Bab 3 Dokter Brandy Colleen

1588 Words
Di pagi hari yang cerah. Dokter Brandy Colleen tiba di rumah sakit dengan senyum cerah di wajahnya, siap untuk menghadapi hari yang sibuk. Saat dia melewati lorong-lorong yang ramai, dia tersenyum pada setiap staf yang melewati jalannya. "Selamat pagi, dokter Colleen," sapa salah seorang perawat saat Brandy melintas di sebelahnya. "Selamat pagi! Bagaimana keadaan pasien di paviliun A?" tanya Brandy dengan ramah, menunjukkan minatnya pada setiap detail keadaan pasien. "Sedang stabil, dokter. Tapi butuh penyesuaian dosis obat," jawab perawat tersebut. "Terima kasih, saya akan segera melihatnya," ucap Brandy sambil melambaikan tangannya dan melanjutkan langkahnya menuju paviliun A. Di ruang perawatan, Brandy memeriksa satu per satu kartu pasien, mencatat perkembangan dan tindakan yang perlu dilakukan. Sementara itu, dia juga mengikuti ronde bersama tim medis untuk membahas kasus-kasus yang kompleks. "Saudara-saudara, mari kita bahas rencana pengobatan untuk pasien yang sedang diobservasi di ruang ICU," ucap Brandy saat memimpin diskusi, sementara dia juga mendengarkan pendapat dari rekan-rekannya dengan seksama. Setelah selesai dengan ronde, Brandy bergegas menuju ruang operasi untuk mempersiapkan prosedur bedah yang telah dijadwalkan. Dia bekerja dengan cermat, memastikan segala persiapan telah dilakukan dengan sempurna sebelum pasien masuk ruang operasi. "Suster, tolong pastikan semua alat dan perlengkapan sudah siap," instruksi Brandy kepada salah seorang perawat. "Sudah siap, dokter Colleen," jawab perawat tersebut. Brandy mengangguk puas dan segera fokus pada tugasnya. Selama prosedur bedah, dia berkomunikasi dengan timnya secara efisien, memberikan instruksi dan melakukan tindakan bedah dengan presisi tinggi. Setelah menyelesaikan operasi, Brandy meluangkan waktu untuk berbicara dengan keluarga pasien, memberikan informasi mengenai prosedur yang telah dilakukan dan memberikan dukungan moral. "Bapak dan ibu sekalian, operasi sudah berjalan dengan baik, dan pasien sedang dalam tahap pemulihan sekarang. Semua keluarga kami mohon untuk bersama-sama mendukung upaya medis yang sedang kami lakukan. Semoga semuanya berjalan lancar." ucap Brandy dengan penuh empati. Awalnya semua pekerjaannya hari itu berjalan lancar. Namun, pada siang hari, Brandy merasa sakit kepala. Ini mungkin karena dia melupakan sarapan akibat terlalu buru buru waktu berangkat tadi pagi. Brandy berusaha bertahan dengan meminum obat pereda sakit kepala dan mengisi perut dengan bubur ayam. Dia harus menyelesaikan jam kerjanya hari ini. Dan dia dapat bertahan, walaupun menjelang berakhir jam kerjanya, rasa sakit kepala itu kembali menyerang. Dokter Brandy Colleen merasa lega ketika akhirnya bisa menyelesaikan jam kerjanya hari itu. "Wajahmu pucat, Bree. Kamu sakit?" Sanny, rekan satu tim Brandy, yang juga merupakan sahabat dekatnya bertanya saat gadis itu melangkah masuk ke ruang residen dengan wajah pucat dan lesu. "Kepalaku agak pusing. Tapi tidak apa-apa, San. Aku mau buru-buru pulang saja, lalu istirahat. Semoga segera pulih setelah istirahat." Jawab Brandy sambil melepas jas putihnya. "Jangan-jangan kamu tidak sarapan lagi, lalu makan siang juga telat." Brandy meringis mendengar kata-kata Sanny, karena yang rekannya katakan itu benar. Tadi pagi dia tidak sarapan karena bangun kesiangan. Semalam dia membuat laporan akhir untuk periode tugasnya hingga lupa waktu dan tersadar untuk segera tidur pada saat menjelang subuh. "Berat badanmu semakin menyusut, Bree. Kamu harus aware dengan kondisi tubuhmu. Kalau sakit minta bantuan rekan dokter yang lain. Atau kamu bisa meminta bantuanku. Begini-begini aku sudah cukup mahir." Kata Sanny mengingatkan sahabatnya "Iya, San. Aku hanya mengalami gangguan ringan yang bisa aku tangani sendiri. Terima kasih sudah peduli padaku." Balas Brandy penuh rasa terima kasih. "Kamu temanku dan rekan kerjaku. Kita satu tim. Tentu saja aku peduli padamu, Bree. Aku tidak ingin melihat kamu mengalami sesuatu yang buruk." Brandy kembali mengucap terima kasih pada Sanny. Kata-kata menyejukkan rekannya ini membuat sakit kepalanya sedikit berkurang. Brandy dan Sanny, sudah hampir siap untuk meninggalkan ruangan ketika tiba-tiba ponsel Brandy berdering. Dengan cepat, Brandy mengangkat telepon. "Dokter Colleen di sini," jawabnya dengan serius. "Maaf mengganggu, Dokter Colleen. Kondisi Nyonya Dwelly Tua mengalami penurunan tiba-tiba. Apakah Anda bisa datang segera?" Tanya pengurus rumah tangga keluarga Dwelly dengan suara cemas. Brandy berkedip cepat, menangkap urgensi panggilan itu. "Ya! Saya akan ke sana. Bagaimana kondisi nyonya sekarang?" “Nyonya sedang tidak sadarkan diri, Dok.” Dahi Brandy mengernyit saat mendengar kabar tersebut. "Pingsan?" gumamnya dalam kekhawatiran. Pengurus rumah tangga itu menjawab cepat, "Ya, Dokter Colleen. Nyonya Dwelly Tua sedang duduk di teras belakang saat saya menemukannya sudah dalam keadaan pingsan di atas kursi rodanya." "Baiklah. Saya akan segera menuju sana. Pastikan Nyonya Dwelly dibaringkan dalam posisi yang nyaman." kata Brandy tegas lalu menutup teleponnya dengan cepat setelah mendengar jawaban patuh si penelepon. Brandy menatap rekannya, "Sanny, sepertinya saya batal pulang dulu. Ada pasien saya dalam kondisi darurat dan membutuhkan bantuan saya segera," ucap Brandy sambil mengambil mantelnya dan bersiap untuk pergi. "Tapi kamu sendiri tidak sehat, Bree. Minta tolong saja pada rekan dokter lain untuk menanganinya. Jangan memaksakan diri, Bree. Ingat kesehatanmu juga." "Tidak apa-apa, San. Ini pasien yang sedang kutangani langsung. Aku harus memastikan pasienku baik-baik saja." "Kalau begitu, hati-hati ya, Bree. Maaf aku tidak bisa membantu, ibuku sudah beberapa kali menelepon, kami ada urusan penting yang harus kami selesaikan sore ini juga." “Iya, San. Terima kasih. Kamu juga hati-hati.” Mereka berpisah. Sanny pulang ke rumah dan Brandy kembali meletakkan tasnya di atas meja. Brandy segera menyiapkan diri untuk pergi, memastikan bahwa ia membawa perlengkapan medis yang diperlukan, lalu bergegas meninggalkan ruangan menuju tempat tinggal Nyonya Dwelly Tua untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan. Dalam kondisi tubuh yang lemah, Brandy tetap berusaha memberikan pelayanan darurat yang diperlukan. Dia segera menelepon ambulans untuk membawa pasien ke rumah sakit, sambil tetap memastikan bahwa Nyonya Dwelly Tua mendapatkan perawatan yang sesuai. Meskipun merasa lelah, Brandy tetap tenang dan fokus pada tugasnya sebagai dokter untuk membantu pasien yang membutuhkan pertolongan. Nyonya Dwelly Tua mengalami gangguan Multiple Sclerosis (MS), yaitu penyakit autoimun yang mempengaruhi sistem saraf pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Akibatnya pasien mengalami kesulitan berjalan dan gangguan kognitif. Namun seharusnya tidak sampai pingsan. Inilah yang membuat Brandy agak khawatir ada kondisi penyerta yang mungkin timbul tanpa bisa dia deteksi. Sesampai di rumah sakit, Brandy segera melakukan upaya penanganan pasien dan setelah melakukan pemeriksaan, dia menemukan bahwa penyakit yang diderita oleh wanita tua ini telah menyebabkan gangguan pada sistem saraf otonom. Saraf ini mengatur tekanan darah, dan gangguan itu mengakibatkan penurunan tiba-tiba pada tekanan darah, sehingga dapat menyebabkan pasien pingsan. Saraf otonom adalah bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti tekanan darah, denyut jantung, pencernaan, dan respons terhadap stres. Gangguan pada sistem saraf otonom dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam regulasi fungsi-fungsi organ ini. Dokter Brandy Colleen merasa agak bingung dengan kondisi pasien yang masih belum sadarkan diri. Apakah pasien mengalami tekanan yang berat sehingga menyebabkan kondisi itu? Brandy menyimpan tanya itu dalam hatinya dan memerintahkan pasien dimasukkan ke ruang ICU. Dokter Brandy Colleen telah meluangkan waktu untuk memantau kondisi pasien hingga stabil. Ini adalah sebuah tindakan yang sangat penting dalam situasi yang serius seperti ini. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, prioritas utama adalah keselamatan dan kesehatan pasien. Karena itu dokter Brandy Colleen tetap menunggu dan memantau pasien di ruang ICU. Setelah memastikan pasien dalam keadaan stabil dan perawatan yang tepat telah diberikan, dokter Brandy mengatur untuk melanjutkan pemantauan dan perawatan lanjutan sesuai kebutuhan. Dia memberikan arahan untuk dilakukan oleh perawat yang bertugas pada shift malam itu. Hampir jam sepuluh malam ketika Brandy akhirnya bisa pulang. Dia pergi ke ruangannya untuk mengambil tasnya lalu berjalan keluar. Brandy melangkah terburu-buru, ingin segera sampai di rumah dan beristirahat. Dia merasa tubuhnya sudah sangat lemas dan sakit kepala mulai menyerang lagi. Tiba-tiba langkah wanita itu terhenti. Dia menabrak sesosok tubuh kokoh dan seketika tubuhnya kehilangan keseimbangan dan akan jatuh ke lantai. Brandy menatap dengan ngeri lantai keramik yang siap menyambut tubuhnya. “Brandy!” Terdengar teriakan tertahan. Lalu sepasang tangan kokoh dengan cepat telah merengkuh tubuhnya dengan erat, hingga dia bisa tetap berdiri dan tidak mengalami hal yang menakutkan. Brandy merasakan rangkulan erat di pinggangnya. Dia berbalik untuk melihat siapa yang telah menolongnya, namun kaca matanya kabur oleh keringat dan dia tidak bisa melihat jelas orang itu. Dia mungkin seorang rekan atau teman yang dikenalnya. Dengan napas lega, Brandy berkata, "Terima kasih, Anda sudah menyelamatkan saya." "Kamu berjalan sambil melamun. Ada apa?" Orang yang menolongnya bertanya khawatir. Suaranya terdengar sangat jelas di telinga Brandy Brandy berkedip. Itu seperti suara yang sangat dia kenal. ‘Natan?’ Brandy menyebut nama itu dalam hati. Ini tidak mungkin dia. Natan sudah membencinya. “Kamu sakit? Badanmu panas, Bree!” Suara panik memenuhi telinga Brandy. Brandy terkejut dan penuh kebingungan saat mendengar suara yang memang begitu dikenalnya. Pikirannya melayang ke Natan, seseorang yang memiliki tempat istimewa dalam hatinya. Brandy merasa hangat mendengar kepanikan dalam suara itu, namun sebelum dia sempat merespon, kesadarannya perlahan meredup, dan dia jatuh pingsan. Pria muda itu segera menggendong tubuh dokter Brandy Colleen dan membawanya ke ruang UGD dengan langkah tergesa, setengah berlari. "Tolong dia, suster!" Teriaknya pada suster yang berjaga di sana. Suster bergerak cepat, menyuruh pria muda itu meletakkan wanita dalam gendongannya ke atas ranjang. "Ini dokter Collen. Apa yang terjadi?" Tanya suster sambil mengeluarkan peralatan medis. "Dia menabrak saya di koridor dan tahu-tahu pingsan. Dia kenapa, Suster?" Pria itu menjawab lalu bertanya khawatir. "Mungkin asam lambungnya naik. Beberapa waktu belakangan ini, dokter Colleen begitu sering mengalami hal ini." Jawab suster sambil memeriksa Brandy. "Apa penyebabnya sampai dia mengalami hal itu, Sus?" "Kemungkinan karena banyaknya tekanan hingga dia mengalami stres. Tapi ini hanya dugaan saya. Nanti dokter akan memeriksanya dengan lebih detail." “Oh, oke. Tolong pastikan dia ditangani dengan baik, Suster.” "Baik. Tapi maaf, Bapak siapanya dokter Colleen?" Pertanyaan tiba-tiba suster itu membuat pria itu tergagap. "Ak-aku..." Wajahnya memerah, kebingungan harus menjawab apa. Pria itu dan suster tidak menyadari, dari pintu ruang UGD, sepasang mata menyorot penuh kebencian menyaksikan adegan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD