Setelah Brifing pagi, Rena kembali kemejanya dan bersiap untuk melakukan pelayanan.
seperti hari-hari sebelumnya, Rena berjuang untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan membahagiakan kedua orang tua juga adik-adiknya.
Hanya keluarganya yang ada dipikiran Rena, tidak pernah muluk keinginan gadis itu, melihat senyum dan wajah bahagia keluarganya sudah sangat membuat Rena bahagia.
Rena tidak pernah membayangkan menikah sebelum semua cita-cita itu terkabul.
Maka dari itu, dia akan mengajukan syarat agar masih tetap bisa bekerja setelah menikah kontrak.
Setelah kontrak itu selesai selama 5 Tahun, setidaknya ia masih mempunyai pekerjaan karena uang lima Milyar kompensasi yang Andra berikan, bagaikan air yang akan habis begitu saja.
Pagi itu Rena masih bisa termenung di mejanyac karena keadaan cukup sepi, nasabah baru datang beberapa orang itu pun hanya melakukan setoran ke Teller.
Tangannya mulai mengaduk isi tas, mengecek alat komunikasi berbentuk pipih yang sedari tadi bergetar dan enggan ia buka karena jam kerja sudah di mulai.
Ada layar CCTV di ruangan pak Rudi yang mengarah ke meja customer service jadi harus profesional agar pak Rudi mengajukannya mengikuti test untuk naik ke level pimpinan.
Namun masalahnya dia memiliki janji dengan Ricko siang ini.
Hutang seratus juta rupiahnya pada Andra membuat gadis itu akhirnya melanggar profesionalitas kerja demi mengecek ponsel siapa tau Ricko atau Andra menghubungi.
Mata Rena sempat melirik antrian Customer Service dan dia mendapatk belum ada nasabah yang mengambil nomor.
Sepertinya masih aman untuk hanya sekedar melirik pesan diponsel sebentar saja, kemudian dia memberanikan diri melihat ponsel di bawah meja dan ternyata benar ada satu pesan masuk belum terbaca.
Ricko : Nona Rena, aku jemput jam satu siang di kantor mu ... mintalah ijin selama beberapa jam kepada Bos mu.
Rena : Baik, Pak Ricko.
Rena meletakan kembali ponselnya ke dalam tas, tidak berapa lama kemudian satu persatu nasabah mulai memenuhi kantor cabang tersebut.
"Rena, kamu udah sembuh?" bisik Mia di sela melayani nasabah.
Mia datang terlambat pagi ini, sehingga tidak mengikuti Briefing pagi dan gadis manis itu belum sempat menanyakan kabar Rena yang tadi malam tiba-tiba demam.
"Sudah baikan,” sahut Rena seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Syukurlah,” ucap Mia tanpa suara setelah mendengar nasabah di depannya berdekhem tampak tidak suka karena Mia bekerja sambil mengobrol.
Pukul tiga belas kurang Rena membalikan papan namanya menjadi tulisan "Closed" kemudian pamit pada Mia dengan alasan bertemu nasabah.
Kebetulan antrian Customer Service tidak banyak, jadi bila Rena meminta ijin untuk keluar kantor pun Kepala Cabangnya pasti mengijinkan.
Cukup lama Rena berdiri di depan pintu ruangan Rudi, menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan mencoba menguatkan mental karena akan berbohong kepada Kepala Canangnya.
Rena bukan aktris yang baik, yang bisa berakting sempurna untuk menyembunyikan kebohongannya, setengah mati dia menenangkan diri sebelum masuk ke ruangan pak Rudi.
Setelah dirinya mulai tenang, barulah tangannya terangkat mengetuk pintu ruangan pak Rudi.
Tok...
Tok...
Tok
"Masuk!” Terdengar suara tegas pak Rudi dari dalam ruangan.
Ceklek...
Rena membuka pintu dan melangkahkan kakinya masuk kemudian berhenti tepat di depan meja pak Rudi.
"Pak, Rena ijin keluar untuk bertemu nasabah, namanya Pak Ricko, beliau adalah Direktur Pemasaran perusahaan AG Group," ucapnya hati-hati.
"Oke...mudah-mudahan dapat hasil ya, Rena … minta diantar pak Dede ya!" balas pak Rudi semudah itu memberikan ijin, beliau berpikir saat Rena datang tempo hari ke AG Group-karyawan teladannya itu melobi-lobi petinggi di sana seperti yang biasa Rena lakukan bila kunjungan ke perusahaan.
"Eng … enggak perlu Pak, Rena naik ojeg online aja biar cepat," balas Rena terbata, buliran bening mulai melembabkan pelipis karena gugup.
ijin di jam kerja seperti ini belum pernah Rena lakukan seumur bekerja sebagai customer service, apalagi dia berbohong akan bertemu nasabah untuk menghijaukan target cabangnya padahal sebenernya Rena akan keluar untuk kepentingan pribadi.
Pak Rudi sempat memicingkan matanya seperti mencurigai sikap Rena, karyawan yang lain tidak akan mau membuang uangnya untuk kepentingan kantor bahkan mereka mencuri-curi menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan sendiri.
“Baiklah...hati-hati ya, Rena." Meski begitu Rudi mengijinkan Rena untuk keluar bertemu nasabah.
"Terimakasih Pak Rudi...,” ucap Rena nyaris memekik bahagia beruntung gadis itu sadar masih berada di ruangan pak Rudi.
Rena keluar kantor melalui pintu belakang, tidak ingin ada orang yang melihatnya masuk ke dalam mobil Ricko.
Dia berjalan menyusuri gang disamping kantor, tidak lama telepon genggamnya berbunyi.
"Hallo Pak Ricko?" Rena menjawab panggilan telepon.
"Nona Rena, aku sudah ada di depan kantormu.”
"Majulah sedikit Pak, hingga disamping kantor, saya ada di mulut gang di samping kantor.”
Ricko memutus sambungan telepon lantas menginstruksikan supir untuk melaju perlahan hingga mulut gang.
Rena terlihat berdiri dengan stelan blazer dan rok span di atas lutut dengan scarf dileher dibentuk seperti pita yang merupakan seragam kerjanya.
Gadis itu masuk ke dalam mobil setelah Ricko membuka pintu mobil dari dalam.
"Kenapa kamu berdiri di sana? Kenapa enggak di depan kantor?" tanya Ricko curiga.
"Saya takut orang kantor mikir yang enggak-enggak, Pak Ricko,"
Rena dan Ricko yang duduk di kursi belakang pun terlibat obrolan ringan tapi lebih tepatnya Ricko mengintrogasi Rena.
Pria jangkung itu menggali semua tentang kehidupan Rena, sekolah, keluarganya, teman-temannya, pekerjaan kedua orang tuanya hingga kehidupan pribadinya.
Ricko harus memastikan kalau Reni ‘bersih’ sehingga tidak akan menghancurkan nama baik Andra dan perusahaannya dikemudian hari.
Meski sebelumnya Ricko telah meminta orang kepercayaannya menyelidiki tentang Rena dan keluarganya.
Dan dari wawancara singkat serta data yang dia dapat dari orang kepercayaannya didapati kalau Rena hanyalah orang biasa dari keluarga biasa dan tidak ada yang perlu di khawatirkan dari seorang Rena.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di kantor om Bimo, tadi malam Ricko dan Andra sudah berbicara dengan om Bimo melalui sambungan telepon membahas masalah kontrak pernikahan Andra dengan Rena sekaligus melakukan janji pertemuan untuk hari ini.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di kantor Om Bimo.
"Siang Om Bimo...," sapa Ricko sembari mengulurkan tangan.
"Siang Ricko...,” balas om Bimo, menyambut jabatangan tangan Ricko.
"Oh ini wanita yang mau jadi istri kontraknya Andra?" Om Bimo bertanya.
"Iya Pak Bimo, perkenalkan saya Rena.” Rena memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.
Kepalanya sedikit menunduk merasa insecure, benaknya mengira kalau pengacara kondang yang sering berseliweran di layar kaca ini akan menganggap rendah dirinya karena bersedia menggadaikan harga diri dengan menikah kontrak demi uang sejumlah lima Milyar.
Tapi pikiran negatif Rena ternyata salah, om Bimo malah menjabat tangan Rena dan mengusap punggung tangannya dengan lembut seperti seorang ayah yang menyayangi anaknya.
"Masa wanita secantik ini hanya jadi istri pura-pura saja? kenapa tidak jadi istri betulan saja? cocok kok sama Andra," canda om Bimo kemudian melepaskan tangan Rena sembari tergelak.
"Ayo silahkan duduk,” kata om Bimo setelah tawanya mereda.
"Tau tuh Andra, Om ... aku bingung, dia itu mau wanita yang seperti apa lagi?" timpal Ricko, punggungnya bersandar nyaman pada sofa dengan kedua tangan dilipat di depan d**a.
Rena hanya tersenyum simpul mendengar obrolan antara Ricko dan om Bimo tentang Andra yang tidak ia mengerti.
Dia pun pernah lontarkan pertanya, kenapa Andra tidak mencari istri yang benar-benar dia cintai saja agar tidak perlu repot-repot membuat kontrak seperti ini?
Pasti banyak gadis yang rela antri untuk menjadi istrinya.
Namun jawaban Ricko waktu itu katanya panjang bila diceritakan, sedangkan Andra yang irit bicara pun tidak memberikan jawaban apa-apa.
"Ya sudahlah ... kita ikuti saja maunya, dia ‘kan Bosnya," ujar om Bimo usai menghela napas lelah.
Om Bimo memberikan surat perjanjian yang sudah diketik rapi sesuai permintaan Andra dan Ricko tidak lupa dibubuhi banyak Materai.
Sebelum menandatangani, Rena membaca dengan teliti isi perjanjian tersebut.
Semua pointnya sesuai dengan apa yang Ricko sampaikan waktu di Coffeshop beberapa waktu lalu.
Tidak ada yang di rugikan oleh kedua belah pihak bila mematuhi perjanjian tersebut.
"Pak Ricko ... Pak Bimo, boleh saya mengajukan satu syarat untuk kontrak ini?" Rena bertanya hati-hati?
Sesaat Ricko dan om Bimo saling memandang.
"Boleh, apa? tapi mungkin om harus mendiskusikan dulu dengan Andra kemudian dimasukan ke dalam surat perjanjian ini,” terang Om Bimo menjelaskan.
"Syaratnya, Saya masih diperbolehkan bekerja ditempat yang sekarang, jadi bila saya bercerai nanti, saya masih mempunyai pekerjaan untuk menghidupi diri saya dan keluarga," tutur Rena dengan suara rendah.
"Tentu boleh Rena dan itu tidak perlu meminta persetujuan Andra, kamu cukup menjadi istrinya untuk sebuah status tidak perlu melayaninya baik fisik maupun keperluannya sehari-hari, seperti yang ada pada point perjanjian dalam kontrak ini, itu berarti Andra juga tidak berhak atas hidup kamu, kamu boleh melakukan apapun yang kamu anggap baik asalkan tidak merugikan nama baik Andra dan perusahaannya." Om Bimo menjelaskan secara rinci detail isi dalam perjanjian tersebut.
Entah kenapa hati Rena merasa seperti tercubit, gadis itu pun mengangguk bersama senyum yang dia paksakan setelah mendengar penjelasa om Bimo kemudian mengambil pena dan menandatangani perjanjian yang sudah dibuat om Bimo.
Uang seratus juta yang Andra berikan sudah mulai mengendalikan hidupnya.
"Tenang Rena, walau pun Om dibayar oleh Andra, tapi Om punya kewajiban moril untuk tidak merugikan kamu juga," tutur Om Bimo, menatap Rena iba.
Kemarin malam Ricko memberitahu tentang Rena kepada om Bimo karena sebagai pengacara om Bimo harus tahu asal muasal tercetusnya Kawin Kontrak ini.
Setelah Rena selesai menandatangani surat perjanjian tersebut giliran Ricko dan om Bimo yang mengetahui Kawin Kontrak antara Andra dan Rena pun ikut menandatangani surat perjanjian yang isinya tidak akan membongkar peristiwa ini.
Setelah selesai menandatangani surat perjanjian, mereka pamit untuk kembali pada aktifitas masing-masing.
Ricko mengantarkan Rena kembali ke kantor, tapi baru saja beberapa menit mobil yang mereka tumpangi keluar dari pelataran parkir kantor om Bimo, telepon genggam Rena berdering, ternyata panggilan tersebut datang dari nasabah pegangannya.
"Selamat Siang Bu Intan,” sapa Rena ramah.
"Selamat Siang Bu Rena ... bisa datang ke kantor saya sebentar? saya ada perlu mengenai penempatan Deposito?" pinta Bu Intan dari ujung panggilan telepon.
"Baik Bu Intan sekarang saya langsung ke kantor Ibu," balas Rena dan panggilan telepon berakhir.
Tadi Rena ijin untuk bertemu Nasabah dan Pak Rudi berharap Rena pulang membawa hasil, walaupun hasilnya bukan dari Pak Ricko setidaknya Bu Intan bisa memberikan hasil untuk menutup target deposito di cabangnya yang masih merah, sehingga Pak Rudi tidak kecewa, setidaknya itu yang Rena pikirkan.
"Pa Ricko, saya turun disini aja … saya masih ada urusan,” pinta Rena.
"Biar aku antar aja, kamu mau ke mana?”
"Enggak perlu Pak, terimakasih banyak ... saya enggak mau merepotkan, ijinkan saya turun disini aja!" Rena menunjukkan tampang memohon yang mampu meluluhkan hati Ricko.
"Baiklah kita berhenti di sini, tapi jangan lupa nanti malam sepulang kerja kita bertemu lagi di Café Milan untuk membahas tentang ini bersama Andra.” Ricko berpesan.
"Baik Pak Ricko, nanti sepulang kerja saya langsung kesana.”
Tidak lupa Rena memberikan senyum khasnya sebelum keluar dari mobil yang telah berhenti di bahu jalan.
"Mau apa lagi yang dibahas?” gumam Rena setelah mobil Ricko melaju menjauh.
Dia curiga hidupnya tidak akan seperti dulu lagi dan dia harus memainkan perannya dengan baik untuk menyempurnakan kewajiban yang tertuang dalam surat perjanjian yang telah dia tandatangani,