Bab 9 Bukan Pernikahan Impian

1816 Words
Seperti yang sudah direncanakan, acara pernikahan Rowan dan Brandy dilaksanakan dua hari kemudian. Rowan sejak awal sudah menekankan bahwa pernikahan mereka yang terjadi hanya sebatas perjanjian menguntungkan bagi kedua belah pihak itu akan dilaksanakan dengan sederhana. Jadi dia sudah mengatur untuk pemberkatan nikah dilaksanakan di sebuah kapel kecil yang berada agak di pinggiran kota. Kapel itu hanya bangunan kecil berukuran 12 x 25 meter persegi, dan deretan bangku yang ada hanya mampu memuat sekitar 60 sampai 70 orang. Dan pada saat acara pemberkatan nikah, tidak sampai separuh bangku yang terisi. Pernikahan itu memang sangat sederhana sekali. Hanya dihadiri oleh keluarga kedua mempelai. Brandy sendiri tidak mengundang banyak orang, hanya kakeknya yang menjadi pendampingnya, dan sahabat baiknya Sanny. Sanny sejak pagi hari sudah sibuk di rumah Brandy. Dia memaksa untuk mendandani Brandy, yang bersikeras hanya ingin mengaplikasikan make up simpel. Brandy pada akhirnya menyerah ketika Sanny berargumen bahwa bisa jadi dia hanya satu kali menjalani pemberkatan pernikahan sepanjang hidupnya. Brandy berkata dengan nada mengeluh, "Sanny, aku benar-benar tidak ingin berlebihan dengan dandanan ini. Ini hanya formalitas semata." Sanny tidak mempedulikannya, tetap memulai memoles wajah Brandy dengan produk kecantikan miliknya. "Walaupun ini pernikahan sederhana, tapi ini momen yang istimewa bagimu. Siapa tahu apa yang akan terjadi esok? Kamu harus menikmati setiap momen ini dengan sepenuh hati. Aku yakin, pernikahanmu dengan Rowan bisa jadi lebih dari sekadar kontrak. Ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar." Brandy menghembuskan napas putus asa, "Tapi Sanny, kita berdua tahu ini hanya pernikahan kontrak. Tidak lebih dari itu." Sanny mengangguk, "Tapi aku percaya pada keajaiban, Bree. Dan kamu pun harus begitu. Percayalah pada dirimu dan pada takdir. Siapa tahu, di balik pernikahan kontrak ini, ada cinta sejati yang sedang menanti kalian berdua." Brandy tertawa kecil, nada tawanya terdengar sumbang. "Sanny, aku mengerti apa yang kamu maksud. Tapi aku tidak ingin memiliki harapan yang terlalu tinggi. Kita harus realistis tentang situasi ini." "Tentu saja, Bree. Tapi bukankah lebih baik memasuki pernikahan ini dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang? Sekali lagi kamu harus ingat, siapa tahu apa yang bisa terjadi di masa depan. Yang penting, kamu harus berusaha untuk bahagia, apapun yang terjadi." Brandy akhirnya menyerah, membiarkan Sanny mengutak-atik wajahnya dan berkata pelan, "Aku akan mencoba, San. Terima kasih karena selalu ada untukku dan memberikan dukunganmu." Sanny menggerakkan tangannya, "Tidak perlu berterima kasih, Bree. Kita adalah sahabat, dan aku akan selalu mendukungmu, dalam suka dan duka." Sanny pun akhirnya mendadani Brandy dengan bersemangat. Sanny menunjukkan keahliannya mengaplikasikan make up dan berhasil menyulap penampilan Brandy menjadi luar biasa. Sanny berdiri di belakang Brandy setelah selesai. "Lihatlah dirimu sekarang, Bree! Kamu terlihat begitu menakjubkan!" Brandy menatap bayangannya di cermin, dan seruan takjub pun meluncur dari mulutnya. "Wow! Aku tidak pernah membayangkan bisa terlihat seperti ini. Terima kasih, Sanny." Sanny mengangguk puas. "Tentu saja, Bree. Kamu selalu cantik, tapi sedikit sentuhan make up bisa membuatmu bersinar lebih cerah lagi. Sekarang kamu siap untuk melangkah ke pelaminan dan menjemput kebahagiaanmu!" Brandy tersenyum penuh haru. "Aku beruntung memiliki sahabat sepertimu, San. Aku tidak akan bisa melalui semua ini tanpamu." Sanny menanggapinya sambil tersenyum, "Kamu juga sahabat terbaik bagiku, Bree. Sekarang ayo, mari kita buat hari ini menjadi momen yang tak terlupakan!" Brandy tersenyum melihat senyum Sanny. Namun di dalam hatinya, ada rasa hampa yang sulit diatasi. Sesuai dengan pesan Sanny, dia mencoba membuang jauh perasaan itu, setidaknya untuk saat ini, dan fokus pada momen spesial yang akan datang. Tapi tetap saja dia teringat kontrak yang harus dia penuhi selama dua tahun. Brandy tahu ini akan butuh perjuangan. Satu hal yang menghibur hati Brandy dan membuatnya bersemangat menjalani semua prosesi pernikahan ini adalah senyum bahagia di wajah kakeknya. Brandy sangat menyayangi sang kakek, dan merasa sangat senang bisa membuat kakeknya merasa bahagia. Kakek mendampingi Brandy dan dengan bangga menyerahkan Brandy pada Rowan, mengawali semua prosesi itu. Suasana di kapel pagi itu penuh dengan kehangatan dan semangat. Para hadirin berdiri dengan penuh pengharapan saat pasangan pengantin memasuki kapel, diiringi oleh melodi lembut piano. Bias cahaya matahari pagi yang memasuki ruangan melalui jendela-jendela kecil menambah sentuhan sakral pada momen yang bersejarah ini. Dengan langkah yang mantap dan senyum di wajah mereka, kedua pengantin melangkah menuju altar, siap untuk memulai perjalanan hidup baru bersama. Sebagian besar dari para hadirin menatap pasangan pengantin dengan penuh harapan dan antusiasme. Suasana kapel dipenuhi dengan getaran positif, seakan-akan semua orang merasakan pentingnya momen tersebut. Pastor yang akan memimpin upacara pun mempersilakan kedua mempelai untuk duduk di bangku kayu yang sudah disiapkan di depan altar. Dengan suara tenang dan penuh kehangatan, dia memulai pemberkatan nikah. "Saudara-saudara yang terkasih, hari ini kita berkumpul di hadapan Tuhan untuk menyaksikan pernikahan yang sakral ini," ucap pastor dengan penuh penghormatan. Brandy dan Rowan duduk berdampingan, menghadap pastor dengan penuh konsentrasi. Brandy menunduk, berdoa untuk menenangkah gemuruh kencang di dadanya. Dia sangat gugup hingga seakan mati rasa. Pastor menatap seluruh hadirin dan berkata, "Saudara-saudara, sebelum kita melanjutkan pemberkatan, apakah ada yang ingin mengungkapkan sesuatu?" tanya pastor, memberikan kesempatan bagi para hadirin untuk berbicara jika ada yang ingin berbagi kata-kata bijak atau doa untuk kedua mempelai. Di antara keheningan ruangan kapel, suara lembut terdengar, "Saya ingin berbicara." Para hadirin memalingkan pandangannya ke arah suara yang terdengar. Itu adalah suara Kakek Brandy yang terdengar tegas dan penuh kehangatan. Brandy tersenyum mendengarnya, merasa terharu dengan keberanian kakeknya untuk berbicara di depan semua orang. Ini membuatnya merasa sedikit tenang. "Saya ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, Brandy dan Rowan," kata Kakek Brandy dengan suara yang terdengar jelas di ruangan yang hening itu. "Saya yakin, pernikahan ini bukanlah hanya sebuah kebetulan, tetapi merupakan rencana yang sudah Tuhan siapkan untuk anak-anak kita. Ini adalah suatu awal dari petualangan yang penuh makna bagi sebuah keluarga baru. Semoga kalian berdua selalu saling mendukung dan menyayangi satu sama lain dalam segala keadaan." Brandy tersentuh mendengar ucapan dari kakeknya. Dia merasa sangat beruntung memiliki dukungan penuh dari orang yang sangat dicintainya. Sementara itu, Rowan juga tersenyum mengangguk, menghargai kata-kata bijak dari Kakek Brandy. Pastor melanjutkan pemberkatan dengan doa yang khusyuk, memohonkan berkat Tuhan bagi pernikahan kedua mempelai. Suasana kapel dipenuhi dengan aura keramat yang menghangatkan hati semua yang hadir. Setelah doa selesai, pastor memandang Brandy dan Rowan dengan tulus. "Apakah kalian berdua siap untuk mengucapkan janji sakral kalian di hadapan Tuhan dan para saksi yang hadir?" Brandy dan Rowan saling menatap, Rowan meremas tangan Brandy yang terbungkus sarung tangan renda. Lalu dengan suara yang mantap, mereka menjawab, "Kami siap." Brandy dan Rowan berdiri berdampingan di depan altar, saling memandang dengan penuh harapan dan keyakinan. Wajah mereka tercermin penuh kebahagiaan dan tekad dalam mengucapkan sumpah suci pernikahan. Pastor menatap kedua pengantin itu dan berkata, "Sekarang, waktunya bagi kalian berdua untuk mengucapkan sumpah dan janji pernikahan. Mohon perkatakan apa yang ada di dalam hati dan pikiran kalian." Rowan dengan tegas dan penuh keyakinan berkata, "Saya, Rowan Marthin, dengan ini berjanji untuk mencintai dan mendukungmu, Brandy Colleen, dalam segala keadaan. Saya akan menjadi suami yang setia, pendampingmu dalam suka dan duka, hingga akhir hayat." Brandy dengan suara yang bergetar, namun penuh ketegasan berkata, "Saya, Brandy Colleen, berjanji untuk mencintai dan menghormatimu, Rowan Marthin, sepanjang hidupku. Saya akan menjadi istri yang setia, mendukungmu dalam setiap langkahmu, hingga akhir usia kita." Setelah mengucapkan sumpahnya dengan sungguh-sungguh, Brandy merasakan beratnya makna kata-kata yang baru saja diucapkannya. Dia menyadari bahwa ini bukanlah sekadar formalitas, melainkan sebuah janji yang akan membentuk jalan hidupnya selamanya. Wajahnya terpancar rasa haru dan keberanian yang dalam, karena dia tahu bahwa langkah yang diambilnya saat ini akan memengaruhi seluruh perjalanan hidupnya bersama Rowan. Brandy melirik Rowan di sampingnya. Pria itu terlihat acuh tak acuh. Melihat ekspresi acuh tak acuh Rowan, Brandy merasa sedikit kecewa dan bingung. Tadi dia mendengar Rowan mengucapkan sumpahnya denga tegas, namun sekarang dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain. Meskipun begitu, dia tetap berusaha untuk mempertahankan semangatnya dan fokus pada momen sakral ini. Setelah pemberkatan, acara pencatatan sipil pun segera dilangsungkan sesuai dengan rencana yang telah disusun oleh Rowan. Rowan adalah pria praktis dan tidak mau ribet. Maka dia sudah mengatur acara pencatatan sipil dilakukan setelah pemberkatan. Acara pernikahan itu lalu dilanjutkan dengan resepsi sederhana yang dilaksanakan di taman belakang mansion keluarga Marthin. Suasana taman yang indah dengan hamparan rumput hijau dan bunga-bunga yang berwarna-warni menciptakan suasana yang menyenangkan bagi para tamu. Meja-meja makan yang dipenuhi dengan hidangan lezat berjejer di sepanjang taman, sementara lampu-lampu hias yang menggantung di atas menciptakan suasana romantis di malam itu. Para tamu menikmati makanan, minuman, dan percakapan ringan di bawah langit yang penuh bintang. Di penghujung acara malam itu, Brandy dan Rowan menerima ucapan selamat dari keluarga mereka. Namun ibu Rowan tetap menunjukkan rasa tidak puasnya. Wanita itu hanya berdiri di depan mereka berdua dan berkata dengan nada sinis, "Semoga saja ini bukanlah keputusan yang salah bagi kalian berdua." Rowan menjawab dengan tenang, "Kami yakin ini adalah keputusan yang tepat, Bu. Terima kasih atas doanya." Sementara kakek Brandy menatap Rowan dengan tulus, "Rowan, jagalah Brandy dengan baik. Dia adalah harta yang berharga bagimu. Jangan pernah membuatnya merasa tidak dihargai." Ucapan yang hangat juga Brandy terima dari nenek Rowan dan sahabatnya Sanny. Nenek Rowan tersenyum hangat pada Brandy, "Selamat, Sayang. Semoga kalian berdua bahagia selalu." Nenek memuji Brandy sebagai pengantin paling cantik, tapi Rowan sama sekali tidak menatap pengantinnya. Pikirannya saat itu sedang dipenuhi bayangan wanita lain, mantan pacarnya yang hingga saat ini masih dia nantikan. Rowan memimpikan pernikahan dengan Monalisa. Dia tidak pernah mengharapkan pernikahan dengan wanita lain. Kalau pernikahan ini harus terjadi, ini hanya karena dia sudah terjepit, harus memenuhi permintaan kakeknya. Jadi dia tidak menaruh perhatian khusus pada pengantin wanitanya. Rowan hanya ingin prosesi pernikahan ini segera berakhir dan dia bisa kembali menjalani hal yang dia sukai. Dia berdiri dengan wajah bosan di samping Brandy, menanggapi ucapan selamat dan doa dari keluarga mereka dengan ekspresi tidak sabar. Brandy mencoba menyembunyikan kekecewaannya, tapi dia bisa merasakan ketidakpedulian Rowan, membuat rasa hampa itu semakin besar. Sanny melihat ekspresi Brandy yang berubah, tapi dia memilih untuk tetap tersenyum dan memberikan dukungan. Sanny pun menghampiri Brandy dengan senyuman cerah, "Selamat, Bree! Aku senang untukmu. Semoga kalian berdua selalu saling mendukung dan bahagia.," katanya dengan hangat. Brandy merasa senang dan sangat dikuatkan oleh ucapan ucapan itu dan berusaha untuk tidak terpengaruh oleh perubahan sikap Rowan yang tiba-tiba. Sesungguhnya ini bukan pernikahan impian Brandy, tapi dia sudah terseret ke dalamnya karena masalah yang dia hadapi. Setelah prosesi pernikahan ini mereka lewati, mereka masing-masing akan mulai melakukan kewajiban mereka untuk mencapai tujuan dari perkawinan ini, sesuai dengan kontrak perkawinan yang sudah mereka tandatangani. Namun, sekalipun bukan pernikahan impiannya, tapi dia sudah mengucapkan sumpah dan janji di hadapan Tuhan, ini tidak main-main. Brandy harus menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Ia juga merasa senang melihat senyum bahagia di wajah kakeknya. Walaupun ada sedikit rasa bersalah, tapi Brandy merasa senang sudah bisa mewujudkan harapan kakeknya. Itu pun cukuplah. Lalu setelah ini bagaimana? Apa yang akan dia hadapi nanti? Brandy menunduk resah. Brandy membayangkan malam pengantin yang menanti mereka sebentar. Dan dia merasa tubuhnya gemetar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD