Bab 2

952 Words
Madeline duduk sendirian di balkon dengan pencahayaan minim. Matanya sembab oleh air mata terus mengalir tanpa bisa dicegah. Merasa kesepian dan terlantar. Lilin-lilin yang sudah lama padam menjadi saksi bisu dari malam yang seharusnya penuh kebahagiaan, namun berubah menjadi mimpi buruk yang menghancurkan. Kenangan tentang hari pernikahannya dengan Ian kembali melintas. Dia teringat bagaimana dirinya menjadi istri Ian. Dia adalah istri pengganti. Saat itu, Ian Bastian sedang bersiap-siap menikahi wanita pilihan orang tuanya. Namun, pada hari pesta pernikahan, wanita pilihan itu justru ketahuan hamil dengan laki-laki lain. Ian yang berhati dingin dan kejam langsung menendang wanita itu keluar dari kehidupannya. Ian dan keluarganya langsung mencari pengantin pengganti. Pilihannya jatuh pada Madeline Seana, staf baru di kantornya yang cantik dan berhasil membuat pria itu menandatangani beberapa kontrak besar. Madeline berada di tengah kesibukan menjelang pernikahan bosnya itu untuk membantu persiapan pesta. Madeline tahu, Ian memilihnya karena pria itu sudah sangat terjepit – pemberkatan pernikahannya tinggal satu jam lagi – dan Madeline Seana ada di sana sebagai satu-satunya pilihan. Bagi Ian dan semua orang di sana, Ini hanya kebetulan. Tapi Madeline tahu, Tuhan berpihak padanya dan telah memberinya jalan untuk menikah dengan lelaki yang dia cintai. Dan Madeline tetap bertahan sampai hari ini untuk memperjuangkan cintanya. Madeline masih duduk di sana, di tengah terpaan angin malam yang semakin dingin. Cuaca akhir-akhir ini lebih sering hujan dan agak berangin. Tubuhnya sedikit menggigil, merasakan hembusan angin di punggungnya yang terbuka. Madeline mengabaikannya dan tetap duduk di sana, menatap hidangan yang dia masak sendiri, yang sama sekali tidak disentuh. Malam penuh ironi. Dia sudah berupaya menyiapkan hidangan yang ditata apik layaknya menu fine dining, namun berakhir dengan ajakan perceraian dari suaminya. Dan semua karena wanita bernama Carla Ellis. Senyum penuh kemenangan Carla Ellis terus membayang di benak Madeline. Rasanya Madeline ingin mengacak-acak wanita itu, tapi Ian terlalu melindunginya. Ian menjaga wanita itu seperti vas cristal yang rapuh, sama sekali tidak mau mempercayai kalau ketidakberdayaan wanita itu palsu. Madeline menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. Dia menatap cincin pernikahan di jarinya, mengenang bagaimana dia terjebak dalam pernikahan dengan cinta tak berbalas. Tiga tahun sudah, dan tetap menjalaninya dengan sabar, karena dia mencintai Ian. Madeline Seana sudah melangkah sejauh ini, meninggalkan keluarganya dan kenyamanan hidupnya demi meraih impiannya, menikah dengan pria yang ia cintai. Karena itu, walaupun hanya menjadi istri pengganti, Madeline mempersembahkan seluruh cinta dan dedikasinya pada Ian dan keluarganya. Dia berharap, dengan melakukan semua itu, dia dapat melembutkan hati Ian dan memiliki cintanya. Kedua tangan Madeline mengepal kuat, teringat bagaimana Ian meninggalkannya begitu saja demi wanita itu. Malam ini kekejaman Ian semakin membuka matanya. Pria itu tidak pernah menghargai kehadirannya dan semua pengorbanannya. Madeline semakin menggigil karena terpaan angin musim hujan yang dingin di punggungnya yang terbuka. Namun Madeline tidak juga beranjak dari sana. Setidaknya dengan tetap bertahan di sana, menikmati rasa sakit mengenang semua pengorbanannya yang sia-sia, Madeline bisa menjaga pikirannya tetap waras. Tiba-tiba ponsel Madeline bergetar. Ketika dia membukanya, terpampang foto-foto mesra Carla dengan Ian, suaminya. Kembali lagi wanita itu mengirim foto-foto mereka pada Madeline. Ini adalah foto terbaru mereka. Pose mereka di atas ranjang terlihat begitu intim. Senyum lebar Ian menunjukkan perasaannya, betapa dia sangat bahagia bersama Carla Ellis. Sekujur tubuh Madeline yang sudah mengigil sejak tadi seketika membeku. Pelak0r itu bahkan tidak merasa malu mengirimkan foto-foto itu pada Madeline yang masih istri sah Ian. Harga diri Madeline terluka. Ini adalah malam anniversary pernikahannya dengan Ian Bastian. Dia sudah mendengar ajakan perceraian Ian, yang meremukkan kebahagiaannya. Lalu sekarang, mereka mengirimkan foto-foto tidak senonoh padanya, Cukup sudah. Dalam waktu demikian cepat, Madeline mengambil keputusan. Dia akan mengabulkan permintaan Ian untuk bercerai, namun dengan satu syarat. *** Pagi hari. Rutinitas sarapan pagi berlangsung di rumah keluarga Bastian. Madeline duduk di meja makan, berusaha menahan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Moodnya amburadul setelah semalam tidak tidur. Penampilannya mungkin terlihat mengenaskan di hadapan semua orang yang duduk mengelilingi meja makan besar itu. Di sana ada Vonny, ibu Ian, yang duduk di seberang Madeline. Lalu Rina dan Moren, kedua adik Ian, duduk mengapit sang ibu. Dan satu sosok yang melihatnya duduk di meja makan pagi ini dengan wajah tanpa dosa, Carla Ellis. Wanita itu duduk paling dekat dengan Ian. Ian duduk di ujung meja, wajahnya penuh ketegasan dan dingin. Ibu dan kedua adik Ian pasti mengetahui apa yang terjadi semalam, tetapi mereka berlagak tidak tahu. Madeline menikmati sarapan dalam diam, hingga Ian mulai berbicara. "Madeline, mari kita bicarakan ini secara dewasa. Aku ingin perceraian kita berjalan lancar. Jangan khawatir, kau tidak akan kekurangan apapun. Aku akan memberikan kompensasi yang besar untuk menjamin hidupmu selanjutnya." Madeline mengangkat wajahnya, menatap Ian dengan mata yang penuh luka namun tegas. Sebelum dia bisa menjawab, ibu Ian, Vonny, tertawa kecil dan berbicara sinis. “Dia hanya mengejar uangmu, Ian. Beri saja jumlah yang dia inginkan, agar dia secepatnya pergi dari sini.” Adik-adik perempuan Ian, ikut menertawakan nasib buruk Madeline. Rina menyeringai sinis. "Kasihan sekali. Dia tidak akan bisa bertahan tanpa dukungan finansial kita." “Aku tidak butuh apapun dari kalian!” Sela Madeline. Dia tidak tahan lagi mendengar ejekan demi ejekan yang ditujukan padanya. Carla Ellis menatap Madeline dengan tatapan prihatin. "Madeline, kau harus realistis. Ian hanya ingin yang terbaik untukmu. Jangan bertahan pada keangkuhanmu. Terima saja tawaran Ian yang sangat murah hati ini." Kata-katanya terdengar bijaksana, menutupi kebusukan hatinya. Madeline lelah dengan semua sandiwara ini. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, lalu dengan suara tenang, dia kembali berbicara. "Ian, aku tidak membutuhkan kompensasi darimu. Aku setuju untuk bercerai, tapi aku punya satu syarat." Ian mengerutkan kening, bingung dengan ketenangan Madeline. Ini terasa aneh, mengingat semalam Madeline menolak perceraian dengan tegas. "Apa syaratmu?" Ian bertanya curiga. "Aku ingin kamu mengatur pesta perayaan ulang tahun pernikahan kita pada hari Sabtu depan." Jawab Madeline tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD