“Madeline, ayo bercerai!”
Suara itu terdengar seperti petir di telinga Madeline.
“Kenapa, Ian? Apa salahku? Apakah aku tidak cukup menjadi istri yang baik buatmu?” Madeline menatap suaminya, yang berdiri tiga langkah di hadapannya dengan sorot mata terkejut.
“Aku tidak mencintaimu, Madeline! Tidak akan pernah bisa mencintaimu! Aku tidak bahagia dengan pernikahan ini. Jadi lebih baik kita akhiri sekarang,”
Madeline sudah menduga, Ian pada akhirnya akan mengucapkan kalimat itu dengan lugas. Namun dia tetap saja merasa syok dan sangat sakit hati ketika suaminya ini mengucapkan kalimat kejam mengenai perceraian.
Jadi semua yang telah dia lakukan tidak berarti sama sekali untuk Ian Bastian. Madeline berdiri di sana dengan tubuh gemetar, mengingat semua rasa sakit, penindasan dan perasaan kesepian karena diabaikan, yang sudah dia terima selama menjadi menantu keluarga Bastian.
Bukannya berusaha mencintainya, Ian malah ingin menyingkirkannya.
“Kamu menceraikanku karena wanita itu, kan? Kamu tidak sadar, kesan tidak berdaya wanita itu hanya tipuan, Ian!”
“Jangan membela dirimu dengan menjelekkan Carla. Dia jauh lebih baik darimu!” sergah Ian dengan emosi mulai meluap, sepasang matanya menatap Madeline penuh amarah.
Madeline terdiam. Jadi akhirnya begini.
Kesuraman memenuhi wajah cantik Madeline.
Ian lagi-lagi membela wanita itu.
Madeline merasa tertampar oleh kata-kata suaminya yang tanpa perasaan. Tapi dia tidak akan menyerah. Dia tidak akan membiarkan semua usahanya selama tiga tahun ini berakhir sia-sia seperti ini. Dia bisa memaafkan kesalahan Ian, dan akan mencoba beberapa tahun lagi untuk memperjuangkan cintanya.
"Madeline, sebagai balas budi atas semua yang sudah kau lakukan selama tiga tahun ini, aku akan membelikanmu apartemen dan mentransfer sejumlah uang di rekening pribadimu. Aku akan menjamin kehidupanmu selama beberapa tahun ke depan. Kalau ada hal lain yang ingin kau tambahkan, katakan saja. Aku akan berusaha memenuhinya." Ujar Ian setelah Madeline hanya menatapnya tanpa bicara.
Suara Ian melunak, karena dia yakin Madeline tidak akan menolak tawarannya yang begitu murah hati.
Namun tanggapan Madeline berbeda.
“Tidak, Ian! Kita tidak akan pernah bercerai!” Kata Madeline tegas, walaupun suaranya bergetar.
Dia tidak akan menyerah. Dia tidak akan membiarkan rubah betina itu menghancurkan pernikahannya.
Madeline berdiri tegak di hadapan Ian dengan wajah penuh tekad.
***
Beberapa jam sebelumnya.
Madeline duduk di meja makan bulat yang ditata dengan sangat apik. Lilin-lilin berkerlip lembut, menciptakan suasana romantis di balkon kamar mereka. Di atas meja, hidangan mewah yang telah ia persiapkan dengan penuh cinta menunggu untuk dinikmati.
Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga, dan Madeline berharap ini akan menjadi malam yang istimewa. Setidaknya hari ini dia masih memimpikan keajaiban itu terjadi, sekalipun hari ulang tahun pernikahan mereka dua tahun sebelumnya selalu menjadi mimpi buruk baginya.
Kali ini Madeline memilih menyiapkan perayaan kecil ini di balkon kamar mereka, menghindari dirinya dipermalukan oleh ibu dan adik-adik Ian seperti pada tahun lalu.
Madeline mengenakan gaun putih elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya sempurna. Setiap detail dipersiapkan dengan teliti untuk menyambut Ian, suaminya.
Namun, jam terus berdetak, dan suasana di sekelilingnya semakin dingin.
‘Kamu kemana, Ian?’
Madeline menatap kilauan lampu dari gedung-gedung di kejauhan. Dalam hati dia berdoa agar kali ini Tuhan melembutkan hati Ian dan mau melihat betapa dia mencintai pria itu.
Namun waktu terus berlalu, tanpa tanda-tanda kehadiran Ian. Harapan di hati Madeline mulai memudar. Namun dia terus menunggu, menatap pintu dengan penuh harap setiap kali mendengar suara di luar.
Malam semakin larut. Lilin-lilin mulai meleleh, dan makanan di atas meja sudah tidak lagi hangat. Madeline merasa matanya semakin berat, tapi hatinya menolak menyerah.
Dia memutuskan untuk menunggu sedikit lebih lama, berharap Ian akan datang dan merayakan malam spesial ini bersamanya. Namun, kelelahan akhirnya menguasai, dan dia tertidur di atas meja, wajahnya bertumpu di atas lengannya.
Suara pintu yang disentak membuka dengan kasar membangunkan Madeline. Dia terhuyung-huyung bangun, melihat Ian melangkah lebar melintasi ruang kamar menuju ke balkon.
Suaminya sudah pulang. Madeline tersenyum, namun seketika raut gembira di wajahnya berubah khawatir.
Suaminya tampak berantakan, rambutnya acak-acakan. Mungkin dia mabuk. Tapi tidak ada bau alkohol dari tubuhnya saat dia mendekati Madeline.
Tatapan sinis terpancar dari matanya. "Hal konyol apa lagi yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada penuh ejekan.
Madeline mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadarannya. "Ian, ini... ini ulang tahun pernikahan kita yang ketiga. Aku menyiapkan semuanya untuk kita."
Ian mendengus. "Aku tahu, tapi aku tidak peduli. Apakah kamu benar-benar berpikir aku akan merayakannya?"
Madeline merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Ian. "Aku hanya ingin kita merayakan bersama kali ini, Ian."
Ian mendekat, tangannya menggebrak meja dengan keras. "Sudahlah, Madeline! Semua ini hanya omong kosong. Aku lelah dengan semua drama ini."
Madeline tergugu dalam kebingungan dan rasa kecewa.
Ian Bastian tidak pernah mencintainya.
***
“Mari kita bercerai, Madeline!”
Ian kembali mengucapkan kalimat yang menghancurkan semua mimpi Madeline itu. Dia mengabaikan kata-kata penuh tekad Madeline sebelumnya.
“Tidak, Ian. Aku tidak mau bercerai!” Madeline kembali menjawab tegas.
“Kamu jangan mempersulit urusan ini, Madeline! Aku tidak meminta pendapatmu!” Ian menatapnya, semakin marah. Kedua tangan yang terkepal di samping tubuhnya gemetar.
Madeline balas menatap suaminya dengan penuh tekad. Wajah tampan Ian dan sorot matanya sedingin es. Tapi Madeline tidak peduli. Dia tidak akan menyerah, terlebih untuk wanita licik itu.
“Sampai kapan pun, kita tidak akan bercerai!”
“Madeline!”
“Ian..” Suara lembut seorang wanita mengusik ketegangan di antara mereka.
Serentak kepala Ian dan Madeline menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka.
Carla Ellis, sedang duduk di atas kursi roda, didorong melewati pintu oleh seorang pelayan wanita.
Sang pelayan segera pergi setelah melihat tanda isyarat wanita itu.
“Carla, kenapa menyusul ke sini? Aku memintamu untuk menunggu di kamar.” Ian berjalan cepat ke arah wanita itu dengan raut khawatir.
Madeline menggigit bibirnya, melihat perubahan mendadak ekspresi suaminya yang semula begitu garang, seketika menjadi sangat perhatian dan hangat.
‘Dia tidak pernah bersikap begitu padaku.’ Pikir Madeline ironis.
“Kakiku sakit sekali, Ian, mungkin karena tadi terbentur kepala tempat tidur.” Suara wanita itu terdengar jelas penuh rengekan.
“Oh. Ayo kembali ke kamar. Aku akan memijit kakimu,” Berkata lembut, Ian segera berdiri di belakang wanita itu dan mendorong kursi roda berbalik keluar kamar.
Wanita itu sekilas menoleh padanya, senyum penuh kemenangan terukir di bibirnya.
Madeline hanya bisa berdiri dengan tubuh gemetar, melihat kedua orang itu pergi.
Carla Ellis. Dia penyebab semua ini.