Bab 3

994 Words
Bab 3 Ruangan itu hening sejenak. Ian memandang Madeline dengan tatapan bingung dan tidak percaya. Begitu juga dengan Vonny, adik-adik Ian dan Carla. Di mata mereka, Madeline adalah gadis desa miskin yang bersedia menikahi Ian karena uang dan kenyamanan hidup yang diberikan oleh pria itu. Mereka sangat memandang rendah Madeline. Permintaannya terasa aneh. Ian yang pertama berkomentar, "Kau serius? Lagi pula, untuk apa pesta itu?" Madeline tersenyum, menyandarkan punggungnya dengan santai. "Itu permintaan terakhirku sebagai istrimu. Aku ingin kamu membuat pesta yang bernuansa romantis dan mengundang semua mitra bisnis keluarga Bastian serta para sahabat. Anggaplah ini sekaligus sebagai pesta perpisahan. Setelah itu, kita bisa bercerai dengan baik-baik." Vonny menatap menantu yang tidak dia sukai itu sambil menggelengkan kepala, lalu tertawa tidak percaya. "Apa yang kau rencanakan, Madeline? Ini hanya buang-buang waktu." Rina, adik Ian menyambung, "Benar sekali. Kau tidak akan mendapatkan apapun dari ini." Sementara itu, Carla, yang sebenarnya bersorak dalam hati karena Madeline akhirnya setuju bercerai dengan Ian, kembali menunjukkan wajah prihatin. “Apakah kau sudah memikirkannya baik-baik? Setelah bercerai dari Ian, kau akan hidup sendiri, Madeline. Pikirkanlah bagaimana kau akan menjalani hidupmu tanpa dukungan finansial dari Ian.” Madeline tertawa mendengarnya. Akting Carla benar-benar sempurna. Dia merasa mual melihat bagaimana Ian menatap wanita itu dengan tatapan memuja. “Carla benar, Madeline.. Kau…” "Jangan memperpanjang urusan ini, Ian. Kamu dan Carla sudah sangat menantikan perceraian ini, bukan?” Sergah Madeline cepat. Dia menatap Ian tajam sebelum melanjutkan, “Aku hanya ingin mengakhiri semua ini dengan cara yang baik. Apa itu terlalu sulit untuk dilakukan?" Madeline menatap mereka satu per satu, wajahnya tetap tenang. “Setelah itu, aku akan pergi dari kehidupan kalian semua. Aku tidak menginginkan harta Ian. Aku akan pergi dengan tidak membawa apapun selain diriku sendiri.” Carla tertawa, menatap Madeline seolah dia menceritakan sebuah lelucon. “Kamu tidak sedang berbohong untuk menarik simpati Ian kan? Memangnya kamu bisa hidup tanpa membawa apa-apa?” Madeline menelengkan kepala, melirik wanita itu dengan sorot mengejek. “Tentu saja. Aku tidak seperti dirimu, yang menjadi pelak0r demi mendapatkan tempat untuk bergantung hidup.” "Kamu.." "Sudah! Berhenti membuat keributan." sergah Ian cepat sambil menghembuskan napas kesal. Dia tidak ingin mendengar perdebatan antara para wanita ini. Dia melanjutkan dengan nada tegas, "Baiklah, Madeline. Aku akan mengadakan pesta itu. Tapi ingat, setelah itu, tidak ada lagi drama." Madeline mengangguk. "Tentu, Ian. Setelah pesta itu, semua di antara kita juga berakhir." Dia bangkit dari kursi dan melangkah anggun keluar dari ruang makan, meninggalkan tatapan bingung Ian dan bisikan-bisikan sinis di belakangnya. Satu minggu cukup untuk menyiapkan rencana besarnya. Madeline sudah memikirkan ini semalaman. Tiga tahun yang sia-sia, Madeline tidak akan menerima nasib sebagai orang yang dibuang, tanpa pembelaan sama sekali. Dia akan membuat Ian dan Carla Ellis membayar atas semua yang telah mereka lakukan. Mungkin juga akan membuat Ian menyesali keputusannya. Madeline telah menggunakan keahliannya sebagai arsitek untuk membantu Ian mendapatkan kontrak-kontrak besar dan mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga Bastian. Keluarga Ian, ibu dan kedua adik perempuannya memperlakukan Madeline dengan semena-mena. Setiap hari dia bekerja mengurus semua kebutuhan anggota keluarga Bastian. Ian juga tidak lebih baik memperlakukan Madeline. Dia memperlakukan wanita itu seperti orang asing yang datang menumpang di rumahnya. Dia menyuruh Madeline berhenti bekerja di kantor dan hanya boleh bekerja dari rumah saja. Dia menyiapkan ruang kerja khusus untuk Madeline, sehingga dia dapat membuat desain-desain yang bagus untuk perusahaannya. Madeline tidak keberatan, matanya sedang dibutakan oleh cinta pada Ian. Dia pun mengerjakan semua pekerjaan di rumah dan sabar menerima perlakukan buruk dari ibu serta adik-adik Ian. Namun, di balik semua pengorbanan itu, Ian tidak pernah benar-benar mencintai Madeline. Baginya, Madeline hanyalah alat untuk mencapai kesuksesan, seorang gadis desa miskin yang bisa dia manfaatkan. Kehidupan yang penuh ironi. *** Hari Sabtu. Madeline berdiri di depan cermin, mengenakan gaun panjang berwarna biru tua yang elegan. Rambutnya ditata rapi, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. Malam ini adalah malam yang ia tunggu-tunggu, bukan untuk merayakan pernikahan mereka, tetapi untuk mengungkap kebenaran yang selama ini disembunyikan. Di sisi lain, Ian sibuk mengatur segala persiapan pesta. Carla Ellis, cinta pertamanya, berada di sisinya, memberikan dukungan penuh. Ian bersemangat, karena dia akan bercerai dan setelah itu dia akan menikah dengan Carla, cinta pertamanya. Jam tujuh malam, ruang pesta, sudah mulai ramai. Para tamu mulai berdatangan, suasana pesta terasa hangat dan penuh keceriaan. Ian menyambut mereka dengan senyum ramah, sementara Madeline berdiri di samping pria itu sambil mengangguk sopan dan menerima ucapan selamat atas ulang tahun pernikahan mereka. Akhirnya ulang tahun perkawinan mereka dirayakan. Madeline tersenyum kecut mengingat semangat perayaan ini sesungguhnya adalah perpisahan mereka. Tapi dia sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Dia tidak akan membiarkan perpisahan ini terasa manis bagi Ian dan selingkuhannya. Semua orang tampak menikmati malam itu, tidak ada yang menyadari bahwa ini adalah malam terakhir Ian dan Madeline sebagai pasangan suami istri. Di tengah pesta, MC mengarahkan perhatian tamu-tamu ke layar besar yang telah dipersiapkan. Lalu foto-foto pernikahan Ian dan Madeline mulai ditampilkan, mengenang pesta pernikahan dadakan yang diadakan untuk menyelamatkan muka keluarga Bastian. Tidak ada yang tahu rahasia kelam dibalik pernikahan yang terlihat begitu romantis itu, Madeline tersenyum, tahu bahwa saat ini adalah momen yang tepat untuk melaksanakan rencananya. Saat layar besar sedang menampilkan foto-foto pernikahan mereka, Madeline melangkah ke tengah ruangan. Semua mata tertuju padanya. Madeline mulai berbicara, nada suaranya lembut dan tenang. “Bapak, Ibu, hadirin sekalian, terima kasih sudah melengkapi perayaan ini. Malam ini sesungguhnya adalah malam terakhir kami sebagai suami istri. Kami akan bercerai dan melanjutkan hidup masing-masing.” Madeline mengumumkan perceraian mereka dengan tenang dan terkendali. Dia sudah menyiapkan semua ini sejak malam anniversary pernikahan mereka. Dia tidak akan membiarkan semua ini menjadi begitu mudah bagi Carla Ellis, sang pelak0r dan Ian Bastian, suaminya yang brengsekk. Mengabaikan ekspresi terkejut para tamu undangan, juga Ian yang terus menatapnya tanpa berkedip, dengan anggun, ia menerima map yang diberikan oleh seorang staf dan menyerahkannya kepada Ian. "Ini surat permohonan perceraian kita, Ian. Aku sudah menandatanganinya. Dengan begitu, aku sudah mengakhiri ini dengan baik," kata Madeline dengan tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD