Setelah mengantar tante Mery pulang ke rumahnya, Andra dan Ricko pamit untuk pergi ketempat Gym.
Mobil mereka meluncur membelah jalanan Ibu Kota Jakarta yang sedikit lenggang di hari Minggu.
Andra hanya terdiam, tatapan matanya fokus kedepan, mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang meski begitu sebenarnya pikiran pria dengan rahang tegas itu melayang jauh menggapai seorang gadis yang baru saja dia tolong.
Kemudian bayangan tentang kehidupannya setelah menikah Kontrak nanti melintas dalam benak Andra.
Dia belum berpengalaman dalam urusan rumah tangga apalagi cukup lama dia tidak memiliki hubungan dengan seorang wanita. Entah kenapa seorang Kallandra Arion Gunadhya begitu memikirkan masa depannya bersama Rena.
Padahal dia sendiri yang bilang bila akan menikahi gadis itu diatas kontrak bukan atas dasar cinta apalagi untuk selamanya.
Sesekali Ricko melirik sang sahabat yang duduk di sampingnya sembari mematuti layar ponsel.
Detik berikutnya Andra mendapat kerlingan penuh arti dari sahabat kecilnya itu.
"Apaan lo curi-curi pandang, hah? Lo udah mulai tertarik dengan sesama jenis?" tanya Andra ketus, bahkan tatapannya masih lurus kedepan yang dibalas kekehan oleh Ricko.
"Nggak, gue mah heran saja ... kok lo bisa langsung transfer ke rekening adiknya Rena? Tiba-tiba hati lo meleleh gitu lihat Rena nangis?” ledek Ricko mengulum senyum.
"Gue inget mendiang ayah Sony yang meninggal karena serangan jantung, jadi gue ngerasain banget apa yang dia rasain." Sorot mata Andra berubah sendu.
Ricko menyesal meledek Andra, baru ingat kalau ayah kandung Andra meninggal karena serangan Jantung.
Saat itu Ricko pun ada di samping Andra, merasakan sakit yang juga dirasakan sahabatnya.
Menjadi salah satu orang yang memberi dukungan penuh saat Andra terpuruk karena beberapa bulan sebelumnya masih dalam tahun yang sama bunda Dewi-bundanya Andra pergi lebih dulu setelah dua tahun mengidap kanker p******a.
Tahun itu merupakan tahun yang sulit bagi Andra ditinggal oleh kedua orang tuanya, Ricko berusaha selalu ada disampingnya dan tak pernah sedetik pun dia meninggalkan Andra.
Beberapa lama keheningan membentang di dalam mobil sport salah satu koleksi Andra itu.
"Gue pikir lo udah jatuh cinta sama Rena," goda Ricko memecah keheningan.
"Gila aja! Lo ‘kan tau Rena bukan tipe gue!” sanggah Andra dengan kedua alis bertaut. Meskipun raut wajah Andra terlihat kesal dan tidak enak dipandang, tapi lebih baik dari pada harus melihat wajah sedihnya.
"Trus tipe lo yang gimana? Yang matre kaya Monica?" kini Ricko sudah tidak bisa menahan tawanya.
Pria itu tergelak mengingat ke-bucinan Andra di masa lalu sampai berhasil diperdaya oleh seorang wanita.
Andra begitu kesal karena perkataan Ricko mengingatkan kembali kenangan buruknya bersamad Monica yang sudah hampir dia lupakan.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di tempat Gym, Andra memarkirkan mobilnya di pelataran parkir yang luas.
Sama sekali tidak menjawab pertanyaan Ricko dan membiarkannya puas tertawa terbahak-bahak.
"Nanti lo urus Kontrak untuk Rena ya! Ini semua ide lo, jadi lo yang harus tanggung jawab, suruh Rena tanda tangan di depan om Bimo, pengacara kita! Jangan lupa konsultasikan dulu semuanya dengan om Bimo, gue enggak mau ada masalah kedepannya!" titah Andra tidak menerima bantahan.
"Oke sayang,” sahut Ricko sembari mencolek dagu Andra sambil bertingkah layaknya pria tulang lunak lantas melengos keluar dari mobil.
Andra menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya yang menjengkelkan itu.
Di saat yang sama namun koordinat berbeda, Rena menghubungi pak Ryan melalui sambungan telepon guna memberitahu pengunduran dirinya.
"Hallo?” Suara pria menjawab panggilan Rena.
“Pak Ryan … saya Rena, saya minta maaf karena hari ini tidak bisa masuk kerja karena sakit, tubuh saya demam mungkin karena sudah dua malam ini saya tidur terlalu malam ... " tutur Rena berbohong berharap Pak Ryan mengerti dan memberikannya ijin.
Karena tidak mungkin dia mengatakan kalau tiba-tiba tidak membutuhkan uang lantaran telah menyetujui pernikahan kontrak dengan seorang Konglomerat.
"Lalu yang menggantikan kamu siapa? Citra masih dirawat di rumah sakit, kamu harus bertanggung jawab cari penggantinya, saya tidak mau tau ya!” tegas pak Ryan terdengar kesal.
"Pak ... Bapak tidak membayar gaji saya yang dua hari kemarin juga enggak apa-apa, asalkan saya boleh ijin malam ini, gimana Pak?” Rena mencoba bernegosiasi.
"Ya enggak semudah itu, donk! Ini bukan masalah uang tapi masalahnya siapa yang mau gantikan kamu ... hari minggu Restoran masih ramai seperti malam minggu, kami di sini kekurangan orang!” Pak Ryan berseru penuh emosi.
"Baik Pak, kalau begitu saya carikan penggantinya.”
Dan sambungan diputus sepihak oleh pak Ryan.
Rena kini menghubungi Mia bermaksud untuk meminta bantuannya, semoga saja Mia bersedia membantu.
"Hallo Mia, aku boleh minta tolong kali ini aja? " tanya Rena sebenarnya tidak enak hati.
Pasalnya Mia yang mencarikannya kerja tapi sekarang Rena juga yang malah ingin berhenti.
"Ada apa Rena? Kamu enggak apa-apa, kan?" Mia balik bertanya dengan nada cemas.
"Mia, dua hari aku begadang … badan aku demam dan menggigil mungkin karena enggak terbiasa pulang pagi, bisa kamu gantikan aku menjadi resepsionis malam ini aja di Restoran? Nanti semua uang gaji selama tiga hari boleh buat kamu," Rena konsisten dengan alasannya tidak bekerja malam ini.
"Ya Ampun Rena, kamu udah ke dokter? cepat periksa nanti sakitnya parah ... ya sudah, malam ini aku gantiin kamu ya! Dan uang hasil bekerjanya kita bagi aja, oke?"
Rena meringis karena tidak enak hati membohongi sahabatnya, tapi mau bagaimana lagi?
Dia telah mendapat kompensasi seratus juta dari Kawin Kontrak dengan Andra.
Dan seperti kata Ricko, dia sudah menjadi milik Andra jadi harus mengikuti semua keinginan Andra.
"Iya Mia, terimakasih ya nanti aku kirim baju seragamnya lewat ojeg online."
"Enggak perlu Rena, di sini Citra punya beberapa seragam untuk ganti biar aku pakai yang ada di sini aja ya ... sekarang kamu banyak istirahat biar besok bisa masuk kerja!" Mia berpesan.
"Baik lah Mia, terimakasih banyak! Setelah dicuci, aku akan kembalikan baju Citra!"
"Oke, Rena...,” sahut Mia dengan nada ceria khasnya.
Keduanya pun sepakat mengakhiri panggilan telepon.
Mia memang satu-satunya sahabat Rena yang paling baik, gadis ceria itu selalu membantu Rena semenjak dia hidup di Ibu Kota yang kejam ini.
Awal masa kerjanya di Bank BUMN, Mia lah yang selalu membantu meminjamkan Rena uang sampai Rena mendapatkan gaji pertamanya.
Maklum saja, Rena datang ke Jakarta setelah diterima menjadi karyawan di Bank BUMN dan tidak membawa banyak uang.
Dia sengaja tidak menerima uang pemberian ibunya untuk bekal selama belum menerima gaji dan malah mengatakan kalau tabungannya cukup sampai gajian karena dia tau keluarganya lebih membutuhkan uang tersebut.
Rena berpikir kalau dia bisa menahan lapar atau berjalan kaki ke kantornya.
Tidak berapa lama telepon genggam Rena berbunyi membawa Rena kembali dari lamunannya, muncul nama Amelia di layar benda pipih itu, jempolnya bergerak cepat menggeser tombol hijau.
"Hallo, De?" Rena menjawab panggilan telepon diliputi kecemasan.
"Kaaaak, uangnya udah Ade setor ke rumah sakit semua! Besok pagi bapak udah bisa di operasi," suara Lia terdengar terbata dengan nafas tersengal.
"Trus bagaimana keadaan ibu, De? Ibu baik-baik aja, kan?" cecar Rena kemudian.
"Ibu nangis seharian, Kak … badannya lemah karena kecapean menangis ... tadi ibu tanya, Kakak dapat uang sebanyak itu dari mana?” Nada bicara Lia menyiratkan kecurigaan.
"Kaka pinjam dari pacar Kakak …. " jawab Rena berbohong.
"Hah? Pacar? Kapan kita pacaran? Ya anggap lah begitu ya, ‘ kan bentar lagi kita mau nikah.” Rena membatin sembari memejamkan mata dan tangan menekan pelipis.
"Memangnya Kakak punya pacar? Bohong ya?" tuduh Amelia tidak percaya.
"Masa kamu enggak percaya sama Kakak? Habis dari mana lagi uang segitu banyak? Siapa yang mau minjemin uang ke Kakak sebanyak itu?” tukas Rena berusaha meyakinkan adiknya.
"Emmm ... Kakak ... Kakak enggak jual diri kan?" Amelia bertanya hati-hati.
Amelia tau kakanya masih perawan bahkan ciuman pertama pun dia yakin kalau sang kakak belum pernah merasakan.
Dalam hidup kakanya hanya sekali berpacaran itu pun waktu SMA.
Lia khawatir Rena akan berbuat yang tidak-tidak untuk menolong ayah mereka karena kakak kesayangannya itu adalah tipe orang yang akan melakukan apa pun demi kebahagiaan keluarga.
"Ya Tuhan ... Adeeeeee, ya enggak mungkin lah," sanggah Rena setengah berteriak.
Rena gemas sekali dengan pemikiran bodoh adiknya sebab dia tidak akan pernah melakukan dosa tersebut.
Lebih baik bekerja kasar mengangkut karung di pasar daripada harus menjual diri.
Meski begitu jauh di lubuk hati paling dalam muncul pertanyaan, apakah yang dia lakukan ini bisa disebut dengan menjual diri?
Menjual dirinya kepada Andra untuk berpura-pura menjadi istri pria itu selama lima tahun dengan kompensasi sebesar lima Milyar.
"Ga tau lah," gusar Rena dalam hati, otak cerdasnya sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Yang dia tau adalah bapak harus selamat dan hidup lebih lama walau harus mengorbankan dirinya sendiri.
"Kak, udah dulu ya... Ade mau nemenin bapak lagi, karena tadi ibu pulang, badannya lemah dan kasian Aras di rumah sendiri."
"Iya De ... Jangan lupa makan ya biar enggak sakit"
"Iya Kakak ku sayang ...."
Keduanya mengakhiri panggilan telepon.
Hati Rena sekarang mulai bimbang dan ragu menggelayuti.
Resah pun turut mendera membayangkan hidupnya setelah menikahi seorang Presdir dingin yang tidak mencintainya.
Rena merebahkan tubuhnya di kasur keras yang selama ini menjadi alasnya mencapai alam mimpi.
Tubun dan pikiran yang sangat lelah membawa Rena ke alam mimpi di mana dia tidak perlu khawatir memikirkan segala masalah di dunia.