Sesuai janjinya, Rowan datang melamar Brandy pada keesokan harinya. Pada sore hari yang cerah, dia datang bersama asistennya, membawa beberapa kotak perhiasan sebagai mas kawin.
Brandy terkejut Rowan tetap melakukannya dengan serius. Walaupun dia hanya didampingi asistennya, tidak bersama orang tuanya, tapi Brandy sudah cukup merasa senang. Dia hanya ingin membuat kakeknya bahagia.
Brandy tidak memberitahu mengenai perjanjian di antara dirinya dan Rowan.
Hal itu hanya akan menjadi berita menyedihkan bagi kakek yang sangat mengharapkan cucunya menikah dengan seorang pria baik-baik, yang akan membuatnya bahagia hingga akhir waktu.
Rowan Marthin mengenakan jas hitam elegan yang memancarkan aura dingin dan berkuasa. Entah dia sengaja tampil begitu atau kebetulan dia baru pulang kantor. Tapi kedatangannya membuat kakek terkejut sekaligus bahagia.
"Selamat sore, Pak. Saya Rowan Marthin," ucap Rowan dengan ramah, mengulurkan tangan pada kakek Brandy.
Kakek Brandy menerima jabatan tangan itu dengan senyum. "Selamat sore, Rowan. Silakan duduk."
Setelah duduk, Rowan melanjutkan dengan penuh keyakinan, "Saya ingin memberitahu Anda bahwa saya ingin menikahi cucu Anda, Brandy, dan saya ingin meminta izin untuk melamarnya."
Kakek Brandy terkejut namun senang. "Oh, begitu. Itu kabar baik. Bagaimana dengan Brandy? Apa dia sudah menyetujui?"
Rowan tersenyum, menoleh pada Brandy. "Ia setuju, Pak. Kami sudah membicarakan mengenai rencana ini sebelumnya dan untuk itu saya datang untuk meminta restu dari Anda."
Kakek Brandy tersenyum lebar. "Saya sangat senang mendengarnya. Tapi kenapa Brandy tidak pernah bercerita tentang nak Rowan pada kakek?” Dia menatap Brandy dengan tatapan heran.
“Aku..” Brandy yang ditembak pertanyaan langsung seperti itu menjadi gugup dan kesulitan mencari kata-kata.
“Maafkan kami, Pak. Saya yang melarang Brandy memberitahu Anda. Saya ingin memperkenalkan diri secara langsung.” Rowan dengan cepat menjawab, menutupi rasa canggung yang mulai terasa di antara mereka.
“Oh, begitu. Saya mengerti.” Kakek tertawa. Dia lalu menata Rowan serius dan berkata, “Tentu saja, Anda memiliki restu saya. Semoga kalian berdua bahagia."
Rowan bersyukur. "Terima kasih, Pak. Saya berjanji akan menjaga Brandy dengan baik."
Pertemuan itu terasa canggung pada awalnya. Namun Setelah beberapa saat, suasana mulai menjadi lebih santai. Brandy menyuguhkan kue kering buatannya sendiri dan teh, menciptakan momen yang hangat di antara mereka bertiga.
Rowan tersenyum pada Brandy. "Terima kasih, Brandy. Rasanya begitu nyaman di sini."
Brandy tersenyum balik. "Senang mendengarnya, Rowan. Semoga tehnya cocok dengan selera Anda."
Brandy merasa lega melihat betapa sungguh-sungguhnya Rowan dalam melamar dirinya pada kakek. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh perasaan cinta, tapi Brandy ingin kakeknya bahagia. Dan sore itu, Rowan telah membantunya menciptakan kebahagiaan bagi kakeknya.
Mereka semua menikmati suasana hangat di ruang tamu, tertawa dan bercanda seperti keluarga yang sudah lama saling mengenal. Meskipun pernikahan ini awalnya hanya sebagai kesepakatan, tapi mungkin, dengan waktu, hubungan mereka bisa tumbuh menjadi lebih dari sekadar itu.
Ya. Siapa yang tahu?
Setelah berbincang-bincang beberapa saat, Rowan meminta ijin kepada kakek Brandy untuk mengajak Brandy bertemu dengan orang tuanya. "Maaf, Pak, saya ingin mengajak Brandy bertemu dengan orang tua saya untuk membicarakan pesta pernikahan dan mengatur beberapa hal terkait persiapan pernikahan kami."
Kakek Brandy menjawab cepat, "Tentu, Rowan. Kalian boleh pergi. Tapi ingatlah, yang terpenting adalah kebahagiaan kalian berdua. Jangan biarkan detail-detail persiapan ini membuatmu stress."
Rowan mengangguk. "Terima kasih, Pak. Kami akan berusaha menjaga semuanya tetap lancar."
Setelah mendapat restu dari kakek Brandy, Rowan dan Brandy pun pergi menuju rumah orang tua Rowan untuk membicarakan rencana pernikahan mereka.
***
Keluarga Marthin adalah salah satu keluarga dari lima keluarga paling kuat dan paling kaya di kota itu. Diukur dari jumlah aset dan nilai kekayaan serta pendapatan perusahaan keluarga per tahunnya, keluarga Marthin menempati posisi teratas.
Ini informasi yang Brandy dengar dari kakeknya.
Walaupun sudah bisa melihatnya dari penampilan Rowan Marthin bahwa pria itu kaya raya, tapi Brandy tidak menyangka keluarga pria itu ternyata lebih hebat dari yang dia bayangkan.
Brandy bisa merasakan ketegangan di udara saat mereka tiba di Mansion keluarga Marthin. Meskipun sudah pernah mengenyam kehidupan mewah saat masa jaya kakeknya, namun ukuran dan kemegahan Mansion keluarga Marthin membuatnya terkesima.
Mansion tersebut berdiri kokoh di tengah-tengah halaman yang luas, dikelilingi oleh taman yang rapi dan pohon-pohon besar yang memberikan suasana teduh dan sejuk. Bangunan itu terlihat megah dengan arsitektur klasik dan detail-detail mewah yang memperkuat kesan megahnya. Sebuah gerbang besi hitam setinggi tiga setengah meter menjadi pintu masuk, menambah kesan istana yang mewah dan terlindungi.
Rowan membawa Brandy masuk ke dalam mansion tanpa banyak bicara. Mereka disambut oleh pelayan-pelayan yang ramah dan profesional. Ruangan dalam mansion terasa begitu luas dan mewah, dihiasi dengan furnitur-furnitur elegan dan dekorasi yang anggun.
Suasana yang tenang dan nyaman membuat Brandy merasa agak kikuk, namun Rowan dengan cepat membuatnya merasa santai dengan senyum hangatnya. Mereka pun bergegas menuju ruang tengah untuk bertemu dengan orang tua Rowan.
Brandy terkejut. Ada hampir sepuluh orang sedang duduk berbincang di sana. Seketika tangannya mencengkeram kuat lengan Rowan.
"Mengapa ada begitu banyak orang?" Tanyanya gugup.
"Maaf, saya lupa kalau saat ini ada acara makan malam keluarga. Tapi kamu tenang saja, ada saya di sini." Bisik Rowan seraya menepuk punggung tangan Brandy. Menenangkannya.
Rowan ingin hubungannya dengan Brandy terlihat alami. Jadi dia berusaha membuat Brandy merasa nyaman.
Rowan melihat wanita itu tersenyum gugup. Sepasang mata di balik kacamata super tebal itu bergerak-gerak gelisah dan dia secara tidak sadar menggigit bibirnya.
"Tenang saja, orang tuaku dan semua keluargaku tidak semenakutkan itu. Dan seharusnya nyali seorang dokter Brandy Colleen tidak akan menciut hanya karena melihat keluarga saya berkumpul." Bisik Rowan lagi di samping telinga Brandy dengan nada menggoda.
Dengan sentuhan humor, Rowan berusaha meredakan ketegangan Brandy. Dia mencoba meyakinkannya bahwa orang tuanya tidaklah seburuk yang mungkin Brandy bayangkan. Dengan begitu, dia berharap Brandy bisa merasa lebih santai dan nyaman di tengah-tengah pertemuan dengan orang tuanya dan anggota keluarganya yang lain.
Rowan mempertaruhkan jabatannya sebagai CEO perusahaan keluarga Marthin dalam pernikahan dengan Brandy. Jadi dia ingin semua terlihat alami dan tidak memunculkan kesan terburu-buru, walaupun memang demikian adanya.
Rowan juga ingin memastikan bahwa pernikahan mereka terlihat meyakinkan dan sudah direncanakan dengan matang, bukan sekadar keputusan dadakan yang sembrono. Dia tidak akan memberi kesempatan Alfons mengejeknya karena pernikahan kilat ini.
Rowan mengenalkan Brandy pada keluarganya.
Ayah sambung Rowan yang menikahi ibunya hampir dua tahun lalu, hanya mengangguk ketika Rowan menyebut nama kakek Brandy. Bagaimana pun, kakek Brandy pernah menjadi legenda dalam dunia bisnis, sebelum menantunya yang kurang ajar, ayah Brandy, mengacaukan semuanya dan membuat Bartimeus Corporation bangkrut.
Jadi ayah sambung Rowan yang merupakan pengusaha yang cukup sukses serta paman dan bibinya yang berada di sana cukup mengenal keluarga Bartimeus.
Mereka tidak berkomentar, hanya menyambut jabatan tangan Brandy dengan ramah.
Sejak Rowan tumbuh dewasa, orang tuanya sudah tidak lagi turut campur dalam urusan pribadinya. Begitu juga dengan keluarganya yang lain, terutama setelah pencapaian yang Rowan raih usai dia mengambil alih kepemimpinan perusahaan keluarga, Faster Corporation.
Namun berbeda dari sang ayah sambung yang memilih diam, ibu Rowan langsung protes. Bagaimana pun sebagai ibu dia tidak ingin putranya yang hebat sembarangan memilih perempuan untuk dijadikan istri.
Dia tidak menyukai sosok Brandy dengan penampilan culun, dengan kaca mata tebal, rambut dikuncir kuda dan dress longgar yang nyaris kedodoran.
“Kamu seorang CEO, Rowan. Kamu berhubungan dengan banyak wanita cantik dan berkelas, kenapa tidak menikah saja dengan salah seorang dari wanita-wanita itu?” Tanya ibu Rowan dengan nada kesal. Dia menatap Brandy dengan sorot mata meremehkan dan memusuhi.
Rowan menanggapinya dengan memeluk bahu Brandy. "Jangan lupa, Bu, kakek sedang sakit dan tidak ada seorang pun dari wanita-wanita itu yang memiliki keahlian menyembuhkan orang yang mengalami stroke. Hanya dokter Brandy Colleen yang bisa!” Jawab Rowan acuh tak acuh.
"Walaupun begitu, kamu seharusnya mencari wanita yang pantas berdiri di sampingmu, Rowan. Yang tidak akan mempermalukan kamu dan keluarga kita." Ucap ibu Rowan keras kepala. Dia terus menatap Brandy dengan tatapan menilai.
Rowan tidak terpengaruh. "Ibu, aku memilih Brandy karena menurut aku dia adalah wanita yang tepat untuk menjadi istriku. Dia sebentar lagi akan menjadi dokter spesialis bedah syaraf. Kecerdasannya, dedikasinya, dan kemampuannya dalam menyembuhkan kakeknya dari stroke pernah menjadi topik hangat kalangan praktisi kesehatan. Brandy adalah seorang dokter jenius, Ibu, dan aku yakin bahwa dia adalah pilihan yang tepat," jelas Rowan dengan mantap.
Ibu Rowan masih saja protes karena dia tidak menyukai penampilan Brandy. Bagaimana bisa gadis culun ini akan menjadi menantunya, istri putra semata wayangnya yang tampan dan berkuasa? Dia tidak bisa menerima pilihan Rowan ini, karena dia begitu gigih terus menjodohkan Rowan dengan putri temannya, yang cantik dengan penampilan menawan tanpa cela.
‘Hanya Jeane yang pantas mendampingi Rowan.’ Ucap ibu Rowan dalam hati.
Rowan tetap tenang meskipun Ibunya masih saja memprotes penampilan Brandy. "Maafkan aku, Bu. Tapi penampilan fisik bukanlah segalanya. Aku memilih Brandy karena nilai-nilai dan kualitas yang dia miliki. Aku yakin dia akan menjadi istri yang luar biasa," ujarnya dengan tegas seraya memeluk pinggang Brandy dengan gaya posesif, di sasu sisi membuat ibunya semakin kesal dan di lain pihak membuat Brandy makin salah tingkah.
"Jangan sampai kamu nanti menyesal Rowan!" Kata ibunya kesal.
Rowan menjawab dengan mantap, "Aku tidak akan menyesal, Bu. Aku yakin Brandy adalah pilihan yang tepat bagiku."
Di ruangan itu, ada juga dua sepupu Rowan, Frederika dan Antonius.
Frederika mengejek, "Tolong, Rowan, apakah ini benar-benar pilihan terbaikmu? Aku pikir CEO sekelasmu akan menemukan pasangan yang lebih sesuai dengan citramu."
Antonius menambahkan, "Bukankah ini terlalu tergesa-gesa? Mengapa tidak menunggu dan memilih dengan bijaksana?"
Rowan menjawab dengan tenang, "Kalian mungkin tidak memahami alasanku. Brandy adalah wanita yang tepat untukku, dan itu yang penting."
Brandy yang terjepit di antara perdebatan anggota keluarga Marthin hanya bisa berdiri di samping Rowan sambil menunduk.
Tiba-tiba nenek Rowan yang sebelumnya sedang memeriksa menu yang disiapkan para pelayan menyela perdebatan mereka dengan memberitahu makan malam sudah siap dan mengajak mereka pindah ke ruang makan. Mereka pun mengakhiri perdebatan dan beranjak menuju ruang makan.
Sementara anggota keluarga lain berjalan menuju ruang makan, Nenek Rowan memberikan sambutan yang penuh kasih kepada Brandy, membuatnya merasa lebih diterima di keluarga Marthin.
Wanita tua dengan rambut perak dan wajah ceria itu menghampiri Brandy dan memeluknya hangat. "Selamat datang di keluarga Marthin, Sayang," Bisiknya lembut.
Dengan hangat, Brandy membalas pelukan nenek Rowan, merasa lega bahwa dia bisa merasakan kehangatan di tengah perdebatan tadi.
"Terima kasih, Nenek. Saya senang bisa menjadi bagian dari keluarga Marthin," jawab Brandy pelan, sangat menghargai kebaikan hati nenek Rowan.
"Apakah kalian sudah membicarakan persiapan pesta pernikahan?" Tanya nenek antusias. “Tolong beritahu nenek agar bisa membantu kalian.”
"Kami hanya ingin menyelenggarakan pesta pernikahan sederhana, yang hanya dihadiri keluarga dekat kita dan keluarga Brandy, Nek."
Brandy menoleh dan menemukan tatapan rumit Rowan. Mereka sudah sampai di ruang makan yang sangat luas.
Rowan berdiri di samping nenek dan mengajaknya duduk sambil menarik kursi untuk nenek. Setelah itu dia menarik kursi di samping kiri nenek.
"Duduklah di sini." Ucapnya pelan seraya menoleh pada Brandy yang mengikuti mereka dengan mulut terkatub rapat. Setelah itu dia lalu menarik kursi di samping kanan nenek dan duduk di sana dengan tenang.
Sementara anggota keluarga lain mencari tempat duduk masing-masing.
Meja makan keluarga Marthin besar dan panjang, sudah ada di sana sejak lama, menjadi tempat berkumpul keluarga ini di waktu-waktu yang telah mereka tentukan untuk berkumpul.
"Jadi, kapan tepatnya acara pernikahan kalian berdua, Rowan?" Tanya bibi Rowan, adik ayahnya.
"Hari Sabtu, Bi!" Rowan menjawab santai sambil menikmati sup jagung kepiting sebagai makanan pembuka.
"Itu dua hari lagi!" Seru bibinya terkejut. "Apakah kalian..."
Rowan menyela cepat, "Aku sudah mengatur segala sesuatunya. Bibi hanya datang saja dan memberi kami berdua restu." Kata-katanya tenang.
Dia mengabaikan dengus tak senang ibunya.