Meeting itu terbatas. Hanya tim Raka dan beberapa orang. Meski mereka setuju untuk menjadwal ulang pertemuan dengan Raka selaku pemeran utama pria, tapi tampaknya sulit untuk menjadwal ulang untuk keseluruhan tim. Jadilah sore itu hanya berisi laporan hasil rapat sebelumnya. Raka yang sedikit kesal terpaksa menyimpan semuanya sendiri karena ia yang teledor. Ia juga belum siap jika harus mempublikasi alasan keterlambatannya.
Selepas meeting, Raka membawa sendiri mobilnya menuju kantor ayahnya sementara Yudha ikut mobil Bobby. “Kalau Freya komplain soal kartu kredit suruh bicara sendiri ke gue,” pesannya pada Bobby sebelum masuk mobil.
“Tenang saja. Gampang handle anak itu. Lo yakin gak mau konfrensi pers masalah ini.”
“Gak penting,” Raka membanting pintunya disambut tawa Bobby.
“Come on, Yud. Kita rayain kebebasan bos lo itu.”
“Bos lo juga kali, Bang.”
Nadya sudah menunggu di lobby saat Raka sampai. Beberapa karyawan yang akan pulang sedikit heboh oleh kemunculan Raka, sang putra mahkota yang lebih memilih menjadi artis daripada penerus bisnis orang tuanya. Nadya segera menghambur ke arah Raka begitu kakak sulungnya itu muncul.
“Aku kangen sama Abang,” dia memeluk Raka erat.
“Papi masih di atas?”
“Ada sama Andre juga. Abang mau ke atas?”
“Entar ketemu di rumah aja deh. Yuk,” dia merangkul adiknya dan membawanya ke mobilnya.
“Abang gak ada apa-apa kan?” Nadya memperhatikan wajah Raka yang kuyu setelah mereka duduk di mobil.
“Emang ada apa?”
“Wajah Abang kuyu. Abang kurang tidur?”
“Hmmm,” Raka menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran kantor ayahnya.
Nadya tersenyum. Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan kakaknya. Tapi ia tak ingin mendesaknya. Raka mau menjemput dan pulang bersamanya sudah lebih dari cukup baginya. Ia begitu merindukan kakak laki-lakinya itu.
“Abang akan menginap kan?” Nadya bergelayut di lengan Raka begitu mereka turun dari mobil. “Mami, lihat Nad pulang sama siapa?” teriaknya begitu memasuki rumah.
Ibunya yang tengah berada di dapur seketika berbalik. “Raka,” senyumnya mengembang sempurna.
Raka bergegas menghambur dalam pelukan ibunya. “Raka rindu Mami,” dia mendekapnya erat melepas setiap beban di hatinya, sementara Nadya sudah berlalu menuju kamarnya memberi kesempatan ibu dan anak itu untuk melepas rindu.
“Kamu kok kuyu? Sakit?” bu Ratna menangkup wajah tampan anak sulungnya.
“Enggak. Cuma kurang istirahat saja. Mami apa kabar?”
“Baik. Jangan diforsir. Kerjaan kamu itu suka gak kenal waktu. Mami gak suka.”
Raka tertawa. Entah sudah kali ke berapa orangtuanya bilang tidak suka pada pekerjaan yang digelutinya. “Mami mau masak apa?”
“Capcay, udang asam manis, telor balado, sama tahu isi. Kamu istirahat dulu gih biar segeran itu wajahnya. Bibik, minta tolong sprei di kamar Abang diganti ya.”
Raka membuka kulkas dan mengambil buar pear. Memperhatikan ibunya yang sedang memberi instruksi kepada salah satu asistennya. Ibunya memiliki dua orang asisten rumah tangga untuk membantunya di dapur dan mengurus rumah, ditambah seorang tukang kebun, satu sopir, dan dua orang satpam yang bergantian bertugas. Setiap pagi dan sore perempuan itu akan turun langsung ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan makan malam. Sementara untuk makan siang, karena penghuni rumah hampir seluruhnya punya aktivitas di luar, maka dapur akan sepi.
“Duduk sini, Bang, Mami gak percaya kamu cuma kurang istirahat,” bu Ratna menarik anak sulungnya ke sofa. Tak lama kemudian seorang asisten rumah tangga mengantarkan dua cangkir teh chamomile dan piring berisi cake.
“Aku kan habis striping, Mi.”
“Bang,” ibunya menatapnya tak percaya.
“Kemaren aku memang kurang tidur. Abis itu sempet minum. Terus KO dah.”
“Kenapa?”
Raka mendengus. Mana bisa ia menghindari pertanyaan itu dari wanita yang melahirkannya. “Nanti ya Raka ceritanya.”
Bu Ratna akhirnya mengangguk. Lalu merentangkan tangannya, memeluk anak sulungnya sekali lagi. “Meski Mami gak pernah suka pekerjaan kamu, kamu tetap anak Mami, Bang. Jangan lama-lama kalau pergi. Ini rumah kamu. Pulanglah sering-sering,” dielusnya punggung Raka.
“Maaf, Bu, kamar den Raka sudah siap,” seorang asisten rumah tangga menghadap.
“Makasih ya, Bik. Sana istirahat dulu. Nanti Mami panggil kalau makan malam sudah siap.”
Raka mengangguk. “I love you, Mom,” dikecupnya pipi ibunya.
“Jangan lupa solat ya, Bang.”
Bu Ratna kembali ke dapur setelah Raka naik. Tak lama, Nadya turun dengan wajah yang sudah segar sehabis mandi. “Abang kemana Mi?”
“Kamar. Kamu gimana ceritanya bisa bareng Raka?”
“Bobby telepon Nad nyariin Abang dikira sama Nad. Terus Nad telepon Abang tapi mailbox. Tapi abis itu Abang telepon balik dan nawarin jemput Nad.”
“Jemput di mana? Kampus atau kantor Papi?”
“Kantor Papi. Tapi ketemu di lobby, gak di atas.”
“Abang ada cerita sesuatu?”
“Belum. Tapi aku curiga bukan masalah kerjaan deh, Mam.”
“Kamu tanyakan Bobby abangmu minum-minum dimana semalam.”
“Hah. Abang minum? Mabok parah pasti. Pantes kuyu gitu. Udah tau gak bisa kena alkohol dikit masih aja nekat minum.”
“Makanya tanyakan Bobby. Mami kuatir dia gak nyadar sembarangan tidur dimana.”
Nadya mengangguk. Dia kembali naik ke kamarnya mengambil ponselnya. Setelah menelepon Bobby dan menanyakan beberapa hal, ia kembali ke dapur. “Aman, Mi. Kata Bobby di apartemennya. Tapi Nad gak berhasil ngorek kenapa. Mungkin ada masalah pribadi. Yang jelas bukan kerjaan,” lapornya.
“Masalah pribadi apa? Pacarnya yang kayak ulet itu?”
Nadya menggedikkan bahu. “Kayaknya jangan ditanya dulu deh, Mi. Tunggu Abang cerita sendiri.”
*
Raka baru keluar dari kamar mandi saat seseorang membuka pintu kamarnya.
“Bang,” wajah cerah Andre muncul.
“Kamu baru pulang sekolah?” Raka mengernyit mendapati Andre masih mengenakan baju seragamnya.
“Dari kantor Papi. Aku lupa bawa baju ganti tadi,” Andre menghempaskan punggungnya di kasur Raka.
“Ngapain di sana? Gak capek kamu?” Raka kadang merasa kasihan pada adiknya itu, tapi Andre sepertinya menikmatinya.
“Ngawasin papi kerja. Ya kadang capek. Tapi daripada aku keluyuran.”
“Kapan ujian?”
“Dua minggu lagi. Aku udah dapet jawaban dari Stanford, Bang.”
“Oiya? Keren kamu.”
“Aku mandi bentar, Bang. Mami bisa ngamuk kalau kita kelamaan turun. Abang bareng aku aja turunnya kalau gak mau ada singa ngamuk.”
Raka tertawa. Kadang ia merasa, adiknya itu terlalu dewasa sebelum waktunya. Hari-harinya hanya antara sekolah, les, dan perusahaan. Dia hampir tak punya teman sama sekali. Satu-satunya temannya hang out hanyalah Raka. Seketika, ia merasa bersalah telah meninggalkan rumah.
“Andre kelamaan, Kakak udah lapar tau,” omel Nadya saat Andre turun diikuti Raka.
Ayah mereka yang masam dan sudah siap dengan segala jenis kata-katanya yang tajam untuk anak sulungnya itu terpaksa menelan kembali semuanya begitu melihat si bungsu sudah siap menjadi tameng.
“Mi, besok kan weekend. Aku mau ajak jalan Abang. Ada yang perlu aku beli untuk persiapan kuliah.”
“Iya. Makan dulu. Ngobrolnya nanti.”
Mereka makan dalam diam, begitulah Bagaskara Ranuwijaya mengajarkan keluarganya. Tak ada percakapan ketika makan. Semuanya tenang menghabiskan setiap makanan yang mereka ambil ke piring masing-masing. Setelah piring mereka kosong, barulah mereka akan berbincang kembali.
Bagaskara mendorong piringnya begitu menghabiskan suapan terakhirnya. Ia mengambil gelas berisi air putih di dekatnya, meminumnya, kemudian mengelap dengan sangat tenang. Ketenangan yang kerap membuat tegang sekelilingnya.
“Raka,” tatapan elangnya tertuju pada anak sulungnya. Suaranya begitu tenang tapi mengintimidasi. “Temui Papi setelah selesai. Kita perlu bicara,” perintahnya kemudian berlalu menuju ruang kerja.
Raka menelan makanan yang tersisa dengan susah payah. Ayahnya pasti sudah tahu apa yang membuatnya pulang malam ini.
“Gak apa-apa. Habiskan dulu,” ibunya mengulurkan tangan dan menepuk punggung tangan Raka.
Raka mengangguk. Entah ia harus percaya kata-kata ibunya atau degup jantungnya sendiri yang begitu gugup. Tapi ia tahu, ia harus menghadapi sendiri ayahnya.
***