Cinta tak harus memiliki, petuah lama yang sepertinya harus Ara jalani saat ini.
'Cowok gak cuma Kakak gue!' pesan Danisha kala itu.
'Saatnya ekspansi ke hati cogan lain!' saran Shafa pula.
Seminggu yang lalu pada saat pesawat Damar yang akan membawanya kembali ke Australia akan boarding, dia menghubungi Ara. Mengucapkan salam perpisahan dan meminta maaf bila selama ini sering membuatnya kesal dan baper.
Walau tak secara langsung namun Ara paham, bahwa inti dari perbincangan mereka saat itu adalah meyakinkan Ara, bahwa Damar hanya menganggapnya sebagai adik. Titik!
Sakit, tapi Ara sepertinya sudah belajar dari pengalamannya menghadapi patah hati. Jadi cukuplah dua, tiga hari saja meratapinya.
Dinda yang merasa tidak enak dengan Ara, berkali-kali mengajak Ara untuk menginap di rumahnya. Tapi ditolak secara halus oleh Ara, dengan dalih banyak tugas dan sebagainya. Tentu saja Danisha memuluskan alibi Ara itu, dia juga tak ingin Ara malahan bertambah galau akibat perhatian mamanya.
---
Ara tidak ada jadwal kuliah hari ini. Namun Shafa sudah mendekam di kamarnya sejak pukul 7.15 tadi. Dia malas di rumah hari ini, karena penghuni rumahnya bakalan sibuk seharian, yang akan berdampak pada dirinya yang wajib bantu-bantu ini itu di dapur. Hari ini mamanya akan mengadakan acara arisan RW di rumahnya.
'Daripada riweuh, mending ngacir ke rumah Ara'. pikirnya tadi.
"Serius banget mantengin hape, liat apaan sih?" Shafa menarik tangan Ara yang sedang memandangi ponselnya.
"Wah, lu stalking IG nya Kak Damar? Lho, itu si Sheila-Sheila itu kan? Emangnya dia lagi di Australia?" Shafa memberondong Ara dengan pertanyaan.
"Ish, mana gue tau. Ini juga karena muncul di timeline gue, makanya gue liat. Kak Damar kan jarang banget posting."
"Lu masih sering chat-chat an ama Kak Damar?"
"Ada sih, tapi jarang gue ladenin. Ntar gue baper lagi, ribet lagi urusannya. Apa lagi nih, ada postingan beduaan gini. Ish ... untung gue udah tobat naksir Kak Damar!" rutuk Ara kesal, sambil nyengir masam. Shafa terkekeh mendengarnya.
"Danisha jadi kemari gak sih? Udah hampir jam sepuluh ini, belom nyampe juga. Telpon gih, Ra!"
"Tadi dia chat gue pas baru jalan dari rumahnya. Paling dua puluh menitan lagi nyampe."
Tepat dupuluh lima menit kemudian, akhirnya Danisha sampai lengkap dengan sepiring roti bakar coklat keju.
"Tumben lu, datang bawa makanan?"
sapa Ara dengan mata berbinar ketika melihat Danisha masuk ke dalam kamar sambil membawa piring berisi makanan.
"Ofcourse, donk! Gue kan sohib teladan!" jawab Danisha menyombongkan diri
"Eeleeh .... " Shafa menoyor kepala Danisha pelan. Danisha memeletkan lidahnya pada Shafa.
Ara tak percaya begitu saja. Diperhatikannya roti bakar yang dibawa Danisha dengan seksama.
"Sohib teladan emang sih, baik banget udah bawain roti bakar dari dapur emak gue ke kamar, 'kan!" sindir Ara sambil terkekeh.
"Tuh kaaaan ...." cetus Shafa lagi. Danisha tertawa sambil mengelak dari lemparan bantal Shafa.
"Eh, betewe ya Sha. Itu kakak lu, posting foto di IG ama Kak Sheila. Emang dia lagi Australia?" Shafa si biang kepo beraksi.
"Emang ada postingan?" Danisha langsung membuka aplikasi i********: di ponselnya.
Ara hanya memperhatikan dari atas tempat tidurnya. Sementara Shafa dan Danisha tengah serius mencari postingan di akun Damar sambil menelungkup di karpet.
"Njiiirrr ... ! Beneran ternyata!" Danisha memekik.
"Gue gak tau seserius apa hubungan mereka. Kak Damar gak ada cerita apa-apa." Danisha langsung mengirimkan pesan pada Damar minta penjelasan.
"Girls, cek grup kampus di wa. Ada bonus dari asdos matkul Chokai ntar pukul 14.30.
Ada temennya datang dari Jepang, lumayan bisa nambah nilai kalau datang. Minat gak?" Ara menatap Danisha dan Shafa bergantian. Kedua gadis itu masih sibuk dengan ponselnya masing-masing.
"Boleh juga tuh, daripada bengong di rumah, ayo lah! Ini masih jam sebelas-an. Mandi, gih, Ra!" perintah Shafa.
"Ntar dzuhuran di kampus aja, cepetan lu, mandi!" Danisha memukul kaki Ara yang menjuntai dari tempat tidur, karena Ara belum bergerak juga ke kamar mandi.
"Iya-iyaa, ish!"
---
Hampir pukul 13.00 mereka bertiga sampai di kampus. Langsung menuju musholla untuk melaksanakan sholat dzuhur.
Musholla tampak ramai. Ara dan kedua temannya memang jarang sholat dzuhur di kampus, karena jam mata kuliahnya lebih banyak pagi hari dan ketika masuk waktu dzuhur, mereka selalunya sudah pulang.
"Aaww ... ! Ish, hati-hati dong! Batal kaaan wudhu gue!" Ara memelototi laki-laki yang baru saja tak sengaja menyenggolnya karena bercanda dengan temannya saat keluar dari tempat wudhu.
Tempat wudhu laki-laki memang bersebelahan dengan perempuan.
"Eh, maaf-maaf ... gue gak sengaja. Ini nih temen gue iseng banget!" Laki laki itu menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya sambil masih menahan tawa.
"Kenapa, Ra?" Shafa yang baru keluar dari kamar wudhu menghampiri.
"Disenggol! Batal lah wudhu gue," gerutu Ara kesal. Shafa memandang galak ke arah laki-laki itu.
"Bukan disenggol, gue gak sengaja, beneran!" Dia mengangkat tangannya dan mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.
"Dah, ah!" Ara langsung beranjak kembali kedalam kamar wudhu meninggalkan laki-laki itu, diikuti Shafa.
Mereka bertemu Danisha di pintu masuk kamar wudhu.
"Kok balik lagi?"
"Wudhu Ara batal, disenggol cowo ganteng!" Shafa terkikik sambil menjelaskan.
"Apaan sih? Ganteng dari Hongkong!" Ara melengos masuk ke dalam untuk berwudhu lagi.
"Emang ganteng?" Danisha menoel bahu Shafa yang sedang berjalan di depannya ke arah musholla.
"Iya! Hihi ... Ada lesung pipinya," cengir Shafa. Danisha mengangguk-angguk dengan wajah penasaran.
Ara yang baru keluar lagi sehabis berwudhu, berjalan lebih hati-hati kali ini. Tak ingin tersenggol dan harus mengulang lagi wudhunya.
Tak disangka, ternyata cowok yang dikatakan Shafa ganteng tadi juga baru keluar dari kamar wudhu. Mereka bertatapan sejenak. Laki-laki itu tersenyum, memunculkan lesung pipinya.
Ara yang masih kesal memalingkan wajahnya tanpa membalas senyum. Bergegas menuju pintu musholla bagian wanita.
Sepuluh menit mereka habiskan di dalam musholla untuk sholat. Danisha yang tadi tidak bertemu dengan "cowo ganteng berlesung pipi" kata Shafa itu, merasa kesal sendiri.
"Masa sih kalian gak pernah lihat?"
"Emang gak pernah! Anak siang mungkin," ketus Shafa sambil duduk di tangga musholla memasang sneakers-nya.
"Udah deh, bahas itu mulu. Kalau jodoh ntar juga ketemu lagi!" pungkas Ara yang bosan mendengar pertanyaan Danisha.
"Hai, jodoh!"
"Eh!" Ara berjengit kaget.
Ketiga sahabat itu segera berpaling ke arah suara di belakang mereka.
Ara langsung memalingkan wajahnya tak peduli kala mengetahui siapa si pemilik suara. Menyusul Shafa —yang hampir selesai memakai sepatunya— duduk di tangga untuk memakai sneakersnya sendiri.
Danisha yang hari ini memakai slip-on shoes sudah selesai dengan sepatunya, berdiri di undakan tangga terakhir, memperhatikan interakasi Ara dengan laki-laki berlesung pipi itu.
Ara menyesal kenapa tadi dia memilih pakai sneakers karena memakainya butuh proses, sementara saat ini dia ingin cepat-cepat pergi menjauh dari laki-laki itu.
"Hei, aku beneran mau minta maaf. Masa gak dimaafin sih? Dosa lho!" Laki-laki itu ikutan duduk di tangga, berjarak kira-kira setengah meter di samping Ara.
"Jangan dekat-dekat, bukan mahram!" ketus Ara masih sambil membenahi tali sepatunya.
"Sorry!" Laki-laki itu bergeser sedikit menjauh sambil meringis.
Danisha dan Shafa yang menyaksikan itu semua, terkekeh geli. Ara kadang memang sejutek itu.
"Cakep, 'kan?" bisik Shafa pelan di dekat telinga Danisha. Danisha pun mengangguk setuju.
"Anak mana sih? Gak pernah lihat gue?"
Shafa hanya mengedikkan bahunya tanda tak tahu.
"Yuk!" Ara langsung bergegas menuju tempat kedua temannya berdiri menunggu.
"Cuss lah, laper gue!" sambut Shafa.
Mereka memang akan singgah ke kantin dulu untuk makan siang, baru kemudian menuju ke kelas Chokai.
"Lah, kok ditinggal sih! Lo belom maafin gue, by the way!" Laki-laki itu terus saja menyejajarkan langkahnya dengan Ara.
Temannya mengikuti dari belakang sambil menahan geli melihat ulah si laki-laki berlesung pipi itu.
Ara mendengkus kesal.
"Udah gue maafin, puas?" Ara tak menghentikan langkahnya. Demikian juga laki-laki itu.
"Sekarang apa lagi? 'Kan udah gue maafin, kok masih ngikutin?" Ara yang kesal akhirnya menghentikan langkahnya. Menatap galak pada laki-laki itu.
"Nama gue Samudra." Laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Ck ... !" Ara memutar matanya kesal. Kalau gak diturutin pasti panjang nih dramanya.
"Ara, nama gue Ara! Gak usah pake salam-salaman, bukan mahram!" Ara mengulangi kata-katanya dan melanjutkan langkahnya menuju kantin.
Uluran tangannya tak mendapat balasan, akhirnya Samudra dengan kikuk menarik kembali tangannya dan berpura pura menyugar rambut pendeknya.
Samudra memandang ke arah temannya yang bersamanya sholat di musholla tadi. Cengiran tak lepas dari bibirnya.
"Namanya Ara, Dim!" kekehnya pelan kala temannya yang bernama Dimas itu mendekatinya.
"Anak kampus sini? Prodi apa?"
"Sial! Gue lupa nanya!"
"Lah, si bego!" Dimas menertawakannya
"Hampir tiap hari kita sholat dzuhur dan maksi di kantin sini, kok gk pernah ketemu ya?" Samudra dan Dimas berjalan menuju kantin. Mereka memang hampir setiap hari makan siang di kantin Fakultas Sastra, karena menu di kantin ini lengkap, berbeda dengan kantin kampus Fakultas Teknik mereka.
"Lantas, sekarang gimana? Kehilangan jejak lu!" ledek Dimas.
"Dia ke kantin juga kayaknya. Temennya tadi bilang lapar." Samudra terkekeh sendiri mengingat kejutekan Ara.
"Ngebet banget lu, baru juga ketemu sekali ini!" Dimas kembali menertawakan Samudra.
"Gue juga heran. Tadi pas sholat gue sampe gak konsen. Haha ..., Baru kali ini gue dijutekin cewek gara-gara hal sepele. Jadi penasaran."
Dimas hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Samudra. Sudah lama Dimas tak melihat Samudra dekat dengan perempuan, walaupun banyak yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada Samudra. Tapi Samudra selalu berhasil menghindar dan menolak mereka secara halus.
Samudra itu bukan tipe-tipe cowok cool seperti di novel-novel. Dia justru tipe cowok usil tapi ramah. Namun dengan lesung pipi dan bentuk badan yang cukup atletis karena hobinya bermain basket dan voli, cewek-cewek banyak yang gampang baper kalau sudah disenyumi oleh Samudra.
Samudra masuk ke kantin bersama dengan Dimas, di sana telah menunggu tiga orang teman mereka yang telah lebih dulu menempati meja pojok langganan mereka.
"Lama banget sholatnya bro? 'Dah datang ini, makanan kami. Gak tau tadi mau kupesankan apa. Ku telpon hape mu gak diangkat-angkat!" Dovan salah satu teman Samudra menyambut kedatangan mereka.
"Tadi doanya khusus bro, jadi harus lebih khusuk biar cepat terkabul!" canda Samudra sambil menarik kursi kosong di sebelah Dovan.
"Lu yang pesanin, ya, Dim. Gue nasi soto aja sama es teh tawar." Samudra menitipkan pesanannya pada Dimas.
Kantin ramai seperti biasa. Samudra mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Ara dan teman-temannya.
"Nyari siapa sih lo, dari tadi celingak-celinguk?"
"Cewek, Ris! Baru kenalan gue. Lupa nanya dia anak fakultas mana. Hehe ...."
"Tumben lo nyari cewek? Dah sembuh lo?" kekeh Arya
"Anjiir!" Samudra melempar dua butir kacang yang sedang dimakannya sambil tertawa.
"Pengin tau aku yang mana orangnya. Anak Sastra atau anak mana?" Dovan dengan logat bataknya ikut penasaran.
"Nah, itu tadi, gue lupa nanya. Hahaha ....! Samudra tertawa diikuti sorakan ketiga temannya yang lain, yang kemudian melemparinya dengan kulit kacang.
Dimas datang sambil membawa nampan berisi pesanannya, dan satu nampan lagi pesanan Samudra dibawa oleh karyawan kantin.
"Cewek lo ada di pojok sana ama temennya. Anak Sastra Jepang dia, masuk pagi. "KuPu-KuPu" alias Kuliah Pulang - Kuliah Pulang. Makanya gak pernah ketemu," info Dimas sambil terkekeh.
"Darimana lo tau?"
"Nih, tanya si Andi, dia kenal," lanjut Dimas.
"Serius lu kenal, Ndi?" Samudra berdiri dari kursinya. Andi mengangguk.
"Gak kenal banget lah, cuma tau aja."
"Lah, lu mau kemana, Cong?" tanya
Arya pada Samudra. Samudra biasa dipanggil teman-temannya dengan panggilan "Cong atau Acong", karena kulitnya yang paling putih diantara mereka.
"Mau nyamperin, minta nomor WA nya!" cengir Samudra.
"Ikut ah, gue pengen lihat!" Arya penasaran.
"Gue juga!" Haris bangkit dari duduknya tak mau ketinggalan.
"Jangan lah, keramaian. Entar tu cewek malah kabur! Arya aja. Lu kapan-kapan!" tolak Samudra pada Haris. Haris mencibir kesal tapi menurut saja.
Samudra berjalan bersisian dengan Arya. Banyak mata tak putus memandang mereka. Terutama para mahasiswi. Dengan tinggi mereka yang menjulang, kulit Samudra yang putih, Arya yang sawo matang dan tubuh atletis mereka, cukup membuat mata enggan berkedip.
Keduanya memang sering makan siang atau sekedar nongkrong di kantin itu, sejak awal-awal jadi mahasiswa. Bagi warga kantin ataupun yang sering nongkrong di sana, pasti sudah familier dengan wajah mereka dan ketiga temannya yang lain.
Mereka berlima sering menghabiskan waktu di sana sambil menunggu jadwal kuliah ataupun jadwal latihan team basket mereka.
Ya, mereka berlima adalah anggota inti team basket Fakultas Teknik. Tak heran bila banyak mahasiswi yang sengaja mencari cari perhatian mereka bila sedang berada di kantin.
"Eehh ... Kak Sam tuh!"
"Kak Arya juga, Iihh ... Gemeess!"
"Minta foto bareng boleh gak ya?"
"Cakep banget siiih!"
"Pengen jadi pacarnya, sumpah!"
Tiba-tiba meja di sebelah Ara berisik sekali. Menarik perhatian Ara dan Shafa. Ara memandang ke arah yang mereka bicarakan tadi. Mata Ara membulat lebar begitu menyadari siapa yang mereka ributkan.
Segera mengalihkan pandangannya kembali ke piring makannya yang masih bersisa seperempat lagi. Jantungnya tiba-tiba berdegup cepat.
'Pliiis, jangan kesini, jangan kesini ....' Doa Ara dalam hati.
Shafa yang juga memperhatikan meja sebelah, terkekeh pelan menyenggol lengan Danisha yang sedang memainkan ponselnya. Dia sedang berbalasan chat dengan Damar. Danisha segera menatap Shafa.
"Lihat tuh, siapa yang lagi jalan ke sini." Shafa terkikik geli, diikuti Danisha. Mereka menendang-nendang pelan kaki Ara di bawah meja. Menggodanya, karena Ara sudah memasang wajah juteknya sekarang.
Cewek-cewek di meja sebelah semakin berisik karena Samudra dan Arya berjalan semakin mendekat ke arah meja mereka.
Shafa dan Danisha tak kalah excited. Mereka memasang senyum manis menanti Samudra dan Arya sampai ke meja. Sementara Ara masih berusaha menikmati sisa makan siangnya.
Samudra membalas senyum dan melambaikan tangan pada Shafa dan Danisha. Arya jadi tau meja mana yang akan dituju. Namun dia bingung, ada tiga cewek yang sedang duduk di meja itu, kelihatannya manis-manis semua. Yang dua dari jauh tampak ramah menyambut mereka, tapi yang satunya tak perduli dan masih santai menyantap makanannya. Yang mana incaran Samudra?