2 | Girl in The Next Door

3039 Words
Seorang perempuan yang menggunakan baju tidur dengan jilbab berwarna hitam itu melangkah keluar dari kamarnya. Ia menuruni anak tangga rumahnya ke lantai 1, menuju kamar adiknya. Tok tok!! Perempuan itu membuka pintu kamar adiknya setelah mengetuknya 2x. Ia melongokkan kepalanya bersamaan dengan adiknya yang menoleh ke arah pintu. "Kenapa kak?" tanya anak laki-laki bernama Farhan tersebut. Kondisi kamar Farhan sudah gelap, tapi anak itu masih duduk dengan lampu tidur yang masih menyala. Perempuan dengan nama Salma itu masuk ke dalam kamar Farhan dan menutup pintunya. Ia mendekati ranjang adiknya dan duduk di tepi ranjang. "Farhan kok belum tidur?" Salma Adsila Isaura, adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Gadis 19 tahun yang kini sedang mengampu kuliah semester 4 jurusan ilmu hukum syari'ah. Ia memiliki 1 orang kakak laki-laki yang bernama Ali dan 1 adik laki-laki yang bernama Farhan. Salma memiliki karakter yang pendiam dan tidak banyak bicara, tetapi jika dengan sesama perempuan biasanya Salma akan lebih mudah berbaur. Mungkin karena sejak kecil, Salma selalu berada dalam lingkungan pesantren sehingga jika dengan lawan jenis Salma akan menjadi lebih banyak diam dan terkesan cuek. Untuk hobi, Salma menyukai segala macam buku bacaan, terutama cerita sirah nabawiyah, termasuk kisah cinta yang pernah terselip di dalamnya. Dari mulai kisah cinta Nabi Muhammad dengan Siti Khadijah, kisah cinta antara Ali dan Fatimah, kisah cinta antara Yusuf dengan Zulaikha, sampai kepada kisah cinta beda agama yang Salma ketahui berasal dari Abul Ash dengan putri Rasulullah Saw yang bernama Zainab. Semua kisah itu begitu menginspirasi dan mengandung banyak pelajaran di dalamnya.  "Gak bisa tidur kak." Farhan adalah adik Salma yang masih berumur 6 tahun. Kini Farhan berusia 6 tahun dan sedang duduk di kelas 1 SD. Farhan memiliki perawakan dengan tinggi yang hampir sama dengan anak kebanyakan. Kulitnya putih, matanya bulat dengan rambut lurus jatuh. Badannya tidak kurus, juga tidak terlalu gemuk. Farhan itu memiliki karakter yang pendiam, dalam artian anak yang sulit bersosialiasi. Karena dari yang pernah Salma dengar dari ibu gurunya Farhan, adiknya itu mengalami kesulitan bersosialisasi saat di sekolah. Makanya mungkin karena itu lah, Farhan tidak mau sekolah baru. Karena akan menyulitkan bagi Farhan untuk bersosialisasi dengan orang baru. Selain Salma, Farhan juga memiliki seorang kakak laki-laki yang bernama Ali. Ali saat ini berprofesi sebagai seorang pengusaha. Bisa dikatakan bahwa Ali sudah berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses. Berbekal modal yang diberikan orang tuanya saat lulus kuliah, Ali mampu merintis restorannya dari nol hingga saat ini telah membuka lebih dari 7 Cabang di seluruh Indonesia. Tapi sayang, kakak laki-lakinya itu belum juga menikah di usianya yang kini sudah memasuki 28 tahun.  Salma mengusap kepala adiknya dengan tersenyum tipis. "Kenapa?" "Rumah ini asing untuk Farhan, kak." Salma kembali mengulas senyum. "Mau kakak kelonin?" tanya Salma dengan mengangkat sebelah alisnya. Farhan langsung mengangguk. Salma membaringkan tubuh Farhan dan juga dirinya setelah melepas jilbabnya dan ia letakkan di atas nakas samping lampu tidur. Salma menarik tubuh Farhan ke dalam dekapannya, dan Farhan yang memeluk pinggangnya dengan erat. "Tidurlah, besok kan Farhan akan sekolah." Farhan menggelengkan kepalanya. "Farhan gak mau sekolah baru, kak. Farhan juga gak mau tinggal di rumah ini." "Rumah itu tidak dijual, Farhan. Kita tetap bisa main ke rumah itu." jelas Salma. "Kalau begitu kenapa kita harus pindah kak? Kenapa gak tetap di sana aja?" Salma menjauhkan tubuh Farhan agar bisa menatap wajah adiknya. "Kenapa Farhan bicaranya begitu?" "Sekolah baru, berarti Farhan akan bertemu dengan teman baru. Farhan gak suka," ucap Farhan. "Punya sekolah baru, tandanya Farhan akan semakin banyak punya teman nanti di sekolah yang baru." "Farhan gak suka," ucap Farhan sekali lagi. "Lagipula, di rumah itu kan banyak kenangan kakak dengan Um-" "Farhan," potong Salma sebelum Farhan sempat melanjutkan kalimatnya. "Justru Abi ngajak kita pindah karena mau Farhan lebih dekat ke sekolah. Kalau dari rumah yang kemarin kan jaraknya terlalu jauh untuk kamu. Nah di sini ada SD yang cocok dan bagus untuk Farhan." Farhan diam dan tak menjawab. Ia kembali memeluk tubuh Salma, ingin dimengerti bahwa ia memang tidak suka sekolah baru. "Besok biar kakak yang antar Farhan ke sekolah baru, ya?" Anak kecil itu pun akhirnya mengangguk. Asal ada kakaknya maka Farhan akan menurutinya. Salma akhirnya bisa mengantar Farhan tidur setelah menepuk dengan sabar adik kecilnya yang sudah berumur 6 tahun itu selama 15 menit. Salma menarik tubuhnya perlahan, agar tidak membangunkan adiknya. Ia menutupi tubuh Farhan dengan selimut hingga sebatas leher. Wajah kecil itu begitu terlihat tenang saat terpejam. Segala kegelisahan dan kekhawatiran seolah menguar bersamaan dengan jiwanya yang beristirahat sejenak. Salma tersenyum simpul dan memberikan kecupan singkat di kening adik laki-lakinya. Ia mematikan lampu tidur Farhan, memakai kembali jilbab hitamnya, lalu melangkah keluar kamar dengan perlahan. Keluarnya Salma dari kamar adiknya bersamaan dengan abinya yang baru saja kembali dari kerjanya. Salma menatap abinya dengan terkejut, begitu juga dengan Teguh, abinya Salma. "Abi baru pulang?" tanya Salma dengan menghampiri Teguh dan mencium tangan abinya. "Iya," jawab Teguh dengan menepuk bahu Salma sekali. "Adik kamu sudah tidur?" lanjut Teguh dengan sebuah pernyataan. Salma mengangguk lalu berkata. "Sudah Bi, walau tadi sedikit rewel. Mungkin karena tempat ini terlalu biasa untuk Farhan." "Gak papa. Ke depannya Farhan pasti akan terbiasa," ucap Teguh dengan yakin. "Abi ke kamar ya, mau istirahat." Salma mengangguk. Selanjutnya Teguh menghilang dari pandangannya sesaat setelah ia masuk ke kamar pribadinya. Salma menghela napas panjang, lalu ikut naik tangga menuju kamarnya. Decitan terdengar begitu Salma membuka pintu kamarnya. Matanya menatap ke tiap inci kamar barunya. Kamar baru di dalam rumah baru yang baru hari ini ia dan keluarganya tempati. Sebelumnya rumah Salma berada di Jakarta Selatan, dan kini pindah ke daerah Jakarta Utara. Kamarnya masih tampak kosong, belum banyak barang selain tempat tidur dan lemari pakaian. Sedangkan barang-barang lainnya masih berada di dalam kardus di samping meja belajarnya. Salma merebahkan tubuhnya. Helaan napas teratur muncul dari 2 lubang hidungnya. Kedua matanya terpejam lelap. Ia berharap semoga rumah barunya itu akan membawa perubahan yang positif. Walaupun rumah lamanya tetap akan menjadi yang terbaik. Rumah masa kecilnya, rumah yang dipenuhi kebahagiaan. Rumah di mana saat semuanya masih baik-baik saja, dan awal di mana keadaan menjadi tidak baik-baik saja. Laki-laki itu terus saja menggeram kesal dengan tubuh tengkurap dan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Kakinya menendang-nendang asal karena kesal pintu kamarnya bukan lagi diketok melainkan digedor berulang-ulang. "Nanti abang bangun sendiri, Aziz!!" "Gak mau. Aku gak percaya sama abang! Bangun sekarang, cepetan!" teriak seorang anak dari luar. Anak itu masih menggedor pintu kamar di hadapannya. "Hiiiissshhh!" Laki-laki itu akhirnya menyerah. Ia menyingkap selimutnya dengan kesal, dan bangkit duduk. Ia melirik sinis ke arah pintu yang tertutup, lalu bangkit berdiri dan membuka pintunya dengan cepat. Bruk!! "Aww!! abang!!" Anak itu langsur tersungkur di lantai karena ia tidak bisa mengantisipasi pintu yang tiba-tiba terbuka dengan lebar. Anak itu mengerucutkan bibirnya, ia melihat telapak tangannya yang memerah karena menahan bobot tubuhnya saat terjatuh tadi. Anak itu mendongak dan menatap sebal ke arah kakak laki-lakinya yang bernama Syauqi. Anak yang memiliki nama lengkap Aziz Ananda Favian itu adalah adik laki-laki Syauqi yang berumur 6 tahun. Saat ini, Aziz sedang mengampu pendidikan sekolah dasar kelas 1. Tahu akan tatapan sinis dari adiknya, Syauqi memasang wajah sok sedihnya dengan telapak tangan membekap mulutnya seraya berkata. "Ups sorry, abang gak tahu kalau kamu ada di depan pintu." "Bohong, abang sengaja kan?!" Suara Aziz sudah bergetar, kedua bibirnya sudah melengkung ke bawah dan siap menangis. Bukannya membangunkan adiknya yang terjatuh dan minta maaf, Syauqi malah memeletkan lidahnya pada Aziz. "Yap betul sekali. Itu sebagai balasan untuk kamu, karena udah ganggu tidur pagi abang," selesai sudah. Syauqi langsung turun ke bawah, tanpa kembali menatap wajah adiknya yang mulai bercucuran air mata. Syauqi melangkah dengan cepat menuruni anak tangga satu persatu, mengabaikan Aziz yang berteriak memanggil namanya. Sebenarnya ia tak tega, tapi ia hanya bisa tertawa dalam hati mendengar adiknya menangis. Salah siapa membangunkannya di saat matanya bahkan belum mau terbuka. Terlebih Syauqi juga tidak ada jadwal kuliah hari ini. "Papa! morning," sapa Syauqi dengan melangkah melewati papanya yang sudah duduk di meja makan dengan membaca koran paginya. "Hmm," jawab Papa Syauqi singkat dari sapaan anaknya. Ia menggelengkan kepalanya saat melihat anak sulungnya yang baru saja mencuci wajahnya di wastafel. "Kamu baru bangun?" tanya Heri saat Syauqi sudah duduk di depannya. Syauqi menuang air ke dalam gelasnya lalu mengangguk sambil memberikan cengirannya. Selanjutnya ia meminum air tersebut, dan mengeluarkan desahan puas setelah menghabiskan minumnya dalam sekali tenggak. Heri kembali menggeleng melihat kelakuan anaknya. "Kamu gak kuliah hari ini?" tanya Heri dengan mata kembali fokus pada koran yang ada di genggamannya. Ia sudah selesai sarapan tadi, dan kini sedang menunggu sopirnya yang sedang memanaskan mobil. Syauqi menggeleng dengan mulut yang penuh sandwich. Ia mempercepat kunyahannya untuk segera melengkapi jawabannya. "Libur, Pa. Jadi aku bebas hari ini." "Libur bukan berarti kamu gak mandi Syauqi," "Aku mah tetep mandi, Pa. Cuma waktunya aja yang bergeser ke siang." Heri melipat korannya dengan tegas sehingga menimbulkan suara gemerisik. "Ngeles aja kamu mah." Syauqi mendengus, lalu menatap Heri dengan tatapan datar. "Oh ya, kita punya tetangga baru, Qi. Kemarin Papa sudah minta sama Bi Yati untuk beli kue. Nanti kamu kasih ke mereka, ya. Sekalian kenalan," ucap Heri sambil merapihkan dasi dan kemejanya. "Tetangga, Pa?" "Iya," "Ngapain mereka pindah ke sini?" "Pertanyaan kamu kok gak jelas, sih. Udah ya, Papa tinggal. Jangan lupa kamu kasih ke mereka pagi ini ya." "Gak mau ah, males. Aziz aja," "Kamu itu kalau dis-" "Papaa.." Syauqi dan Heri sama-sama menoleh ke arah suara. Aziz menuruni anak tangga dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya dan sesenggukan. Anak itu menunjukkan kedua telapak tangannya yang memerah karena ulah Syauqi ke arah Heri. Melihat anak bungsunya menangis, Heri tidak jadi memarahi Syauqi dan lebih memilih bangkit berdiri dan menghampiri anak bungsunya. "Kamu kenapa?" Heri bertanya dengan wajah khawatir pada anaknya. Aziz yang sesenggukan itu mengarahkan telunjuk mungilnya ke arah Syauqi. Syauqi yang tahu akan nasibnya sebentar lagi, langsung menutup mulutnya rapat dan mencoba bangkit berdiri. Ingin meninggalkan tempat itu tanpa suara. Sreettt! "Mau kemana kamu?" Heri menaikkan alisnya sambil menatap Syauqi. Ia sudah memegang baju belakang Syauqi. Syauqi memutar kepalanya ke belakang, dan menghiasi wajahnya dengan cengiran. "Kamu apakan adik kamu?" Heri melepas cekatan tangannya dari baju belakang Syauqi. "Aziz jatuh sendiri, Pa. Aku gak apa-apain dia." Syauqi mencoba menjelaskannya pada Heri dengan menatap sebal ke arah Aziz. Aziz menepis air matanya, "Abang tarik pintunya tiba-tiba, Pa. Padahal Aziz lagi ada di pintu.." Aziz menunjuk Syauqi dengan tangan kanannya. "Aw aw aww!! sakit, Pa! ringis Syauqi saat telinganya dijewer oleh sang papa. "Ya ampun, Pa! bisa copot ini kuping aku!" Syauqi terus mengaduh dengan mencoba melepaskan jeweran Heri di telinganya. Tapi bukannya dilepaskan, Heri malah semakin menarik telinga Syauqi. Heri melepas jeweran pada anaknya, tapi Syauqi masih saja menggeliat karena telinganya yang masih terasa sakit. Heri berdiri tegap dan menatap Syauqi dengan tatapan tajam. "Papa sudah pernah bilang, jangan usili Aziz. Kamu itu kenapa sih, susah banget kalau Papa kasih tau!" "Emang Pa, bang Syauqi nyebelin. Bang Syauqi jahat, suka usilin Aziz." Syauqi menghela napas panjang, saat Aziz mengadukan semuanya pada Heri. Heri menatap kedua anak laki-lakinya bergantian. Aziz yang air matanya masih mengalir, dan Syauqi yang hanya menatap Aziz dengan cuek dan malah menjulurkan lidahnya pada adiknya. Heri tersenyum melihat tingkah dua anak laki-lakinya yang semakin tumbuh dewasa itu. "Kalian selesaikan urusan kalian dengan cara laki-laki." Heri menyentuh puncak kepala Aziz dan juga Syauqi. Aziz yang tangisannya sudah mulai reda menatap Syauqi dengan kedua alisnya yang menyatu, sedangkan Syauqi juga tak segan melayangkan tatapan tajamnya pada Aziz. Mereka berdua saling bertatap sengit satu sama lain. Heri menghela napas panjang, "Papa berangkat kerja dulu ya. Kalian yang akur, jangan berantem." Syauqi dan Aziz mencium tangan Heri bergantian.  "Jangan lupa antar kuenya ke tetangga baru." perintah Heri sebelum akhirnya benar-benar melangkah ke arah pintu untuk berangkat kerja.  "Makasih ya, Non," ucap Bi Irah pada Salma yang membantunya dengan memberikan peralatan makan yang kotor untuk dicuci. Bi Irah, pembantunya yang sudah bekerja pada keluarga Wicaksono bahkan sebelum Salma lahir. Bi Irah juga mau diajak pindah ke rumah baru dan tidak keberatan. Walaupun pada awalnya, Bi Irah juga sedih dan merasa berat hati meninggalkan rumah yang lama. Salma membalasnya dengan senyum tipis. "Oh ya, non Salma gak ada kuliah hari ini?" Salma yang masih berdiri dengan bersandar pada rak, menoleh pada Bi Irah. Gadis itu menggeleng sambil mengulas senyum. "Gak ada, hari ini aku udah diminta Abi untuk kasih tau semua tetangga kalau lusa kita mau adain acara pengajian." "Oh iya, Non. Untuk acara lusa, apa aja yang perlu disiapin? Biar bibi bantu." "Hmm apa ya.. Mungkin kalau untuk buah dan sayur, nanti bisa kita beli di pasar, Bi. Kalau snack dan makan malam, katanya Abi mau langsung pesen di kenalannya aja. Biar gak repot kata Abi," ucap Salma. "Siap kalau gitu. Nanti bibi bantu cari buah yang paling bagus dan murah." ujar Bi Irah dengan semangat membuat Salma tersenyum kecil. Tok tok! "Assalamu'alaikum!" Salma dan Bi Irah saling menatap saat mendengar suara ketukan pintu, lengkap dengan salam. "Suara anak kecil ya, Bi?" "Iya non, kayaknya." Bi Irah langsung segera mencuci tangannya dari busa. "Biar saya bukain, non." "Eh gak usah, Bi." Salma menahan tubuh Bi Irah yang ingin beranjak dari dapur. "Gapapa, Salma aja. Bibi lanjutin aja cuci piringnya." "Ya udah kalau gitu, biar saya lanjutin cuci piringnya, non Salma bukain pintu untuk tamunya." Salma mengangguk kecil, dan segera berlalu meninggalkan Bi Irah. "Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikumsalam, sebentar!" Salma mempercepat langkahnya untuk menggapai gagang pintu. Ia membuka pintu rumahnya dan menemukan anak kecil dengan seragam merah putih yang memiliki tinggi sama seperti Farhan berdiri di depan rumahnya. Anak itu ternyata adalah Aziz. Aziz Ananda Favian, adik dari Syauqi Arjune Favian. "Hai, kakak!" Salma refleks tersenyum dan ikut melambai melihat anak itu yang melambaikan tangan padanya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Hai.. " "Jadi, kakak cantik yang jadi tetangga baru aku?" Salma lagi-lagi tersenyum. Ia mengangguk pada anak itu. Selanjutnya anak itu mengulurkan tangannya pada Salma. "Kenalin kak, nama aku Aziz!" Salma terkekeh. Anak itu mengenalkan namanya dengan begitu bersemangat. "Aziz ada perlu apa ke sini?"tanya Salma. "Oh iya!" Aziz menepuk keningnya, "Sebentar ya kakak," ucap Aziz. Salma mengangguk menurut, dan membiarkan Aziz yang berlari keluar dari pagar rumahnya. Mungkin anak itu kelupaan sesuatu. Aziz berlari menghampiri kakak laki-lakinya yang kini malah berjongkok di depan pagar. "Abang ih, ayo cepetan. Kakaknya udah nungguin itu," Syauqi berdiri dengan malas, "Gak mau ah, males. Kamu aja nih yang bawa," ia menyodorkan plastik yang berisi 2 kotak kue yang tadi dititipkan oleh Heri untuk diberikan kepada tetangga barunya tersebut. "Berat bang! Abang mah begitu ih. Nanti aku bilangin Papa loh, kalau gak mau." ancam Aziz, yang membuat Syauqi melotot ke arah adiknya. Syauqi menyentil kening Aziz dengan pelan. "Rese kamu, mainnya ancaman. Gak seru," cibir Syauqi. "Awas-awas, minggir sana." Syauqi menggeser tubuh Aziz dengan tangan kanannya. Ia masuk melewati pagar rumahnya dengan kepala menunduk karena merutuki ancaman Aziz. Saat Syauqi sudah mau sampai pintu, ia melihat ada sepasang kaki yang terbalut rok berwarna hitam berdiri di hadapannya. Syauqi mengangkat kepalanya, dan langsung melotot kaget. Sontak, Syauqi mundur beberapa langkah dari posisinya. Syauqi menatap sosok perempuan di hadapannya. Ia mengingat jelas wajah perempuan itu. Perempuan yang pernah ia lihat di kafe beberapa waktu yang lalu. Wajahnya sama, dan teduh wajahnya juga sama. Mimpi apa Syauqi, dipertemukan dengan bidadari dengan kerudung lebar pagi ini. Perempuan yang kini menjadi tetangga barunya. Perempuan yang kini secara otomatis akan selalu berada di dekat Syauqi. "Astaghfirullah," Salma langsung menolehkan kepalanya ke samping, saat merasa ia diperhatikan oleh laki-laki yang tak ia kenal di hadapannya itu. "Mm.. Gue.. gak, aku.. Mm.. " Syauqi menghela napas panjang. Ia merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia. Bicara dengan gugup di depan perempuan? Yang benar saja. "Seharusnya kamu pakai celana panjang. Celana yang kamu pakai itu bisa menyingkap aurat kaki kamu." "Hah?" Respon Syauqi dengan ketidak mengertiannya. Beberapa detik Syauqi sibuk mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. "Maaf ya kakak cantik. Abang aku ini emang orangnya males mandi. Tadi aja, Papa udah nyuruh man- mbmbbb.." Salma langsung menghadap ke depan, dan melihat Aziz yang dibekap oleh laki-laki yang memakai celana pendek itu. Kalau diperhatikan, Syauqi memang hanya memakai kaos oblong, celana pendek, dan rambut yang masih acak-acakkan. Itu adalah tampilan seorang Syauqi ketika ia baru bangun tidur dan belum mandi. "Ha.. Ha.. Ha.. " Syauqi mengeluarkan tawa canggungnya. "Bohong, jangan dipercaya." "Aziz ih, jangan bikin abang malu dong." ancam Syauqi dengan berbisik di telinga Aziz. "Kamu, kakaknya Aziz?" tanya Salma, setelah menatap getir Syauqi yang masih membekap mulut Aziz. Syauqi kembali tertawa hambar. Ia melepaskan mulut Aziz dan kembali berdiri tegap. Menatap penampilannya pagi ini, membuat Syauqi terus merutuk dalam hati. Harusnya tadi ia mandi. Harusnya tadi ia tanya dulu sama papanya, siapa tetangga barunya itu. "Iya," jawab Syauqi dengan menampilkan senyum kaku.  "Gue.. eh.. mmm aku.. disuruh Papa kasih ini untuk kamu dan keluarga kamu." ujar Syauqi sampai akhirnya ia bisa mengakiri kalimatnya dengan lancar dan tanpa kendala. Ia bahkan bicara dengan Salma dengan menggunakan aku-kamu. Syauqi melangkah maju mendekati Salma dan memberikan satu plastik yang berisi 2 kotak kue. "Oh ya?" tanya Salma sambil menerima pemberian dari Syauqi. "Kalau gitu sampaikan ucapan terima kasih ya, sama papa kamu. Mohon maaf jika malah merepotkan," ucap Salma dengan kepala menunduk. Menatap mata lawan jenis bisa menimbulkan zina mata. Maka itu ia harus menahannya dengan gadhul bashar (menjaga pandangan). "Aku pasti sampein,"  Aziz langsung menoleh pada kakaknya yang sejak tadi tidak berhenti tersenyum. Aneh. "Kita belum kenalan," ucap Syauqi dengan tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Namaku Syauqi, Syauqi Arjune Favian. Nama kamu siapa?" Salma masih diam, kepalanya menunduk dan sibuk menatap tangan yang terulur padanya itu. Akhirnya Salma mengangkat kepalanya dan menatap mata itu hanya dalam 2 detik karena selanjutnya Salma kembali menunduk. "Salma.." jawab Salma dengan tangan yang merapat di depan dadanya. "Salma Adsila Isaura." Sempurna sudah jawaban Salma atas pertanyaan Syauqi tentang namanya tadi.  Syauqi mengangkat satu alisnya ke atas. Menatap tangannya yang masih mengambang, dengan Salma yang merapatkan telapak tangannya di depan dadanya. "Kita bukan mahram, dan haram untuk bersentuhan," jeda beberapa detik. "Pasti itu yang mau kamu katakan, kan?" tanya Syauqi memastikan dengan terkekeh kecil. Ia jadi menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena malu.  Salma langsung tersdiam speechles. Syauqi mengatakan apa yang tadi baru mau ia katakan. "Betul," kata Salma dengan tersenyum samar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD