Bab 3: Maaf

2615 Words
Anshel menatap wajah yang serupa dengannya. Dadanya terasa sesak. Sekian tahun ia tak pernah bertemu, kini wajah itu hanya diam tak bergerak. Ada banyak emosi yang tak bisa ia uraikan. Marah. Kesal. Kasihan. Dan mungkin juga rindu. Dulu, ayahnya adalah laki-laki yang hangat dan bersahabat. Ia terbiasa menghabiskan akhir pekan bersama meski hanya di rumah saja atau menemani ibunya berbelanja ke supermarket. Ia dan kedua adiknya akan berlomba mendorong trolly bersama ayah mereka sementara ibunya akan sibuk mengambil barang yang dibutuhkannya. Atau saat liburan sekolah tiba, ayahnya pasti akan menyempatkan mengambil cuti agar mereka bisa liburan bersama. Mereka akan bermain di atas pasir pantai hingga ibunya berteriak meminta mereka berhenti karena matahari semakin tinggi. Atau menyusuri sudut-sudut kota berjalan kaki sambil membeli jajanan apapun yang mereka lewati hingga perut mereka penuh. Anshel menghembuskan napasnya. “Kenapa Papa tega, Pa?” sudut matanya telah basah teringat pada malam ia mendengar mamanya dibentak untuk pertama kalinya. Saat itu, adik perempuannya demam dan papanya memaksa pergi. Ia ingat malam itu. Tak lama setelah ayahnya pergi, pintu kamarnya diketuk. “Anshel, Mama minta tolong jagain Banyu ya. Ans sama bibik di rumah. Mama mau bawa Mika ke rumah sakit, demamnya naik lagi.” “Mika?” “Tidak apa-apa. Doain Mika cepet sehat. Mama tinggal dulu ya.” “Mama sama siapa?” “Mamang yang antar. Ans sama bibik dulu ya.” “Papa?” “Papa ada kerjaan. Nanti menyusul.” Dan ia tahu, malam itu papanya tak pernah menyusul ke rumah sakit. Laki-laki itu baru pulang keesokan harinya saat ia sedang sarapan bersama Banyu. “Lho, kok cuma berdua? Mama sama Mika kemana?” Anshel bukan anak yang bodoh. Dari kalimat itu, ia tahu ayahnya bahkan tidak tahu adik perempuannya terpaksa dilarikan ke rumah sakit semalam karena demamnya tak turun juga. “Ibu belum memberi kabar, Pak? Semalam Ibu membawa non Mika ke rumah sakit karena demamnya tidak turun juga.” Sejak itu, ada yang tak lagi sama di rumah mereka. Sering kali ia mendapati mata ibunya yang sembam. Ayahnya yang semakin sibuk dengan pekerjaannya. Dan kerabat mereka, baik dari pihak ibu maupun ayah mereka, jadi lebih sering ke rumah. “Ans, om ada pekerjaan yang harus diselesaikan, kalo mau rebahan dulu gak apa-apa di sofa bed itu,” Andre sudah masuk lagi dengan membawa dua cup coklat panas. Ia kemudian duduk di salah satu kursi sambil membuka macbooknya yang tadi ia letakkan di atas meja. “Tante Maura apa kabar om?” Anshel duduk di kursi di sisi kanan Andre kemudian membuka tas ranselnya, mengeluarkan laptop yang dibawanya. “Baik. Evan sama Ayra sudah ribut minta ketemu kamu.” Ans tersenyum. Meski kehilangan sosok papanya, setidaknya ia tak pernah kehilangan kehangatan dari keluarga ayahnya itu. Opa dan oma, serta kedua om dan tantenya begitu menyayangi Anshel dan kedua adiknya. “Om keberatan enggak kita berbagi meja?” Ans meletakkan laptopnya di atas meja. “Mau belajar?” Andre menyingkirkan vas bunga yang ada di meja. “Dua minggu lagi UTBK-nya. Doain Ans ya om.” Andre mengangguk. “Pasti, Boy. Ambil apa?” “Pilihan pertama kedokteran. Tapi Ans gak berharap banyak. Khawatir merepotkan Mama.” “Ans, kalian gak sendirian. Kalau perlu ambil kelas internasional pun tak apa-apa.” Ans mengangguk. Ia tahu semua kerabat baik dari ayah maupun ibunya begitu ringan tangan membantu mereka selama ini. Tapi ia juga harus menghormati ibunya yang mati-matian berusaha berdiri tegak di atas kakinya sendiri. Mereka berdua larut dengan laptopnya masing-masing sambil sesekali menyesap coklat. Tak satupun yang menyadari, di atas ranjang itu, sudut mata Raka basah meski tubuhnya masih tak menunjukkan pergerakan sama sekali. Hingga hampir dua jam kemudian, Andre meregangkan punggungnya. Dia menarik lepas kacamata bacanya dan menatap lurus Anshel yang masih asyik dengan laptop dan kertas coret-coretnya. “Shel, sudah hampir jam sepuluh, kamu mau pulang?” Anshel mengangkat wajahnya. “Om Andre?” “Om akan nginap disini. Kalau kamu mau pulang om telponkan sopir rumah untuk jemput.” “Ans temenin Om Andre disini.” Andre tersenyum. Dia mematikan macbooknya kemudian berdiri. “Kamu masih mau belajar? Om rebahan dulu ya.” “Ya, Om.” Anshel masih menekuri soal-soal dan ringkasan materi pelajaran dari laptopnya. Jam sebelas lewat, ia meregangkan punggungnya. Disesapnya sisa coklat yang tak lagi panas hingga habis. Ia kemudian merapikan kertas catatannya dan meletakannya di atas laptop yang sudah mati. Omnya tampak sudah nyenyak di atas sofa bed. Ia menatap ayahnya yang masih belum sadar juga. Anshel duduk di kursi yang ada di sisi ranjang. Menatap sedih ayahnya. “Pa,” panggilnya pelan. “Papa harus bangun. Papa belum minta maaf sama Mama kan?” tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia meletakkan kepalanya di atas ranjang dengan satu sisi pipi menempel di ranjang. Diangkatnya satu tangan ayahnya dan diletakkannya di atas kepalanya. “Ans gak akan pernah maafin Papa kalau Papa gak bangun dan berjuang mendapatkan maaf dari Mama,” ucapnya lirih sambil memandang wajah ayahnya. * Andre terbangun jam satu lewat. Ia sedikit kaget mendapati Anshel tertidur sambil duduk di sisi ranjang Raka. “Shel, pindah ke sofa ya tidurnya. Biar om yang gantian jaga.” Anshel membuka matanya perlahan. Sedikit bingung menyadari dirinya yang ketiduran di sisi ayahnya. “Jam berapa om?” “Satu lewat. Sana di sofabed tidurnya. Biar Om yang gantian jaga.” Anshel mengangguk. “Ans solat bentar.” “Kayaknya ada sajadah di lemari. Pakai saja.” Remaja itu mengangguk sebelum masuk ke kamar mandi. Andre duduk di kursi yang tadi ditempati keponakannya. “Abang harus cepet sadar, Bang. Perbaiki semuanya. Kita semua akan bantu Abang asal Abang gak nyakitin kak Citra dan anak-anak kalian lagi.” Andre menatap sendu anak laki-laki yang kini sedang bersimpuh itu. Anshel adalah fotokopi Raka. Tak hanya secara fisik. Beberapa sifat Raka menurun pada anak itu meski didikan Citra jelas membentuknya seperti saat ini. Karenanya, meski Anshel terlihat acuh, Andre yakin anak itu akan mudah luluh setelah melihat ayahnya tak berdaya. Sama seperti Raka ketika ayah mereka dirawat di rumah sakit dulu. Meski perseteruan keduanya membuat hubungan mereka renggang, tapi hampir setiap malam Raka datang ke rumah sakit tanpa ayahnya tahu. “Om,” Andre membuka matanya. Ia tertidur dengan duduk bersedekap di kursi tamu yang semalam mereka gunakan untuk bekerja, dengan kepala bersandar pada tembok sementara kakinya ia luruskan ke depan. “Udah subuh, Ans ke masjid ya?” “Iya,” Andre masih berusaha mengumpulkan nyawanya, menyadari ia ada di ruang rawat kakaknya bersama Anshel yang sudah beranjak membuka pintu. “Ans, tunggu. Om ikut.” Anshel mengangguk. “Ans tunggu di depan ya Om.” Andre mampir sebentar ke nurse station untuk menitipkan kakaknya. Keduanya berjalan berdampingan di pagi yang tenang itu. Paras dan postur tubuh mereka yang di atas rata-rata benar-benar seperti vitamin yang membuat beberapa pasang mata perawat yang sudah terasa berat karena kantuk di ujung shift malamnya menjadi segar kembali seketika. Anshel menyadari banyak pasang mata yang menatap kagum saat ia berjalan beriringan dengan omnya yang menurutnya super keren itu. Bagaimana tidak, om Andrenya punya semua yang diimpikan laki-laki. Wajah ganteng, otak pintar, postur tubuh yang ideal, pekerjaan dan finansial yang sangat mapan, belum lagi segala sifat baik yang melekat padanya. Pernah suatu hari Anshel berharap om Andre saja yang menjadi papanya. Selepas dari masjid, Andre mengajak Ans membeli kopi dan sandwich di coffee shop yang ada di area rumah sakit. Mereka kembali ke kamar dengan membawa cup kopi masing-masing yang masih mengepul. Duduk bersisian di kursi tamu sambil menikmati sarapan yang relatif masih terlalu pagi itu. “Nanti Om pulang dulu setelah Oma ke sini ya, Shel. Kamu mau pulang bareng Om atau sama Oma agak siangan? Aunty Nadya nanti ke sini setelah anter anak-anaknya ke sekolah dan ketemu pengacara Papa. Sekitar jam sepuluh sebelas mungkin.” “Papa…ada masalah hukum?” tanya Anshel ragu, mendengar kata pengacara dari omnya. “Gugatan cerai. Hanya saja, perempuan itu menuntut harta yang gak seharusnya, jadi agak ribet. Papamu sudah rela jika harus melepas semuanya, tapi Opa gak bolehin.” “Apa Ans boleh tahu?” Andre tersenyum. “Tentu saja. Kamu ahli waris papamu. Tapi nanti sama Aunty Nad dan om Rey saja ya. Mereka yang lebih tahu. Takut salah kalau Om yang jelasin.“ Ans mengangguk. “So, kamu mau pulang bareng Om atau oma?” “Oma sendirian? Biar Ans yang nemenin oma deh, Om.. Om Andre mau ke kantor kan?” Andre mengangguk. “Biar Om bilang oma bawakan baju kamu sekalian ya.” Andre mengeluarkan ponsel menghubungi ibunya. Ia tahu, Anshel memilih tinggal bukan semata-mata karena ingin menemani omanya. Anak itu adalah kesayangan ayahnya. Ans kecil dulu adalah miniatur Raka yang kerap dibawa ayahnya kemana-mana. Ikatan Anshel dengan Raka mungkin paling kuat dibanding kedua adiknya. Karenanya, ia pulalah yang paling kecewa saat Raka mengesampingkan keluarganya kala itu. Tak lama, seorang nenek muncul dengan diikuti dua orang di belakangnya. Seorang laki-laki yang merupakan supir, dan seorang asisten rumah tangga perempuan. “Taroh saja di meja situ,” perintahnya pada asisten rumah tangganya. Setelahnya kedua orang itu berpamitan. “Papi gak ikut, Mi?” “Gak mau.” “Andre tinggal dulu ya, Mi. Mami sama Anshel dulu. Nanti agak siangan kak Nad kesini.” “Iya. Hati-hati ya. Mami bikinin kamu jus ini, di tumbler. Sama lauk dibawa nanti Maura suruh panasin,” oma menyerahkan satu paperbag yang sudah khusus ia siapkan dari rumah untuk dibawa Andre. “Makasih ya, Sayang.” “Andre dong yang makasih dibawain makanan.” “Mami makasih kamu udah mau gantiin mami papi jagain abangmu.” “Bang Raka kakak laki-laki Andre satu-satunya. Andre pulang dulu ya. Mami jaga kesehatan. Jangan terlalu dipikir oke?” “Iya. Tenang saja, ada Ans juga disini. Mami lebih tenang.” Andre memeluk ibunya erat. Lalu mencium tangannya setelah berpamitan. “Ans belum makan kan?” “Sudah, Oma. Sama om Andre tadi.” “Makan apa?” “Sandwich.” “Hah, makanan apa. Ini Oma bawain nasi goreng special. Lengkap isiannya. Udah makan dulu. Jangan lupa jus sama vitaminnya diminum. Kamu pasti kurang tidur semalam kan.” “Oma harusnya gak usah repot-repot,” Ans mendekati meja tempat omanya mengeluarkan semua isi tasnya. “Repot apa? Oma kan tinggal perintah dan ngawasi saja.” Ans tersenyum senang saat omanya membuka satu kotak bekal berisi nasi goreng yang penuh berisi seafood, bakso, dan telor mata sapi di atasnya. “Ini mana nasinya oma?” “Nasinya gak usah banyak-banyak. Yang penting protein tinggi.” Ans terkekeh. “Oma memang terbaik.” “Udah makan dulu. Dokter belum kesini, Ans?” “Kata susternya nanti jam delapanan.” Oma Ratna mengambil tissue basah yang dibawanya lalu mengelap tubuh anak sulungnya yang tidak terluka dengan lembut. “Raka, kamu mengerti kan mengapa Mami gak pernah setuju hubungan kamu dengan perempuan itu? Dari dulu Mami sudah bilang jangan dia. Sekarang lihat sendiri kan kekacauan yang kamu buat. Tapi Ans ada di sini sekarang. Kamu harus bangun buat minta maaf sama istri dan anak-anakmu.” Anshel yang mendengar omanya berbicara hanya diam saja. Bagi keluarga Ranuwijaya, hanya Citra-lah istri Raka. Bahkan setelah Raka dan Citra bercerai pun, mereka tidak mengijinkan siapapun masuk menggantikan posisi Citra di tengah keluarga. “Ans,” panggil oma sedikit panik saat tak sengaja melihat pergerakan di jemari Raka. “Ya, Oma,” Ans yang baru saja menghabiskan nasi gorengnya segera bangkit mendekat. “Lihat jari papamu. Oma takut salah lihat?” “Emang kenapa jarinya?” “Perhatikan. Oma tadi liat ada bergerak sebentar.” “Mana, enggak ah. Oma salah lihat kali.” “Anshel. Makanya kamu perhatikan.” Anshel mendesah. Memasang muka tak suka. Tapi tak lama, keningnya berkerut. Jari itu menunjukkan pergerakan samar. Ia menatap wajah ayahnya. Dilihatnya kelopak mata itu bergerak samar. Jantung Ans berdetak lebih kencang. Dan saat yakin kelopak mata itu hendak membuka, kaki Ans bergerak. “Ans,” omanya yang melihat pergerakan Ans segera mencegahnya. “Tunggu sebentar,” ia menahan cucunya. Tampaknya ia ingin membuat agar wajah Anshel-lah yang dilihat Raka untuk pertama kalinya. Dan sepasang mata itu terbuka perlahan. Mengerjap pelan berusaha mengenali situasi yang dihadapinya. Raka sadar. Jantungnya berdegup kencang mengenali wajah di hadapannya. Rasa itu menggelegak membuncah menyesakkan dadanya. Matanya membasah. “Ans,” panggilnya lirih. “Ans panggil dokter dulu, Oma,” Ans beranjak keluar menghindari bermacam perasaan yang tiba-tiba saja menyergapnya. “Ans,” Raka mengulurkan tangannya berusaha meraih Anshel. “Biar Ans panggil dokter dulu. Kamu baru sadar sejak kemaren.” “Mami.” Wanita itu tersenyum. Bagaimanapun Raka adalah anak yang dulu dikandungnya selama sembilan bulan. Jangan tanyakan bagaimana perasaannya saat tahu anak sulungnya kecelakaan hingga tak sadarkan diri lebih dari dua puluh empat jam. Semarah apapun ia dulu, Raka tetaplah anak yang dicintainya sepenuh hati meski usianya tak lagi kanak-kanak. Wanita itu menggenggam tangan anaknya dengan haru. “Tunggu dokter ya.” Raka mengangguk. “Maaf, Mi. Maafin Raka.” Seorang dokter dan seorang perawat masuk diikuti Anshel di belakangnya. Anak remaja itu tampak tak terlalu antusias dengan ayahnya yang baru saja sadar. Dia memilih berdiri di dekat pintu, jauh dari jangkauan pandang ayahnya. Setelah memastikan kondisi Raka, dokter segera keluar diikuti suster. Tinggal tiga orang beda generasi yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Raka tak pernah menyangka akan melihat putra yang sangat dibanggakannya dulu. “Ans,” panggil Raka lirih. Anshel menatap omanya. Dan melihat perempuan itu mengangguk penuh harap, ia melangkah mendekat. Dia masih membisu teringat ibunya yang dulu kerap menangis karena laki-laki di hadapannya itu. “Ans, Papa rindu,” Raka mengulurkan tangan yang dibiarkan begitu saja oleh Anshel. Tatapan remaja itu begitu datar dan dingin, membuat d**a Raka begitu sesak. “Ans senang Papa sudah sadar. Jadi Ans bisa pulang ke sisi Mama secepatnya. Ans ke sini karena Opa dan om Andre yang meminta.” Raka menghembuskan napas berat. “Mamamu…” “Mama baik. Papa gak usah pikirin. Mama masih punya Ans dan adik-adik yang akan selalu ada di sisi Mama seperti seharusnya. Ans juga gak akan kasih tahu Mama kalau Papa kecelakaan.” Anshel tersenyum sinis. Biar saja kau rasakan semuanya sendiri, batinnya. “Anshel. Papamu baru sadar,” omanya mengingatkan. “Biarkan, Mi. Raka memang salah. Maaf.” “Ans,” oma mengulurkan tangan pada Anshel, “duduk sini,” beliau menepuk sisi ranjang Raka. Anshel menghela napas. Ia duduk di sisi ranjang mengikuti isyarat omanya sementara omanya duduk di kursi di sisi ranjang. Wanita itu mengumpulkan satu tangan Raka dan satu tangan Anshel dalam genggamannya. “Apapun yang terjadi di masa lalu, Oma mohon, selesaikan dengan baik. Jangan ada salah paham lagi.” “Maaf, Mi. Semua salah Raka. Maaf.” Anshel memalingkan wajah. Dengan omanya berada di antara mereka, mana berani Anshel berkata kasar. Bahkan membantah pun ia enggan. Padahal ada banyak kata-kata pedas yang sudah siap ia muntahkan setelah sekian lama menahannya. “Ans, bicaralah dengan papamu. Oma akan tunggu di luar mengabari opa dan lainnya,” pinta omanya lembut. Anshel mendesah. Raka masih menggenggam tangannya. Matanya menatap anak lelakinya penuh harap. “Maafkan Papa, Ans. Beri Papa kesempatan untuk meluruskan dan memperbaiki semuanya.” “Untuk apa?” Raka tergagap. Sikap keras dan tegas Anshel adalah kombinasi dirinya dan Citra. Mengingat nama itu serasa membangkitkan banyak kenangan sekaligus luka. Dan ia kembali merasa menjadi laki-laki terbodoh karena melepas wanita itu dulu. “Apa Papa berharap kami mau menerima Papa kembali setelah semuanya? Papa pernah pikirin enggak gimana perasaan Mama selama ini? Papa pernah peduli gimana Mama bertahan sampai hari ini?” Raka memejamkan matanya. Kalimat Anshel serupa palu godam yang menghantam dadanya. Bagaimana ia harus memperbaiki semuanya? Darimana ia harus memulai? Bagaimana jika Citra bahkan tak pernah mau menemuinya lagi? “Maaf,” ucap Raka lirih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD