dengan Damar. Ada yang berdenyut sakit di dadanya kala Damar memutus tatapannya. Para orang tua masih membahas dan memuji masakan Ara. Ara sudah tak mendengarkan lagi. Selera makan dan fokusnya sudah lenyap sejak kemunculan Sheila. "Cepetan siapin makan lu! Kita pindah!" bisik Danisha sangat pelan namun tegas, dia sudah bangkit dari kursinya. Susah payah Ara menghabiskan makanan yang tersisa di piringnya. Ia ingin segera beranjak dari sana. Meneguk kandas air putih di gelasnya, lalu pamit pada orang orang dewasa yang masih asyik berbincang di meja makan. Saat menunggu Ara beranjak dari meja makan, Danisha memperhatikan Damar yang sedang memandangi Ara. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Danisha mendengkus. Damar yang mendengar dengkusan Danisha beralih menatapnya. Bertatapan sejenak, Damar mengerutkan alisnya sedikit, sambil mengedikkan kepala, seolah bertanya 'kenapa?'. Danisha tak berekspresi, hanya memutar malas bola matanya. Ara dan Danisha bergabung dengan Shafa di sofa besar. Shafa tak sabar ingin mengorek info tentang si Sheila-Sheila itu. "Pacar Kak Damar waktu jaman SMA sampe kuliahan. Putus karena LDR kayaknya. Karena setau gue, Kak Sheila pindah kuliah karena orang tuanya pindah tugas ke luar pulau," kisah Danisha. "Waduh, clbk! Cinta lama belum kelar nih kayaknya," tuduh Shafa. Danisha menyentil kening Shafa tak suka. "Kenapa?" Shafa mengelus keningnya. Danisha hanya memelototkan matanya. Ara hanya menatap Shafa dan Danisha begantian, pandangannya tidak fokus. Bingung harus bersikap bagaimana. Rasanya Ara tak pantas untuk cemburu pada Sheila. Sheila juga tak pantas untuk dimusuhi. Bahkan perempuan itu tadi sangat ramah dan manis kepada Ara. Ara juga bukan siapa- siapa Damar, 'kan? "Ngomong dong, Ra! Jangan diem aja. Lagian belum tentu juga Kakak gue mau balikan ama dia, 'kan?" "Balikan juga gak 'papa! Emangnya gue siapa, bisa larang-larang? Aneh aja lu!" Ara memasang wajah santai. "Tapi muka lu pucet gitu, njing! Bikin takut gue!" Gantian kali ini Shafa yang menyentil kening Danisha. "Bahasa lu! Di rumah nih!" "Masa sih? Gak ngaruh dong lipstik gue?" Ara memonyongkan bibirnya, mencoba bercanda dalam keresahannya. Tidak ada yang tertawa, tidak Danisha, tidak juga Shafa. Kedua sahabatnya itu khawatir. Mereka pernah melihat Ara jatuh bangun melewati masa patah hatinya. Ara bukan orang yang mudah jatuh cinta. Tapi, sekalinya jatuh cinta, dia sangat setia dan tipe-tipe bucin. Susah digoyahkan. Membuat Ara menjadi susah dinasehati dan keras kepala alias menyebalkan. "Udah deh, gue mo ke dapur dulu. Pengen nyari yang dingin-dingin gue," Ara bangkit dari kursi dan beranjak ke dapur. "Jangan siram ke kepala ya!" celetuk Danisha. Shafa dan Danisha meledek sambil terkikik. "Preett ....!" balas Ara sambil menunggingkan dan memukul pantatnya sendiri. Kelakuan Ara itu terpantau oleh Damar yang ternyata juga sedang menuju dapur untuk mencuci tangannya di wastafel. Ia tersenyum tipis. Bagi Damar, Ara itu spesial, walau manja dan polos tapi dia selalu bisa menceriakan suasana. Keusilan dan celetukannya kadang bikin gemes. Jadi kalau Ara dalam keadaan badmood tuh langsung terdeteksi. Seperti saat ini, Ara tak mau melihat ke arahnya walaupun mereka saat ini berduaan di dapur. Letak kulkas dan wastafel itu berdekatan, tak sampai semeter jaraknya. Tapi Ara mengacuhkannya, seolah tak ada. "Sombong banget ya?" tegur Damar sambil menggosok tangannya dengan sabun. "Eh, ngomong sama aku?" "Iya lah, masa sama kucing, gak ada di sini." Damar telah selesai mencuci tangan dan mengeringkannya. Ara mendengkus pelan. "Biasa aja deh!" Ara mengeluarkan puding coklat dari dalam kulkas. Membawanya ke meja pantry untuk dipotong potong. Tadi Dinda sudah mengatakan akan menghidangkan puding coklat untuk makanan penutup. "Kamu kenapa Dek, hari ini jutek banget? PMS?" "Ish, apaan sih, sok tau. Kayaknya aku biasa aja! Kak Damar kali yang aneh, mentang mentang bawa cewe!" Ups! Keceplosan! Ara segera menutup mulut lemesnya. "Maksudnya?" "Gakda maksud apa-apa." Ara memasang wajah datar sambil menempatkan potongan puding ke piring-piring kecil. Damar memperhatikan Ara dengan serius. Damar ingat, dulu waktu awal-awal pertemanan Danisha dengan Ara di masa SMA mereka, Ara selalu mencuri-curi pandang dan cari perhatian padanya. Walau tak pernah ditanggapi oleh Damar, tapi Damar paham bahwa Ara ada hati dengannya. Masa itu Ara masih sangat belia, tomboy dan kucel, tak mungkin seorang Damar yang pada masa kuliahnya banyak digilai cewek-cewek di kampusnya, bakal tertarik. "Dia temen kakak waktu SMA dulu," terang Damar tanpa diminta. "Tadi ketemu pas reuni. Dia menawarkan diri untuk mengantarkan pulang, masa kakak tolak." Ara mengerutkan keningnya sambil menatap Damar. Merasa heran. "Kenapa Kakak jelasin itu sama aku, urusannya sama aku, apa?" Ara yang sudah selesai menata potongan puding segera beranjak dari dapur untuk membagikan puding ke meja makan, meninggalkan Damar yang masih terbengong mendengar pertanyaan Ara tadi. 'Sialan! Ni bocah mainin gue! Tadi aja, gayanya kayak orang cemburu, sekarang belagak gak perduli!' Jatuh sudah harga dirinya. Setelah kejadian di dapur, Ara susah didekati. Dia selalu nempel dengan Shafa dan Danisha. Belum lagi Sheila yang tak pernah jauh darinya. Damar jadi sulit mengkonvrontasinya lebih lanjut. Sampai akhirnya semua tamu mengucapkan selamat jalan kepada Damar dan permisi pulang ke rumah masing masing. "Temenmu kenapa, Dek?" tanya Damar pada Danisha ketika mereka berjalan beriringan masuk kembali ke dalam rumah. "Temen gue yang mana?" "Ck, Ara lah, pake nanya!" Damar mencebik kesal "Kenapa emangnya dia?" Danisha pura-pura tak perduli. "Ya gak tau, makanya kakak tanya kamu. Kenapa tadi kayanya dia jutek banget. Padahal malam ini dia cantik lho. Pengen digodain, tapi mukanya gitu banget." "Lah, emangnya Kakak punya waktu mau godain Ara, kan ada Kak Sheila yang nempel terus. Lagian, Kakak stop gangguin Ara deh!" "Hubungannya ama Sheila apa sih? Tadi juga Ara ngomong gitu." Damar menarik paksa lengan Danisha, mengajaknya duduk di sofa ruang keluarga. "Kak, aku capek pengen tidur!" "Bentar doang, kakak cuma pengen kejelasan." "Kejelasan apa? Apa yang mau Kakak dengar dari aku?" ketus Danisha. Dia bertekad malam ini urusan cinta Ara harus selesai. Dia tak mau Ara sahabatnya kembali patah hati, karena cintanya yang layu sebelum berkembang itu. "Ara masih jatuh cinta sama Kakak ya?" tanya Damar to the point. Danisha terkesiap. Tak menyangka Damar mengetahui perihal itu. Ditatapnya wajah Damar dengan serius. "Darimana Kakak tau Ara jatuh cinta sama Kakak?" "Dari dulu kalian masih SMA juga Kakak udah tau kalau Ara naksir Kakak, bahkan sampai sekarang, kan?" ucapnya percaya diri. "Karena itu, Kakak hobi jahilin dia?" "Mungkin! Tapi Kakak juga suka lihat wajah kesalnya kalau lagi ngambek dan wajah merahnya kalau lagi malu!" tawa Damar sambil membayangkan wajah Ara. "Kamu tuh jangan suka PeHaPe-in anak orang lho, Dam!" tiba tiba suara Dinda menyahut dari arah meja makan. "Seharusnya, kalau kamu udah tau Ara ada hati sama kamu dan kamu gak niat membalas, jangan malah kamu dekat-dekatin dia kayak gitu. Jangan-jangan kamu sebenarnya juga ada hati? Cuma gak peka, jadinya gak nyadar!" tuding Dinda. "Eh, e-enggak lah Ma. Mana mungkin aku pacaran ama anak ABG. Aku tuh udah saatnya nyari istri, bukan nyari pacar," elak Damar. Dinda sudah ikut duduk di sofa ruang keluarga. "Gak ada yang gak mungkin. Kalau sudah jodoh kamu bisa apa?" "Tapi aku gak mau Ara sampe jadian ama Kak Damar, Ma!" protes Danisha cepat. "Kenapa?" "Kenapa?" Dinda dan Damar bertanya bersamaan. "Gak mau pokoknya. Ntar kan Ma, kalau mereka bermasalah terus putus, kan aku yang bingung mau belain yang mana? Udah pasti Ara sih, tapi kan jadi awkward banget tuh!" Danisha menjelaskan alasan penolakannya sedari dulu. "Udah deh, balikan aja ama Kak Sheila sana! Aman gue," putus Danisha sambil memeletkan lidahnya ke arah Damar. Damar berdecih. "Aku ke kamar duluan ya Ma. Ngantuk!" Danisha mencium pipi Dinda kemudian berlalu meninggalkan Damar dan Dinda di ruang keluarga. "Kamu beneran gak ada perasaan apapun sama Ara, Dam?" Dinda bertanya pada Damar setelah beberapa saat saling diam. Damar membuang nafas kasar sambil menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan menengadahkan kepalanya menatap langit-langit rumah. "Ada sesuatu Ma, tapi aku belum yakin itu apa. Sekedar suka atau cinta, masih terlalu dini untuk ditafsirkan. Dan Mama dengar sendiri kan, sedari dulu Danisha pun gak akan memuluskan langkahku seandainya aku memang jatuh cinta pada Ara."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD