7. Menjaga Perasaan

1533 Words
Keseharian Una yang selalu berada di rumah sakit dan belum mendapatkan izin untuk pulang membuat Bagas dan juga Fara harus berada di rumah sakit bergantian dengan ibu Bilqis yang juga selalu tidak pernah absen untuk menunggu Putri semata wayangnya itu. Fara yang tidak pernah datang bersama dengan Bagas, membuat Una curiga kepada sahabatnya itu. Una berpikir kalau sahabatnya itu sengaja menghindari suaminya agar tidak perlu melakukan kewajiban yang seharusnya ia lakukan bersama dengan suaminya itu. Mana tahu Una kalau sebenarnya sahabatnya itu sedang menjaga perasaannya. Bagas sekarang sudah terlalu over perhatian dan overprotektif terhadap istri keduanya itu sehingga Fara tidak ingin kalau Una mengetahui hal itu. Dia takut kalau Una cemburu, karena mungkin dirinya pun akan merasakan hal yang sama apabila kondisinya dibalik. “Ra, kamu sepagi ini sudah berada di sini, apa kamu sedang menghindari mas Bagas?” tanya Una straight to the point terhadap sahabat sekaligus madunya itu. Wajah ayu Fara menatap Una dengan kaget, ia tak menyangka kalau Una akan berpikir seperti itu. Tapi ia tak mau menyanggah dan memilih untuk tersenyum menutupi apa yang ia lakukan bersama dengan Bagas semalam sampai pagi tadi sehingga dirinya merasa kewalahan. Dia tidak mungkin menceritakan hal itu kepada Una karena itu akan menyakitkan bagi Una. “Na, Kamu itu jangan selalu berpikiran buruk terlebih dahulu. Kamu kan tahu kalau saat ini aku memiliki Alden jadi aku harus bisa membagi waktu antara kamu, mas Bagas dan juga Alden.” “Ah iya iya . . . aku lupa sama Alden yang unyu itu, sayang sekali anak kecil gak boleh diajak kemari ya? Padahal aku pingin bisa ketemu sama dia loh! Ihhh lucu parah pastinya ya?” Una mengungkapkan semuanya itu dengan wajah yang gemas. Tentu saja karena ia sangat ingin memiliki seorang anak tapi dia tidak mungkin bisa mendapatkannya.. Melihat Alden yang sangat lucu dan sangat tampan membuatnya ingin memeluk dan juga menggendongnya. “ Makanya kamu harus cepat sembuh supaya kamu bisa cepat keluar dari tempat ini!” kata Fara memberikan semangat supaya Una cepat sembuh dan lebih bersemangat lagi menghadapi pengobatannya. “ Hmm, besok aku akan melakukan kemo, ada baiknya kalian, kamu dan mas Bagas jangan datang dulu, karena itu bisa berpengaruh sama progam kehamilan kalian, biar aku ditemani sama ibu saja!” katanya dengan sendu. “Kamu gak pernah kepikiran untuk melakukan pengobatan di luar negri, Na? Soalnya disana mungkin lebih canggih gitu kan?” tanya Fara yang juga ingin kalau sahabatnya itu bisa sembuh. Dan ia tulus melakukannya. “ Sudah pernah dicoba, tapi ya . . . begitu itu! Aku malas, Ra! Lagian kasihan Bagas tak bisa konsen dengan kerjaannya.” kata Una berusaha menjelaskan apa saja yang pernah ia lakukan untuk bisa mendapatkan kesembuhan di luar negeri. “ Ohh . . . “ Fara kembali tak bisa berkata-kata karena benar juga, posisi Una saat ini sangatlah sulit kalau mau melakukan terapi di luar negeri. Bukannya tidak mampu tapi lebih ke arah dia tidak akan mendapatkan support secara maksimal dari suaminya dan kalau mau melakukan hal itu berarti dia harus bertempur sendirian di luar negeri hanya ditemani oleh ibunya saja. Mungkin Una merasa belum siap untuk melakukan hal itu. Fara dan Una kembali dalam fase masa Canggung karena tidak ada lagi yang bisa dibicarakan. “ By the way Kenapa kamu pagi-pagi bisa sampai di sini Apakah Mas Bagas masih di rumah?” Una berusaha mengalihkan pembicaraan mengenai pengobatannya ke arah suami bersama mereka itu. “ Ah tidak Mas Bagas hanya sedang berada di kantor sekarang, karena sekretarisnya mengatakan bahwa pagi-pagi ini sudah ada rentetan meeting yang akan membuatnya sibuk seharian ini. “ jelas para sambil menatap Una yang tampak gelisah ketika dia bercerita masalah itu. “ Ra, kamu tidak merasakan sesuatu ketika sekretarisnya itu memberikan jadwal yang begitu padat kepada Mas Bagas? " selidik Una kepada sahabatnya itu yang tampak santai dan tidak terbebani sama sekali. “ Ya enggaklah! Kupikir itu sebuah hal yang wajar karena memang pekerjaannya kan banyak banget yang terbengkalai. Dia seorang CEO dan memiliki bisnis yang bukan hanya satu bidang saja, wajar kalau akhirnya dia harus memecah semua konsentrasinya kepada banyak hal. Itu bisa jadi membuat intensitas meeting dan pekerjaannya tambah membludak!” katanya dengan penuh pengertian, tapi itu justru membuat Una semakin tidak senang. “ Kamu tahu kah alasan utama Aku meminta kamu menjadi istri kedua bagi Mas Bagas? Salah satunya karena sekretarisnya itu, karena ia menyukai mas Bagas kita itu. Ia ingin aku cepat mati supaya ia bisa merebut posisiku! Demi Tuhan aku tak rela kalau mas Bagas yang baik itu harus bersama ular seperti Winda itu.” cebiknya kesal. Wajahnya yang pucat itu dihiasi amarah yang terlihat jelas di kedua bolamatanya. Sebenarnya Fara tidak terlalu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Una itu tapi dia yakin kalau umat tidak menuduh dengan tanpa bukti, jadi lebih baik bertanya daripada sesat di jalan. “ Bagaimana kamu bisa yakin sama itu sih, Na? Ingat gak boleh menuduh sembarangan . . . “ “Kamu tuh sama kayak Mas Bagas yang tidak percaya kalau Winda itu mengatakan hal itu sama aku.” Una tampak kesal ketika Fara seperti tidak percaya kepadanya. Dengan berapi-api dia berusaha mengungkapkan apa yang sudah terjadi kepada dirinya itu. “Iya kan kamu belum bilang sama aku, Na?Emang apa sih yang dikatakan sama Winda itu?” tanya fara dengan lembut. Dia memang selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah. Dan dia pun ingin menjaga perasaan dari Una yang pastinya lebih sensitif ketika dia sakit seperti ini. Dan dengan berbekal rasa ingin menjaga perasaan dari istri pertama suaminya itu, di sinilah Fara sekarang berada. Siang ini, Fara berada di kantor wikatama Group yang memang tampak elegan dan kelihatan sangat mewah. Una ingin dirinya tidak langsung percaya begitu saja kepada sekretaris dari Bagas itu dan memintanya untuk menyelidiki kondisi di lapangan yang tidak dapat dia lakukan selama ini. “Maaf mbak, saya ingin bertemu dengan bapak Bagas Azka Wikatama, apakah beliau ada di kantor?” tanya Fara dengan nada ramah kepada receptionist yang duduk di tengah tengah lobby gedung yang sanagt elegan itu. “ Maaf, apakah ibu sudah ada janji dengan bapak?” tanya receptionist dengan standar pertanyaan yang biasa ditanyakan kepada tamu bos besar. Apalagi Faradinda sama sekali belum dikenal oleh mereka, mereka kan tidak tahu kalau Bos besarnya menikah kembali dengan seorang wanita cantik yang ada di hadapannya itu. “Belum, mbak! Bisa di konfirmasikan saja kalau Fara ingin bertemu?” pinta Fara kepada receptionis itu. “Ehm sebentar, saya akan tanyakan kepada sekretaris bapak. Harap ibu bersedia menunggu!” kata receptionis itu dengan nada sopan. Fara mengangguk saja dan matanya mengedar, untuk melihat keindahan dan kemewahan kantor suaminya itu. Tiba tiba ada suara seoarng laki laki yang menyapanya. “Fara?” tanya laki laki itu. “Ah . . . hmm Tom ya?” Fara sedikit ragu karena ia sudah lama tak bertemu dengan laki laki yang bertampang klimis dengan jas yang fit the body. “ Dena, ini ibu Fara dan ini adalah istri dari bapak, jangan persulit kalau ia datang ya.” perintahnya pada receptionis yang menerimanya tadi. “Baik pak! Tapi ibu Winda bilang kalau Bapak akan ada meeting . . .” “Biar aku yang urus! Mari . . . Aku akan mengantar kamu ke kantor pak Bagas!.” “Eh bagaimana kamu bisa tahu tentang pernikahan aku sama Bagas?”Ia sudah lama tak bertemu sama Tom ini, bagaimana ia bisa tahu kalau Bagas dan dirinya sudah menikah? “ He he he jadi kamu nggak tahu ya kalau aku udah lama bekerja sama sebagai asisten pribadinya? Jadi Tentu saja aku tahu segalanya karena aku sendiri yang sudah menyiapkan pegawai dari catatan sipil untuk pernikahan kalian di rumah sakit waktu itu. “ “ Ya karena aku sudah lama tidak bertemu sama kamu jadi aku nggak tahu kalau perkembangannya kamu malah bekerja sama Mas Bagas! Gimana kamu sudah menikah dengan Sierra kan?” karena sebenarnya Tom dan juga Bagas itu adalah mantan teman SMA lalu kuliah juga walaupun berbeda jurusan namun mereka kebetulan bersekolah di tempat yang sama. “Ya, dan kami sedang menanti anak pertam nih!” “Wah selamat ya . . . “ “Justru keren kamu lah! Bahkan katamu kamu sudah punya pangeran tampan yang usianya 6 bulan?” “Iya … namanya Alden!” katanya dengan binar bahagia yang tak pernah lepas di mata Fara saat membicarakan tentang anak laki-lakinya itu. Membicarakan masa lalu dan juga membicarakan kelaurga memang tak ada habisnya. Hingga tak terasa mereka sudah sampai di lantai 22, dimana kantor Bagas berada. “Itu ruangan kantor Bagas, dan ini ruangan kantorku. Kamu masuk sendiri saja ya, aku ada pekerjaan yang belum selesai.” kata Tom sambil menunjuk ke sebuah pintu yang berwarna hitam dengan kaca di kiri kanannya sehingga orang luar bisa menilik ruangan dalam tempat itu. Mungkin Bagas sengaja karena tak ingin ada fitnah apabila ia hanya berduaan dengan sekretarisnya di dalam kantor itu. Sampai di depan pintu, Fara tak langsung mengantuk pintunya namun mengintip terlebih dahulu dari sela-sela kaca yang berada di pinggir kanan dan kiri pintu warna hitam itu. Dia memang tidak melihat keberadaan Bagas di kursi kebesarannya Maka dari itu dia memberanikan diri untuk masuk tanpa mengetuk pintunya. Begitu pintu dibuka, Fara menyaksikan pemandangan yang mengejutkannya. . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD