Raka masuk ke ruang kerja ayahnya setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Laki-laki tengah baya yang sedang duduk di kursi kebesarannya itu menurunkan buku yang dibacanya.
“Duduk,” perintahnya tegas.
Raka duduk di depan ayahnya dengan gugup. Bahkan di usianya yang sudah melewati seperempat abad, ia masih tidak mampu menahan intimidasi ayahnya sendiri, padahal laki-laki yang telah membuatnya terlahir itu hanya duduk di kursi kerjanya dengan tenang.
“Papi dapat laporan penutupan kartu kreditmu.”
Raka menghembuskan napasnya. Dia tahu tak akan ada yang bisa ia sembunyikan dari ayahnya itu. Kekuasaannya benar-benar jauh dari jangkauan Raka.
“Ini yang Papi harapkan sejak dulu bukan?” Raka memberanikan diri mengangkat wajahnya menghadapi ayah kandungnya itu.
Ayahnya memang tak pernah menyetujui hubungannya dengan Freya sejak awal. Terlebih lagi sejak Raka terjun ke dunia hiburan dan tak mau terlibat dengan perusahaan, hubungan mereka menjadi benar-benar berjarak. Hingga Raka akhirnya memilih tinggal di apartemen untuk menghindari pertengkaran dan kata-kata tajam ayahnya.
Bagaskara Ranuwijaya tersenyum miring. “Perempuan itu tidak baik buatmu. Sekarang terbukti kan? Yang Papi harapkan adalah kebaikan dan kebahagiaanmu. Itu saja.”
“Tapi Papi kadang terlalu pemaksa. Papi gak pernah mikirin perasaan anak Papi.”
“Yang mana Papi memaksa? Hubunganmu dengan perempuan itu?”
Raka kembali menghembuskan napas. Dia tak akan pernah menang berdebat dengan ayahnya. Laki-laki itu terlalu pandai menggunakan kata-kata lawannya untuk kemudian memukul mundur dengan telak.
“Raka sudah selesai sama Freya,” akhirnya dia mengakui untuk pertama kalinya. Begitu ringan, membuatnya terkejut sendiri ketika ternyata tak ada sakit yang memberati hatinya. Benarkah hatinya tak sampai patah sama sekali diputuskan kekasih yang sekian lama ia perjuangkan agar bisa diterima keluarganya? Lalu semalam? Ia bahkan sampai merasa perlu menenggak alkohol. Apakah sakitnya sudah selesai sampai di situ saja?
“Tapi kamu masih belum percaya Papi Mami kan?”
“Seandainya Papi Mami memberi restu sejak dulu…,” Raka masih berusaha mencari pembenaran.
“Jangan bodoh, Raka. Kamu anak Papi. Bagaimana mungkin kamu begitu mudah dibodohi perempuan itu,” Bagaskara mulai emosi dengan kekeraskepalaan anaknya. Ia melempar sebuah amplop ke hadapan Raka.
Raka menatap sengit ayah kandungnya itu.
“Buka. Dan lihat sendiri bukti-bukti itu.”
Meski ragu, Raka membuka juga amplop coklat yang ternyata berisi beberapa foto. Wajahnya seketika merah padam. Jantungnya berdegup kencang. Amarahnya meluap mendapati beberapa gambar yang tak pernah ia sangka terpampang nyata di sana.
“Semua ada tanggalnya. Papi sudah ingin berikan ini sejak bulan lalu. Tapi rupanya sekaranglah waktu yang paling tepat.”
Raka membeku. Dari tanggalnya, semua sudah terjadi sejak setahun lalu. Setidaknya itu yang terekam kamera. Bagaimana mungkin ia tak tahu. Bagaimana bisa ia menganggap normal setiap kejanggalan yang terjadi selama ini.
“Kali ini kamu beruntung dia menyingkir lebih dulu. Lain kali berhati-hatilah. Kita punya cukup sumber daya untuk mengecek track record seseorang. Jangan salah jalan lagi,” ucap Bagaskara tegas.
“Papi tidak melakukan sesuatu kan?”
“Sesuatu apa? Bukan level Papi ngurusin cecunguk itu.”
Raka mendesah. Dia sudah kalah telak sekarang. Pilihannya sudah terbukti tak benar.
“Papi butuh kamu di perusahaan sementara Andre kuliah keluar,” suara ayahnya kini sudah tak setinggi sebelumnya.
“Raka gak bisa.”
“Andre nanti yang akan teruskan perusahaan kalau dia selesai kuliah. Tapi kamu tetap harus ambil bagian. Setidaknya belajarlah mengurus bisnis untuk hidupmu sendiri nantinya. Datanglah hari Senin ke kantor.”
Raka menghembuskan napas. Kali ini, ia tahu ia tak lagi punya piihan untuk menghindar. “Nanti Raka lihat jadwal Raka dulu.”
“Papi tunggu,” Bagaskara bangkit berdiri dan keluar terlebih dahulu. Wajahnya tak sekeruh biasanya setiap kali ia berbicara dengan putra sulungnya. Bagaimana pun, Raka adalah curahan cintanya yang pertama di antara ketiga anaknya. Jikalau pun hubungan keduanya tak cukup baik akhir-akhir ini, itu karena sikap keras kepala mereka yang hampir serupa.
Di ruang makan, Nyonya Bagaskara masih menunggu dengan cemas bersama kedua anaknya. Sejak anak sulungnya memilih tinggal di apartemen, maka hampir selalu terjadi pertengkaran antara suami dan anak sulungnya itu setiap kali mereka bertemu. Ia pun tak terlalu menyukai perempuan yang menjadi kekasih anaknya itu, tapi bagaimana pun ia hanyalah seorang ibu yang tak punya kuasa menentukan kecenderungan hati putranya.
“Ayo, Mi, tidur. Biarkan mereka bertiga,” Bagaskara memasuki ruang makan dengan wajah tenang membuat ketiga orang yang masih berada di sana menghela napas lega.
Ratna pun tersenyum lembut pada anak sulungnya yang baru keluar dari ruang kerja dan memasuki ruang makan. Meski tak tahu apa yang dibicarakan dua orang laki-laki kesayangannya itu, tapi ia yakin semua baik-baik saja. Tak ada adu mulut. Tak ada debat kusir. Tak ada pertengkaran yang kerap membuatnya pusing.
“Gak ada yang keluar malam. Mami gak kasih ijin,” dia memberi ultimatum pada ketiga anaknya sambil beranjak mengikuti suaminya masuk ke kamar mereka.
“Bang,” panggil Nadya saat kakaknya hendak naik ke atas menuju kamarnya. “Soal Freya?” tanyanya hati-hati.
Raka menghentikan langkahnya. “Kamu tahu sesuatu?”
“Ada di kamar Nad,” Nadya naik ke kamarnya diikuti Raka dan Andre. “Nad udah lama pingin sampaikan ke Abang, tapi Nad bingung gimana,” Nadya menyodorkan sebuah amplop coklat setelah mereka sampai di kamar.
Raka membuka amplop dari Nadya yang isinya tidak jauh berbeda dengan yang diberikan ayahnya. “Kamu dapet darimana?”
“Emmh, temen Nad.”
“Pacar, Bang,” ralat Andre membuat Nadya mendelik. “Pengacara muda. Reynold Nainggolan,” lanjutnya tanpa gentar sedikitpun dengan kakaknya yang sudah menatapnya tajam.
“Andre, bocor banget sih mulutnya.”
“Bener?” Raka menatap Nadya meminta penjelasan.
“Belum resmi. Cuma deket aja.”
“Belum resmi tapi dia sudah berani muncul bolak-balik di depan Mami-Papi.”
“Kan soal kerjaan.”
Andre mencibir. Sementara Raka tersenyum. “Gak apa-apa. Yang penting hati-hati. Nainggolan yang mana ini? Ada banyak Nainggolan kan?”
“Firma hukum Nainggolan and brothers,” kembali Andre yang menjawab. Dia memang tampaknya tahu lebih banyak dari yang orang lain kira.
Raka mengangguk mengerti. Bukan keluarga sembarangan. Pantas orang tua mereka sepertinya memberi lampu hijau dan bocah Nainggolan itu pun punya kepercayaan diri untuk memunculkan diri terang-terangan ke depan orang tuanya. Setidaknya saudara perempuan satu-satunya itu bisa mendapatkan laki-laki dari keluarga yang bisa memberikan perlindungan penuh padanya kan?
“Dia yang cari semua fakta ini?”
“Iya. Nad lihat pertama lihat Freya begitu waktu jalan sama dia. Dan dia nawarin buat selidiki. Maaf ya, Bang.”
“Papi juga dapet laporan dari dia?”
“Nad kurang tahu. Sepertinya bukan. Orang Papi kan banyak dan lebih pengalaman.”
“Kenapa gak bilang Abang dari dulu?”
“Nad takut Abang marah dan gak percaya Nad.”
“Abang akan kesampingkan fakta ini?” Andre bertanya tegas.
“Kamu seberapa banyak tahu?” Raka bertanya balik pada adik bungsunya.
Andre tertawa. “Aku kan sering di kantor Papi.”
“Dia kebanyakan tahu, Bang. Dewasa sebelum umurnya,” Nadya menghempaskan diri di kasurnya.
“Abang belum jawab pertanyaanku tadi,” tagih Andre.
Raka menghela napas. “Abang sudah selesai sama Freya.”
“Putus?” tanya kedua adiknya bersama-sama. Nadya bahkan langsung terduduk kembali
Raka mengangguk.
“Alhamdulillah,” seru Nadya dan Andre bersama-sama membuat Raka mendelik tajam. Nadya dan Andre saling menatap menyadari tatapan tajam kakak mereka.
***