Chapter 3

667 Words
Lydia POV Daniel dan kedua orang tuanya pulang ketika terdengar suara azan ashar berkumandang. Aku sekarang bisa bernapas lega melihat lelaki itu mulai menjauhi rumah orang tuaku. Rumah kami berada disebuah kota kecil di Jawa Timur yang bernama Trenggalek, namun kaya akan budaya, makanan, wisata dan masih banyak lagi. Itulah mengapa aku sangat betah tinggal disini. Daniel pun tinggal dikota yang sama denganku, hanya saja kita berbeda kecamatan. Mungkin sekitar satu jam perjalanan menuju rumahnya. Dan atas insiden beberapa saat lalu, aku sangat bersyukur karena Mama tiba-tiba memanggil kita berdua untuk makan bersama. Sehingga kejadian memalukan itu harus terhenti saat itu juga. "Oh iya Lyd, Daniel udah bilang ke kamu kan?" "Bilang apa sih Ma?" Aku masih asyik bermain game di ponselku. "Loh kok tanya sama Mama?" "Emang Daniel bilang apa, enggak bilang kok sama Lydia tadi." "Ya tuhan, mungkin dia lupa ya." "Besok kamu keluar sama dia ya, cari baju pengantin yang bagus." "Astaga Mama" Aku menghela napas kasar dan membuang ponselku di sofa, tidak punya keberanian untuk membuangnya dilantai. Gila apa? "Kenapa lagi?" "Males banget tau Ma" Gerutuku kesal. "Nggak boleh males, besok itu kamu harus cari baju yang bagus setelah itu kamu dilarang keluar sebelum acara pernikahan kalian." Aku mendengus lagi. "Okey, tapi janji ya aku nggak mau pernikahan yang mewah, aku nggak mau banyak orang dipernikahan aku. Dan aku cuman mengundang orang-orang tertentu saja" Ucapku panjang pada Mama. "Iya siap sayangku" Seperti yang Mama bilang kemarin, kini aku sudah duduk manis di mobil milik Daniel bersama pemiliknya tanpa membantah sedikit pun. Bagiku percuma membantah perintah kedua orang tuaku, karena mereka berdua jika sudah memiliki keinginan harus terlaksana, mau atau tidak. Ya seperti sekarang ini menjodohkanku dengan anak temannya dan harus terlaksana juga meskipun aku mati-matian menolak. Sekitar setengah jam lalu Daniel datang kerumah untuk menjemputku dan kami langsung berangkat untuk pergi kesalah satu butik terbaik di kota kami. "Udah sarapan belum?" Tanya Daniel seraya mengemudikan mobil miliknya. Mobilnya tidak begitu mewah dan bukan dari kalangan atas namun sangat bersyukur bukan sudah memiliki kendaraan roda empat daripada diriku hanya punya roda dua. "Udah." Balasku cuek tanpa mau menatapnya, mengingat kejadian kemarin aku masih sangat malu karena tidak menolak sedikitpun pesona nakal Daniel. "Beneran kamu nggak mau nikah sama aku?" Pertanyaannya sukses membuatku menoleh. "Emangnya kenapa?" "Ya heran aja, padahal saat aku di SMA dulu hampir semua wanita pengen jadi pacar aku, lah sedangkan kamu lihat aku aja enggan, kayak barusan." "Trus kalo waktu kamu kuliah?" Entah sejak kapan kita lebih nyaman menggunakan aku kamu daripada lo gue seperti kemarin baru kenal. "Aku menjadi pria dingin yang sulit disentuh siapapun, kenapa emangnya?" "Trus kenapa sekarang begini?" "Maksudnya?" Daniel mengerutkan keningnya. "Ya nggak dingin gitu." Aku mengakat bahuku. "Masa iya sama calon istri dingin, kayak di novel-novel aja" "Ntar kalo dingin sama calon istri yang kejadian malah nggak jadi nikah, aku nggak mau lah jadi perjaka tua." Tambah Daniel dengan gelak tawa. Sejauh ini ketika aku mengobrol dengannya  tidak begitu membosankan, bagiku dia lelaki yang easy going dan mudah melemparkan candaan. "Masih ada pikiran batal nikah?" Tanyanya lagi ketika aku hanya diam. "Kalo masih ada, kita nggak jadi fitting baju pengantin aja." "Eh!" Aku tersentak kaget dengan ucapannya. "Kenapa?" "Lanjut aja, kita udah setengah jalan." "Jadi alasannya karena setengah jalan aja?" "Eng..enggak gitu maksudnya, ntar Mama sama Papa marah sama aku." "Jadi nggak ada alasan karena kamu mulai suka sama aku?" "Eh?" "Ya udah kita putar balik aja." Daniel menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Dengan gerakan cepat aku menyentuh lengan kiri Daniel. Daniel menoleh dengan tatapan bingung. "Kenapa?" "Kita lanjut ya, urusan perasaan aku sama kamu--" Aku menghembuskan napas kuat-kuat dan melanjutkan ucapanku. "Aku bakalan usaha buat suka sama kamu kok." Tambahku dengan nada lirih nyaris tak terdengar, aku melirik Daniel tersenyum tipis. "Makasih Ily." Daniel mendekatkan wajahnya dan detik kemudian dia mengecup keningku beberapa detik. Aku terkejut bukan main hingga kurasakan pipiku mulai memanas. "Aku juga bakalan usaha buat jadi suami yang baik buat kamu." ucapnya selepas menjauhi wajahnya pada wajahku. Dan mengelus pipi kiriku lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD