Ian Bastian duduk di sudut bar “Eclipse”, salah satu bar terbaik untuk kalangan menengah ke atas. Bar malam itu sangat ramai, karena ada pertunjukan penyanyi jazz dari Ibukota. Ian datang bersama tiga orang temannya, penerus tiga keluarga kaya di kota itu. Dia duduk di sudut itu, seolah terpisah dari semuanya. Suara musik yang bergema dan tawa orang-orang di sekitarnya seolah-olah jauh dari jangkauannya. Dia tidak ikut tertawa, tidak ikut dalam percakapan yang biasanya dengan mudah bisa menarik perhatiannya. Gelas anggur di tangannya hampir kosong, dan ia menenggaknya sekali lagi, berusaha memadamkan rasa frustrasi yang menyusup ke dalam pikirannya. Sorot mata Madeline yang dingin dan acuh tak acuh kembali saat dia datang menemuinya terlintas di pikirannya, seperti film yang terus dip