Bab 10 Mencintai Wanita Lain

1810 Words
Resepsi pernikahan malam itu telah berjalan dengan baik. Setelah semua keluarga pulang, Rowan menunjukkan kamarnya pada Brandy. "Baiklah, ini kamarku. Mulai malam ini sampai dua tahun ke depan, ini akan menjadi kamarmu juga." Ujar Rowan sambil membuka pintu melangkah masuk. Brandy ikut memasuki kamar dengan hati-hati sambil mengangkat gaunnya agar tidak terinjak. Ini pertama kalinya dia memasuki kamar pribadi pria yang sudah menjadi suaminya ini dan merasa canggung. Dia melihat sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh. "Jangan canggung, sekarang kita sudah menjadi suami istri sah. Kalau ada sesuatu yang ingin kamu ketahui, tanyakan saja.” Rowan berbicara seraya melihat layar ponselnya dengan seksama. Seseorang rupanya mengiriminya pesan. Brandy berdiri di hadapan Rowan, masih merasa canggung. Rasanya begitu asing dan sedikit menakutkan, menemukan dirinya akhirnya berada dalam sebuah kamar berdua saja dengan seorang pria. Perasaan takut yang dia rasakan semakin menjadi saat mengingat reputasi Rowan sebagai seorang pria yang senang bergonta-ganti pasangan kencan. Apa yang akan dilakukan Rowan padanya? Mereka suami istri sah sekarang. “Bree, kita akan bicara lagi nanti, karena sekarang masih ada hal penting yang harus aku selesaikan. Nanti aku akan perintahkan seorang pelayan untuk membantu membersihkan riasan dan dandanan kamu. Bilang saja padanya apa yang kamu inginkan. Berusaha senyamannya. Oke?" ujar Rowan lagi melihat Brandy yang berdiri canggung dalam balutan gaun pengantinnya. "Terima kasih, pak Marthin. Saya bisa mengurusnya sendiri, tidak perlu merepotkan pelayan," kata Brandy sambil menatap Rowan sambil tersenyum, berusaha membuat dirinya lebih santai. "Tolong panggil Rowan saja. Aku ini suamimu, Bree. Tidak lucu kalau kamu masih memanggilku pak Marthin." Ucap Rowan dengan nada geli. Dia sudah membiasakan diri memanggil Brandy dengan panggilan kesayangannya, sementara wanita ini masih memanggilnya seperti bawahannya. "Baik, pak Marthin, eh, Rowan." Brandy menjawab dengam gugup. Rowan tertawa kecil sambil menggeleng. Usia Brandy dua bulan lagi sudah 25 tahun, tapi dia masih terlihat begitu gugup berada di kamar berdua saja dengannya. 'Apakah dia punya pacar?' Pertanyaan itu berdengung di kepala Rowan. Tapi dia tidak berusaha mencari jawabannya saat itu, karena dia yakin nanti juga akan mengetahuinya. "Baiklah, Bree. Aku harus pergi sekarang. Tidak lama, hanya sebentar saja," ucap Rowan akhirnya, lalu berjalan keluar kamar, meninggalkan Brandy sendirian di sana. Brandy mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar itu. Kamar Rowan terhampar luas. Warna hitam, putih, dan abu-abu mendominasi setiap sudut. Dinding berlapis wallpaper motif geometris memberikan kesan modern dan elegan. Tepat di tengah-tengah dinding utama, sebuah lukisan abstrak berukuran besar menarik perhatian dengan warna-warna yang kontras. Di sekitarnya, rak-rak kayu gelap dengan aksen logam hitam menyimpan beberapa buku dan barang-barang pribadi Rowan. Yang paling menarik perhatian Brandy dan membuat dadaanya semakin berdebar adalah ranjang king-size yang berdiri kokoh di pojok kamar dilapisi dengan seprai putih bersih dan selimut abu-abu yang lembut. Di atas ranjang terdapat jubah mandi warna baby blue yang terlipat rapi. Cahaya lembut dari lampu meja samping kanan ranjang memberikan sentuhan hangat di malam itu, sementara tirai tebal berwarna abu-abu menutup jendela-jendela besar, menyediakan privasi dan menahan cahaya matahari yang terlalu terang pada siang hari. Suasana kamar Rowan mencerminkan kesan maskulin, mewah, dan minimalis yang sesuai dengan kepribadiannya. Di samping kiri ranjang, ada meja rias minimalis berwarna hitam dilengkapi dengan cermin besar dan lampu dandan, menciptakan sudut yang nyaman untuk berdandan. Di atas meja terdapat beberapa jenis bahan perawatan wajah dan kulit dari satu merek terkenal. Brandy berpikir, apakah Rowan sengaja menyiapkan meja rias ini untuknya? Hmm, dia merasa cukup terhibur setelah dalam acara resepsi tadi Rowan bersikap dingin dan acuh tak acuh. Brandy juga merasa sedikit tenang. Setidaknya sekalipun ini hanya pernikahan kontrak yang memiliki usia singkat, tetapi Rowan menganggap dirinya ada. Brandy belum selesai mengeksplore seluruh bagian kamar ini. Dia pun melanjutkan dengan rasa kagum. Dia membalikkan tubuh dan melihat sisi lain kamar itu. Bersebelahan dengan pintu kamar mandi, terdapat pintu yang terbuka menuju walk in closet. Brandy mengangkat ujung gaunnya dan melangkah ke sana, berpikir untuk melihat-lihat. Dia ingat telah membawa serta koper kecilnya mengingat mulai malam ini dia harus tinggal di mansion keluarga Marthin. Koper itu berisi beberapa potong baju dan perlengkapan pribadinya. Brandy mencari-mencari koper berwarna hitam tersebut, berharap pelayan mungkin menyimpan koper itu di sana. Namun dia tidak menemukannya. Sesaat dahi Brandy mengerut, di mana mereka menyimpannya? Di dalam ruangan itu terdapat lemari besar setinggi dinding hingga ke langit langit, yang memenuhi salah satu bagian dinding dan separuh dinding sebelahnya. Lemari itu memiliki pintu kaca yang memamerkan sejumlah pakaian pria yang tersusun rapi. Di samping lemari yang membentuk letter L itu terdapat cermin setinggi lemari. Di bagian dinding yang lain, ada juga lemari dan deretan rak. Di lemari itu tergantung beberapa potong pakaian wanita. Brandy mengira itu pakaian yang dia bawa yang sudah dirapikan oleh pelayan, tetapi ternyata bukan. Pakaian yang tergantung itu terlihat baru dan masih ada labelnya. Dada Brandy berdebar melihat semua itu. Dia tidak menyangka Rowan Marthin mau repot-repot menyiapkan ini semua. Tidak ada pilihan lain, Brandy mengambil salah satu gaun satin panjang dengan tali spageti berwarna hitam. Ini baju tidur yang cukup sopan dibanding yang lain yang terlihat sangat terbuka dan pendek. Biarlah dia memakai gaun ini malam ini. Brandy membawa gaun itu dan menaruhnya di samping jubah mandi. Setelah itu dia duduk di kursi bulat di depan meja rias dan mulai membuka jepit rambut, lalu membersihkan make up. Rambutnya tidak disasak, jadi tidak sulit merapikannya kembali. Selesai membersihkan make up dan menyisir rambut, Brandy berdiri dan mulai membuka gaun pengantin yang dia kenakan. Dia menjangkau ke belakang punggungnya untuk membuka resleting gaun itu, namun dia mengalami kesulitan. Resleting macet di tengah jalan. 'Huh! Pake acara macet lagi!' Brandy menggerutu dalam hati. Dia ingin buru-buru melepas baju pengantin berdesain simple itu, yang dia yakin bisa dibuka sendiri. Namun nyatanya begitu banyak kendala. Brandy tidak menyerah. Dia terus berusaha dan enggan meminta bantuan, mengingat sebelumnya dia sudah menolak saat Rowan ingin memanggil pelayan. Beberapa menit berlalu, Brandy lebih berusaha mengulurkan tangannya ke belakang punggung untuk menarik resleting itu. Namun sekalipun dia mengerahkan tenaga cukup besar, benda itu sama sekali tidak bergerak. "Ada yang bisa dibantu?" Brandy yang sedang membungkuk, berusaha membuka resleting yang macet, seketika berdiri tegak dan menoleh ke arah pintu. Di sana, di ambang pintu kamar, Rowan berdiri tegak seraya menatap Brandy. Ada senyum samar tersungging di bibirnya. Brandy membeku, rasa gugup kembali menyerangnya. Dia sudah berhasila membuat dirinya merasa santai dan lebih tenang dengan melihat-lihat kamar Rowan. Namun pemunculan pria itu kembali memporak- porandakan ketenangan Brandy. Rowan yang sudah melepaskan jasnya dan sekarang hanya mengenakan kemeja lengan panjang putih yang lengannya digulung sebatas siku. Tubuh tegapnya yang tinggi menjulang terlihat sangat menawan. "Sepertinya kamu mengalami kesulitan dengan gaun pengantinmu? Sini aku bantu, Bree," "Eh! Ti-tidak..." Brandy tergagap, menolak tawaran Rowan dengan panik. Dia tidak ingin Rowan berinteraksi terlalu dekat dengannya. Tapi terlambat. Tangan Rowan sudah bergerak ke belakang punggung Brandy. "Tenang saja, Bree. Aku hanya ingin membantu," ujarnya dengan suara yang menenangkan, sambil membuka resleting gaun pengantin Brandy. Brandy mengangguk, merasa lega dengan bantuan yang diberikan Rowan namun sekaligus merasa gugup saat jari-jari tangan pria itu terasa menekan punggungnya. Suara resleting yang terbuka perlahan-lahan memecah keheningan di antara mereka. Brandy merasakan hawa dingin menyergap punggungnya saat resleting gaun pengantinnya terbuka sempurna. "Te-terima kasih, pak Marthin. Maaf, saya mau membuka gaun ini. Tolong.." "Silakan, Bree. Aku tidak akan mengintip. Tapi tolong biasakan untuk memanggilku Rowan saja." Ujar Rowan, dengan cepat memotong perkataan canggung Brandy. Setelah itu Rowan berjalan ke arah balkon. Kamar Rowan ini berada di lantai dua, dan memiliki balkon yang cukup luas. Brandy melihat ke arah Rowan yang saat itu sedang menyalakan rokok dengan pemantik. Begitu melihat Rowan membelakanginya, dengan cepat Brandy menurunkan gaun pengantin dari tubuhnya dan membiarkannya teronggok di lantai lalu berlari ke kamar mandi dan menutup pintu. Dia melupakan gaun yang dia letakkan di atas tempat tidur. Brandy memanfaatkan waktu mandi untuk menenangkan diri. Dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka berdua di dalam kamar itu. Perkawinan mereka terjadi begitu tiba-tiba. Mental Brandy sebetulnya belum siap menerima kehadiran seorang pria dalam suasana intim seperti ini. Dan walaupun dia seorang dokter yang sudah begitu akrab dengan anatomi tubuh seorang pria, namun dia masih sangat berdebar-debar membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hampir satu jam Brandy berendam di bak, menikmati sentuhan air hangat dan busa sabun yang melimpah, dengan aroma bunga rose. Dia baru beranjak dari dalam bak setelah air mandi menjadi dingin. Dengan tubuh sedikit menggigil Brandy berdiri di bawah shower dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Selesai mandi Brandy baru sadar, dia meninggalkan gaun satin itu di atas tempat tidur. ‘Astaga! Bagaimana ini?’ Brandy melongo bingung. Dia tidak bisa lebih lama lagi di dalam kamar mandi. Bisa-bisa bangun pagi nanti dia sudah diserang flu. Brandy akhirnya memutuskan untuk melingkarkan handuk di sekeliling tubuhnya dan membuka pintu. Dia pikir Rowan masih berada di balkon, jadi dengan cepat dia mengayunkan kaki keluar dari kamar mandi menuju ranjang. “Ehemm!” Langkah Brandy terhenti mendengar deheman tiba-tiba dan keras. Dia melihat Rowan sedang duduk di atas ranjang sambil memegang ponsel. Pria itu sudah berganti pakaian dan rambutnya terlihat basah. Rupanya dia sudah mandi di kamar mandi lain. “Aku tidak menyangka waktu yang kamu lewatkan untuk mandi sangat lama.” Ujar Rowan sambil melirik jam dinding. “Maaf,” Brandy susah payah menekan rasa malu dan meraih gaun satin hitam itu dari atas meja lalu segera berlari ke arah walk in closet. Dia mendorong pintu di belakangnya dengan agak keras karena rasa gugup. Dia tidak ingin terlihat seolah sengaja menggoda pria itu. Ketika Brandy keluar dari walk in closet beberapa menit kemudian, pipinya masih bersemu merah. "Tidurlah di sini. Jangan khawatir. Aku tidak akan menyentuh tubuhmu. Aku hanya akan berhubungan intim dengan wanita yang aku cintai dan juga mencintaiku." Kata Rowan sembari menunjuk tempat tidur yang kosong di sampingnya. Nada suaranya dingin, tanpa emosi sama sekali. Brandy masih berdiri tertegun di samping ranjang king size itu. Merasa bingung dengan situasi yang dia hadapi saat itu. “Aku tidur di sofa saja, pak Mar.. eh, Rowan..,” Ucapnya kemudian terbata. “Tidak! Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri tidur seranjang denganku. Aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan di tengah-tengah keluargaku. Itu saja alasannya, Bree, tidak karena alasan lain.” Rowan menggeleng tegas. “Tapi..” “Aku sudah bilang saat menawarkan pernikahan ini padamu, kita tidak akan melakukan hal yang normalnya dilakukan oleh pasangan suami istri. Aku rasa kamu cukup paham.” Ujar Rowan lagi sambil menatap Brandy tajam. Brandy mengangguk, seiring kekhawatiran yang mulai berkurang, dia mulai menghela napas lega. “Aku mencintai wanita lain, Bree. Jadi jangan berpikir yang aneh-aneh.” Sepasang mata Brandy tampak terkejut mendengar pengakuan Rowan. Jadi itu alasannya hingga pria itu sangat yakin mereka tidak akan melakukan hal lebih. Rasanya mengejutkan, seorang pria yang suka berganti-ganti wanita bisa mencintai satu orang wanita dengan cinta sebesar itu. “Tidurlah, Bree. Nanti besok pagi kita bicarakan langkah ke depannya. Aku lelah.” Brandy mengangguk dan perlahan naik ke atas ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD