Karena besok pagi, Bagas akan mengantar Una ke Singapura bersama dengan ibu Bilqis, maka hari ini ia lagi quality time bersama dengan Fara dan juga sang anak sambungnya, Alden.
Bagas menemani Fara di dalam kamar, tidak ada permintaan berarti, sekalipun saat ini Fara sedang hamil buah hatinya bersama dengan Bagas.
“Sayang, kamu gak kepingin apa apa, gitu?” tanya Bagas sambil memeluk sang istri dari belakang sembari mengelus perut Fara yang masih rata, sehingga sang wanita kegelian.
“Belum mas!Kamu besok harus memperhatikan Una, jadi sekarang lebih baik kamu istirahat loh mas, nanti kalau kamu sakit malah nanti runyam semua.” kata Fara membujuk sang suami untuk segera beristirahat, tapi tentunya Bagas tidak semudah itu melepaskan wanita halal yang ada di pelukannya saat ini. Ia ingin meropel kebutuhan biologisnya karena ia akan menemani Una selama seminggu untuk pemeriksaaan ulang bersama dokter Lee, di Gleneagles Hospital.
“Gak ah, pingin berduaan sama kamu dulu, supaya support energynya cukup buat seminggu.” katanya sambil tangannya yang nakal meraba bagian favoritnya milik Fara yang besar dan kenyal menggoda.
“Mas . . .”
“Kemarin waktu mama Sonja tahu kalau kamu hamil ia senang banget, saking senangnya sampai pingsan. Ia tak menyangka kalau kita akan diberi kepercayaan secepat itu mengingat aku dan Una sudah lama nikah dan belum dapat keturunan. Mama pikir kalau paling beberapa bulan lagi lah, eh ternyata tokcer juga punyaku.” katanya sambil tertawa geli dengan kata kata tokcer tadi.
“ Ya mungkin udah waktunya keluarga Wikatama mendapatkan kebahagiaan dengan adanya anak ini. Semoga anak ini bisa membuat kamu dan Una semakin lekat lagi!” kata Fara dengan nada sendu, ia akan memilih menyerah, ia tak suka menjadi yang kedua dan ia memilih pergi. Ia berharap Una akan segera sembuh.
“Ngomong apa sih kamu, Ra? Kamu mau kemana emangnya?” tanya Bagas yang sekarang takut kalau Fara meninggalkannya.
“Aku hanya ingin menolong keluarga Wikatama, Mas! Jadi nanti kalau aku sudah melahirkan, aku akan menyerahkan anakku agar Una bisa merawatnya . . . “
“Tidak!Jangan . . . jangan tinggalin aku!Aku ga bisa kalau kamu mau tinggalin aku. Kita akan rawat anak kita bersama sama. “ kata Bagas yang kemudian membalikkan tubuh sang istri supaya Fara menghadap ke arahnya.
Raut wajah sedih terpancar dari wajahnya yang cantik, ia mencintai Bagas dengan tulus, cinta lama yang ia kubur, kembali bersemi! Membuat berat rasanya untuk meninggalkan Bagas yang kini telah menjadi miliknya, walau ia harus berbagi.
“ Jangan ada kepikiran sedikit pun untuk memilih pisah. Aku . . . aku akan berusaha untuk adil, aku . . .”
“Sudahlah, mas!Kita pikirkan nanti saja ya!Yang penting kamu harus istirahat, besok akn menjadi hari yang melelahkan buat kamu. Yuk kita . . .”
“NO!Kamu harus janji sama aku takkan pernah ninggalin aku.”
Bagas tampak kukuh meminta sang istri keduanya itu untuk berjanji, entah kenapa ia takut kalau sampai kehilangan Fara dan Alden. Katakanlah ia egois, tapi ia ingin terus memiliki Fara. Bercinta dengan Fara sudah menjadi candu buatnya.
“Iya iya . . .” kata Fara berusaha menenangkan, ia tak mau Bagas akan kepikiran masalah ini.
”Kamu janji takkan meninggalkan aku walau kamu sudah melahirkan?”
Bagas mendesak Fara untuk berjanji, kalau perlu ia akan mengikat sang istri supaya tidak bisa kemana mana.
“Iya, mas!” Kata Fara sambil meraba d**a bidang sang suami.
“Jangan bohong ya sama mas!Mas akan ikat kamu supaya kamu gak bisa pergi dari mas!” kata Bagas dengan hati yang cukup was was, ia memikirkan sesuatu supaya Fara tak bisa meninggalkan dirinya.
“ Ya ampun . . . iya masku sayang!” katanya dengan nada ditekan seolah ia kesal karena Bagas masih saja membahas masalah ini.
“Kamu bikin aku kesal ya! Sebagai gantinya kamu harus dihukum karena sudah bikin aku resah!” Bagas langsung melucuti pakaian tidur yang dipakai oleh sang istri, yang membuat Fara kesal karena Bagas begitu trampil membuat dirinya ‘kedinginan’.
“Mas arghh . . . “ sebuah desahan lolos dari bibir seksi sang istri yang kemudian langsung dibungkam oleh bibir tebal Bagas yang membuat Fara hanya bisa mengelurakan suara suara gunaman tak jelas, yang membuat Bagas semakin bersemangt untuk menaklukan tubuh sang istri.
“Sayang aku akan menjenguk anakku di dalam sana ya . . . “ kata Bagas dengan sorot mata berlumur hasrat dan gairah yang membuncah.
Fara tak bisa melakukan hal lain selain meng - iyakan apa yang diinginkan sang suami sehingga hanya ada desahan serta teriakan tertahan dari bibir keduanya yang sedang menikmati pertempuran panas yang membuat kamar itu menjadi membara, walau pendingin ruangan terasa dingin.
Bagas menyalurkan keresahannya dan ketakutannya akan kemungkinan kehilangan sang istri keduanya ini dengan pertempuran panas yang ia lakukan.
Sedangkan entah kenapa, Fara semakin ingin melakukan sentuhan dan tindakan intim bersama dengan sang suami, walau ia tahu ia mesti membagi Raga Bagas dengan Una.
Ia ingin hari ini dengan egois memiliki Bagas seorang diri, sehingga Bagas merasa klau sang istri benar benar memanjakannya dengan belaian penuh kelembutan.
“ Ra, arghhh kamu semakin nikmat sayang . . . “ racaunya ketika badai kenikmatan itu menggulungnya dengan begitu cepat sehingga Fara merasa begitu dipuja oleh Bagas.
Pacuan Bagas semakin cepat padahal Fara sudah berkali kali diterpa oleh deburan ombak yang dahsyat itu.
Seluruh tubuh sang istri terguncang dengan ritme yang lembut sehingga sang istri tampak begitu seksi menggoda membuat Bagas tak tahan untuk tidak menikmatinya dengan cecapan bibirnya, seluruh tubuh Fara penuh dengan kissmark yang membuat Bagas semakin bersemangat dengan hasil karyanya.
Fara hanyalah miliknya, ia akan menunjukkan kepada orang lain kalau Fara adalah miliknya!
“Sayang aku mau nyampe . . . “ Bagas segera menarik miliknya dan menumpahkannya di atas perut sang istri, karena ia masih mengingat kalau istrinya itu masih hamil muda, jadi ia tak boleh menumpahkan cairan miliknya itu ke dalam inti tubuh sang istri. Ia takut kalau nantinya menimbulkan kontraksi.
Bagas pun dengan lembut dan telaten membersihkan tubuh sang istri yang polos kayak bayi baru lahir.
Ia melayani sang istri yang terlihat lemas tak berdaya, tapi entah kenapa kepasrahan sang istri di atas ranjang itu malah membuatnya b*******h kembali.
Setelah bersih, Bagas langsung mendekap tubuh sang istri yang masih polos itu dan membelai kulit halusnya yang langsung membuat miliknya itu segera merangkak naik yang membuat Fara segera menoleh ke arah Bagas.
“He he he, dia itu kalau lihat kamu bawaannya bertempur melulu. Apalagi seminggu besok bakal gak ketemu sama kamu, jadi ya mintanya jatah gak kira kira gitu!” katanya dengan malu malu, membuat sang istri hanya menanggapi dengan memutar bola matanya dengan jengah, tapi Fara selalu mengingat nasihat sang mama.
‘Layani suami kamu selagi kamu bisa dan mampu. Puaskan dia dengan dirimu, supaya ia tak kan berpaling ke lain hati.'
Jadi, ia pun melakukan apa yang diinginkan sang suami, sampai ia puas. Memenuhi kebutuhan biologisnya dengan penuh.
" Argh baby! Kamu selalu bisa memuaskan aku . . " racau Bagas setelah mencapai pelepasannya yang kedua.
Fara hanya diam karena ia sudah terlalu lelah mendesah dan meneriakkan nama sang suami dengan suara tertahan.
Ia memejamkan mata dan berharap setelah ini suaminya akan melepaskannya dan membiarkannya beristirahat.
Ia pun heran kenapa sang suami bisa begitu bertenaga, padahal ia tahu pasti kalau suaminya pasti cape berat, seharian di kantor, pulang mesti ke tempat Una dan mengurus kepentingan istri pertamanya itu, eh pulang mesti bermain dulu sama Alden, sampai si Alden lelah tertawa mulu sama ayah sambungnya itu. Sekarang . . . malah bertempur sampai beronde ronde, emang Bagas gak lelah ya?
“I love you, Ra!” katanya lirih sambil mengecup kening istrinya itu setelah kembali membersihkan tubuh istri keduanya itu dengan perlahan, tampaknya Fara juga tak bergeming karena saking lelahnya.
* * *
“Persiapan sudah semua, Bu!Dari sini kita akan naik ambulance untuk kemudian naik private jet agar menjaga kenyamanan Una selama perjalanan dari sini sampai ke Singapura.” kata Bagas yang sepagian itu sudah sibuk mengatur keberangkatan Una, dari rumah sakit ini ke rumah sakit Singapura, memakai rujukan dari rumah sakit sebelumnya.
Ibu Bilqis juga turt mondar mandir mengurus ini dan itu, sedang Fara hanya menemani Una saja.
“Na, kudoakan kamu bisa cepat sembuh ketika terapi di sana. Jangan pikirkan apapun. Ingat akan ada tanggung jawab besar yang menanti.” kata Fara dengan nada lembut.
“Sehat sehat ya dek, di perut mama, nanti ibu akan ikut mengurus kamu.” kata Una dengan raut sumringah, karena ia sudah tahu kalau Fara hamil. Ia tak sabar menanti kelahiran anak di kandungan Fara.
“Makanya . . . ibu harus cepet sembuh!” kata Fara menirukan suara anak kecil, membuat Una tertawa, sesuatu yang tak pernah ia lakukan berapa tahun belakangan ini. Ia sudah terlalu sedih menghadapi penyakitnya dan kehidupannya yang berat.
“ Doakan ya, Ra! Semoga dengan diangkatnya rahim aku akan membuat penyakitku itu hilang seluruhnya.”
“Aminnn!! Harus semangat ya, Na!” kata Fara dengan doa yang tulus.
“Ayo, Na! Kita berangkat sekarang?” kata Bagas sambil tersenyum melihat interaksi kedua istrinya.
“Berangkatlah . . . aku doakan kesembuhan kamu ya Una!” Fara langsung berdiri, namun tangan Bagas menahan langkahnya agar tidak pergi terlebih dahulu. Bagas dan Fara berada di belakang brankar Una, dan ketika suster sudah mendorong brankar itu, Bagas langsung menarik pinggang sang istri, lalu mencium bibirnya dengan ganas dan kemudian menempelkan keningnya dengan nafas yang masih tak beraturan saking ganasnya ciuman di lakukan oleh mereka.
“ Jaga baik baik dirimu, jangan nakal dan jangan lirik lirik laki laki lain.” kata Bagas dengan posesif. Fara memutar bola matanya dengan kesal.
“Iya iya . . . “
“Pulang sama pak Saiful, ada pengawal yang akan mengawasi kamu.” katanya sambil melangkah keluar.
“Iya iya . . .”
“ Aku pergi sekarang!” katanya sambil mencuri satu ciuman dari Fara lagi.
“Iya iya . . . “
Karena arah yang berbeda, jadi Bagas ke arah kanan dan Fara berjalan ke arah kiri, setelah drama Bagas yang terus memeluk dan tak mau melepaskan tubuh Fara.
Fara tersenyum membayangkan Bagas yang tadi merajuk ketika harus berpisah dengannya, seakan tak rela.
Tiba tiba ada suara baritone memanggilnya dan membuatnya terkejut.
“ Faradinda . . .”