Raka baru masuk ke apartemennya di kawasan selatan Jakarta saat ponselnya berbunyi. “Ya, babe,” dia menekan satu tombol di ponsel. Merebahkan tubuhnya di sofa. Matanya sudah terlalu mengantuk dan menuntut tidur setelah semalam ia nyaris tak tidur karena jadwal stripping sinetron.
Sebuah suara merdu mengalun dari seberang sana. Entah kapan mereka terakhir bertemu. Raka benar-benar merindukan wajah cantik itu. Jadwal mereka yang tak pernah klop beberapa bulan terakhir ini membuat mereka tak ubahnya seperti dua orang yang menjalani long distance relationship. Bahkan sudah sebulan terakhir mereka hanya berkomunikasi lewat telepon.
“Sayang, aku akan terbang ke Milan”
“Hmm. Kamu ambil tawaran itu?”
“Ini kesempatanku, Raka.”
“Aku tahu. Kapan berangkat?”
“Besok pagi.”
“Apa?” Raka terlonjak duduk.
“Mereka menginginkanku sudah di sana lusa. Kita putus dulu saja sementara, oke?”
“Freya. Jangan gila kamu ya.”
“Raka, aku butuh fokus. Aku tidak mau karirku terganggu hanya karena mikirin kamu di sana dikelilingi cewek-cewek cantik.”
“Aku gak pernah ada apa-apa sama mereka.”
“Tapi mereka ada dimana-mana mengincar kamu. Belum lagi orang tuamu yang nggak pernah menyukaiku, Aku capek, Ka.”
“Kamu tahu kan aku hanya cinta sama kamu. Dan masalah orang tuaku…”
“Tapi aku capek, Raka,” Freya memotong cepat. “Orang tuamu gak pernah menganggapku sama sekali. Apapun usaha yang aku lakukan untuk menarik perhatian mereka, tetap saja aku tak pernah dilihat oleh mereka.”
“Frey.”
“Anggap saja kita lagi break. Nanti setelah semuanya oke, kita bisa sambung lagi kan?”
“Apa maksudmu dengan break lalu nyambung lagi? Kamu dimana sekarang?” Raka sudah tak dapat menahan emosinya.
“Singapur.”
“s**t,” Raka membanting ponselnya. Kepalanya yang sudah pusing karena kurang tidur semakin pusing saja. Bagaimana mungkin kekasih yang sangat dibanggakannya itu memutuskannya begitu saja hanya melalui telepon. Padahal ia sudah mengusahakan apapun agar mereka tetap bersama, termasuk melawan kedua orang tuanya sendiri.
Ia beranjak menuju pantry. Seingatnya masih ada satu botol wine pemberian seorang teman yang ia sembunyikan dari asistennya. Dia mengambil gelas. Menuang winenya dan meneguknya cepat. Meski sudah akrab dengan kehidupan malam, Raka sangat jarang bersinggungan dengan alkohol. Kedua orang tuanya mendidiknya begitu ketat. Pun dengan makanan dan minumannya. Ia yang nyaris tak pernah melihat orang tuanya menyentuh alkohol bahkan pada perjamuan makan kelas atas di luar negeri ini sekalipun, pada akhirnya terbiasa untuk memilih minuman yang lain. Baru setelah karirnya sebagai aktor meroket dan ia mengenal kehidupan malam, ia mencicipi bermacam minuman itu meski hanya seteguk. Benar-benar hanya mencicipi saja.
Pada gelas kedua Raka sudah mulai mabuk. Dia tertawa sumbang. Mengisi kembali gelasnya. Lalu entah bagaimana ia tak ingat lagi. Hingga ia merasa tubuhnya diguncang begitu keras. Raka menggeliat. Ia merasa kepalanya begitu sakit seakan mau pecah.
“Arrgh,” dia memegang kepalanya.
“Lo mabuk? Sok-sok-an. Sudah tahu gak kuat minum. Sial lo. Nambahin kerjaan gue aja,” Bobby, managernya, mengomel mendapati botol wine yang nyaris kosong. “Lo kan sudah gue kasih tahu, Yud, jauhkan Raka dari segala jenis minuman beralkohol,” Yudha, asisten Raka, yang datang bersamanya ikut kena omelan.
“Ya mana saya tahu, Bos, kalau Bos Raka menyimpan ini. Lagian semalam saya tinggal gak ada apa-apa,” Yudha membela diri sambil membereskan gelas dan botol wine di pantry.
“Bawa ke kamar mandi, Yud. Lo buat dia bangun. Gue akan minta undur meetingnya.”
Mereka berdua menyeret Raka menuju kamar mandi dengan susah payah. Satu jam lalu, mereka menghubungi Raka karena mereka terjadwal meeting perdana untuk produksi film terbaru. Tetapi tak ada jawaban dari Raka sama sekali hingga mereka menyusul ke apartemen. Dan disinilah keduanya. Yudha sibuk menyadarkan Raka. Sementara Bobby menelepon beberapa orang meminta rapatnya dijadwal ulang.
Setengah jam kemudian, mereka duduk di sofa dengan Raka yang masih menahan sakit di kepalanya. Dia sudah berganti pakaian dengan hanya mengenakan celana selutut dan kaos oblong. Raka menyandarkan kepalanya di sofa, mencoba mengingat kejadian semalam sebelum ia nekat meneguk wine.
“Ada masalah?” tanya Bobby pelan.
“Freya tiba-tiba minta putus.”
Bobby mendesah. Sama seperti keluarga Raka, Bobby juga tak menyukai hubungannya dengan Freya. Dan meski heran dengan berita yang tiba-tiba itu, ia sedikit merasa senang akhirnya sahabatnya berhasil lepas dari perempuan yang menurutnya hanya memanfaatkan Raka saja.
“Dia terbang ke Milan hari ini. Semalam dia kasih kabar minta break.”
“Kalian ketemu?” Bobby sangat berhat-hati jika menyangkut Freya, mengingat Raka yang kerap emosional jika menyangkut kekasihnnya itu.
Raka menggeleng. “Dia di Singapur.”
Bobby menghela napas. Miris dengan nasib sahabatnya itu. Bagaimana mungkin laki-laki sekelas Raka diputuskan hanya melalui telepon hingga membuatnya kolaps begini.
“Gue gak tahu kudu komen apa. Tapi lo gak lupa kan ada jadwal meeting hari ini?”
“Sial.” Raka mengumpat kesal.
“Ini film layar lebar perdana lo. Sekarang lo mau gimana? Gue udah minta rescheduled meetingnya. Tapi mereka tetep minta hari ini. Lo oke enggak?”
“Cancel aja gak bisa, Bob?”
“Bisa aja kalau lo mau bikin heboh. Lo mau gue handle kayak gimana kerjaan dan percintaan lo ini?”
“Freya bawa kartu kredit gue. Lo bisa tolong blokir itu dulu?”
Bobby tersenyum. “Okey. Berapa biji?”
“Dua. Dan jangan ember ke keluarga gue lo,” ancam Raka hingga membuat Bobby tertawa. “Gue entar yang kasih tahu sendiri.”
“Om sama Tante pasti hepi.”
“Termasuk lo juga kan?”
Bobby menggedikkan bahunya acuh. “Yud, kasih makan tuh bos lo biar kuat menghadapi kenyataan.”
Yudha menurut. “Bang Raka mau makan apa?”
“Sandwich aja. Sama kopi. Lo taroh naskahnya kemarin dimana, Yud?”
Yudha mengambil satu map berisi naskah pada Raka lalu beranjak ke dapur membuatkan sandwich dan kopi untuk bosnya itu. Sementara Bobby menelepon seseorang.
“Reschedule jam tiga, Ka. Gue tinggal ya. Ada yang harus gue handle di perusahaan bokap. Kita ketemu di sana nanti. Yud, pastiin Raka gak telat dan sudah seger wajahnya.”
Raka menghembuskan napasnya. Dia mencari ponsel yang semalam dilemparkannya entah kemana. Layarnya sedikit retak, tapi masih bisa dinyalakan. Ada banyak miscall yang sebagian besar dari Bobby dan Yudha, serta ada satu voice mail dari Nadya, adik perempuannya.
“Bang, Abang dimana? Bobby telepon Nad nyariin Abang. Abang baik kan? Telepon Nad ya kalau udah terima pesan ini. Nad khawatir.”
Raka segera mendial nomor adiknya.
“Bang, Abang oke?”
“Abang gak apa-apa kok. Ponselnya mati. Abang lupa ada meeting tadi. Makanya Bobby nyariin. Kamu dimana?”
“Masih di kampus. Ini mau jalan ke kantor Papi. Lagi nunggu supir jemput.”
“Sampai jam berapa di kantor Papi?”
“Sore kayaknya. Nad lagi dipaksa magang sama Papi.”
“Abang jemput ya nanti?”
“Boleh.”
“Tapi Abang ada meeting dulu jam tiga.”
“Its oke. Abang kabari aja kalau udah selesai. Nad tunggu di kantor papi ya.”
Suara itu begitu ceria saat menerima tawaran Raka akan menjemputnya nanti. Meski Raka tahu, Nadya terbiasa pulang bersama ayah atau adik mereka, tapi ia ingin bertemu dengan adik perempuan yang kerap mengkhawatirkannya itu.
“Makan dulu, Bang,” Yudha meletakkan sandwich dan secangkir kopi di meja.
“Lo udah sarapan?”
“Sudah tadi pagi.”
“Setelah meeting nanti gue gak ada jadwal apapun kan?”
“Gak ada. Hari ini sama besok memang jadwal Bang Raka off. Abang butuh waktu lebih?”
“Gak usah. Lo bisa handle sementara semuanya? Gue mungkin akan pulang dulu.”
Yudha mengangguk. Dia tahu, ketika Raka memutuskan pulang, itu artinya dia akan menghandle semua keperluan bosnya itu. Bahkan ponselnya pun akan dititipkan pada Yudha. Dia akan mengambil jarak dari semua urusan pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Benar-benar menghabiskan waktu hanya dengan keluarganya saja.
***